Perjuangan Jerman Memuhammadiyahkan Desa ‘TBC’ dengan AUM Komplet; ditulis oleh Slamet Hariadi, Ketua MPID PCM Laren.
PWMU.CO – Jerman memuhammadiyakan sebuah desa? Jangan salah, yang dimaksud di sini bukan nama salah satu negara di Eropa itu. Jerman adalah nama orang. Dia tokoh Muhammadiyah Desa Keduyung yang dulu menjadi langganan bencana banjir akibat luapan Bengawan Solo.
Nama asli Jerman adalah Ahmad Thohir. Dipanggil Jerman karena wajahnya tampan dan kulitnya putih. Ciri lainnya, rambutnya ikal, komunikatif, dan pergaulannya luas.
Berkat perjuangannya bersama beberapa tokoh desa yang lain, Jerman berhasil ‘memuhammadiyahkan’ Desa Keduyung. Desa terpencil di tepi Bengawan Solo yang seperti baskom jika terlanda banjir itu, berhasil ‘diwarnai’ dengan berdirinya amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang relatif lengkap alias komplet. Ada AUM pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Padahal warga Muhammadiyah di Desa Keduyung bukan penduduk mayoritas.
Desa yang Pernah Jadi Sarang TBC
Desa Keduyung, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, telah ada sejak zaman penjajahan. Desa yang berada di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo ini menjadi tempat persinggahan para saudagar, sehingga Desa Keduyung menjadi pusat perdagangan zaman itu yang dibuktikan dengan adanya Pasar Pon.
Secara geografis Desa Keduyung terletak pada 7°00’38,97 sampai dengan 7°00’56.11 lintang selatan dan di antara garis bujur timur 122°13”39,44 sampai 122°13’54,98″.
Desa Keduyung merupakan salah satu dari 20 desa di wilayah Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan. Dari pusat Kecamatan Laren ke arah barat sejauh 12 kilometer atau dari pusat Kabupaten Lamongan berjarak 35 kilometer.
Yang memprihatinkan adalah akses jalannya yang masih sulit. Untuk menuju Desa Keduyung, sebagian besar harus melewati tanggul Bengawan Solo. Bahkan dulu, sebelum tanggul itu dikeraskan dengan paving atau beton, jika hujan jalannya berlumpur sehingga tidak bisa dilalui. Jika sudah demikian, satu-satunya alternatif adalah naik perahu.
Secara geografis, Desa Keduyung bagaikan sebuah baskom atau mangkok, di mana pemukiman warga diapit oleh dua tanggul yang sangat menentukan kelangsungan hidup masyarakat dari bencana banjir.
Tiap tahun diperkirakan longsor bantaran Bengawan Solo mencapai kurang lebih satu meter, sehingga bibir Bengawan Solo mendekati tanggal Desa. Bahkan saat ini tanggul sudah mepet dengan bibir sungai. Dengan demikian Desa Keduyung ini rentan bencana longsor dan banjir.
Sebelum Muhammadiyah berdiri di Desa Keduyung 40 persen masyarakatnya adalah bekas pengikut PKI.
Selain itu mayoritas mengidap TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat—baca khurafat). Salah satunya dibuktikan dengan adanya kegiatan nyadran—kini dikenal dengan sedekah bumi.
Ada dua tempat yang biasa digunakan warga untuk melakukan nyadran. Yaitu Mbogo—sebuah tempat yang disakralkan dengan beberapa tanaman (grumbul)—dan kuburan. Dua tempat itu dipercaya dapat menolak berbagai balak. Nyadran biasa digelar masyarakat sehabis panen.
Baca sambungan di halaman 2: Berdirinya Muhammadiyah Keduyung