Dalam hukum positif, Indonesia memang punya Undang-undang No 19 tahun 2016 yang secara khusus membahas tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tetapi sebagus dan sebaik apapun produk undang-undang yang dihasilkan untuk membendung sisi negatif medsos, tentu harus di imbangi dengan pihak-pihak yang secara khusus menegakkan hukum dan memastikan hukum berjalan dengan adil dan benar agar antara teori dan praktek dapat berjalan dengan seimbang.
Polisi, hakim, jaksa dan pengacara sebagai abdi hukum mampu menggunakan kekuatannya secara proporsional dan berimbang, jauh dari kepentingan atau pesanan kelompok tertentu. Hukum harus bagaikan pedang dengan kedua sisi yang tajam, tajam ketika menghadapi kelompok mayoritas ataupun minoritas, tajam dalam memperlakukan yang kaya atau miskin, bahkan tajam terhadap penguasa jika memang melanggar hukum itu sendiri.
Karena jika penegakan hukum sudah tidak proporsional dan berimbang, alih-alih bisa meredam kerusakan ditimbulkan media sosial, bisa jadi potensi disintegrasi bangsa dari liarnya media sosial semakin besar.
(Baca: Etika Ber-Medsos Umat Islam Masih Mengkhawatirkan)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa terbaru nomor 24 tahun 2017 tentang “hukum dan pedoman bermu’amalah di media sosial”.
Meskipun Fatwa MUI bukan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hanya mengikat dan ditaati oleh umat Islam yang merasa punya ikatan terhadap MUI itu sendiri. Tetapi harapannya fatwa itu dilaksanakan oleh seluruh umat Islam sebagai pedoman bermu’amalah di media sosial, mengingat didalam MUI adalah para Ulama yang sudah barang tentu mempunyai tingkat pemahaman terhadap hukum Islam melebihi orang awam.
Dua hal yang bisa kita lakukan untuk membentengi dan memfilter efek negatif media sosial terutama menghadapi badai hoax. Pertama adalah menanamkan persepsi di pikiran kita untuk selalu khusnudzon (berbaik sangka) jika terdapat berita miring tentang seseorang atau golongan tertentu, karena belum tentu apa yang diberitakan tersebut benar. Rasulullah SAW bersabda “Jauhilah berprasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta…” (HR. al-Bukhari).
(Baca juga:4 Strategi agar Media Persyarikatan Tetap Bergairah dan Bisa Bersaing)
Kedua jika kita menerima suatu berita dalam medsos harus terlebih dahulu kita saring, untuk mengetahui kebenaran berita tersebut bisa kita lakukan Tabayyun (klarifikasi) kepada yang membuat atau menyebarkan berita. Sehingga kita tidak akan termakan isu yang dapat menghancurkan ukhuwwah.
Jika dalam bermu’amalah di media sosial kita dasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf), mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘an al-munkar), khusnudzon dan tabayyun. Maka sisi negatif dan kerusakan yang bisa ditimbulkan media sosial akan dapat diredam seminimal mungkin. Wallahu A’lam Bishawab.
Penulis: Zakki Fitroni, Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Batu.