Menimbang Pemakzulan di Tahun Politik oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, Pendiri Rosyid College of Arts
PWMU.CO – Rangkaian inkonstitusionalitas yang dilakukan Presiden Jokowi sudah lebih dari cukup untuk memulai prosiding pemakzulan.
Banyak UU kejar tayang tanpa pelibatan publik yang memadai termasuk UU Omnibus Law Cipta Jongos, UU KPK, UU IKN, sampai skandal etika MK jelas menunjukkan power abuse oleh presiden.
Namun prakarsa hak angket oleh Masinton Pasaribu dari Fraksi PDIP DPR layu sebelum berkembang. UUD2002 sekalipun membuka peluang pemakzulan, namun terbukti bak memasukkan seekor unta ke lubang jarum.
Kita kini menghadapi situasi di mana maladministrasi publik begitu mudah dilakukan dengan akuntabilitas eksekutif yang buruk.
Adalah UUD 2002 yang menggusur MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan rakyat yang memiliki kewenangan memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden, menjadi sekadar panitia joint session DPD dan DPR.
Presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat yang dalam konteks Indonesia akan sama inkompetennya dalam memilih jabatan eksekutif tertinggi itu.
Pilihan mayoritas pemilih dengan literasi dan informasi yang terbatas akan ditentukan oleh penggiringan opini, propaganda, intimidasi dan politik uang.
Paslon yang diajukan parpol atau gabungan parpol merupakan hasil politik dagang sapi. Jadi peluang Pilpres melahirkan wrongly elected president sangat besar padahal biayanya mahal sekali.
Kekeliruan ini diakui oleh die hard Jokower seperti Gunawan Mohammad, Butet Kertarajasa, Ikrar Nusa Bakti, dan Islah Bahrawi.
Menimbang pemakzulan atas presiden yang keliru-pilih ini seharusnya wajar dan bisa dipahami, namun dalam praktek sulit sekali.
Pemilih harus menunggu lima tahun sambil hidup babak belur. Rakyat pemilih bukanlah satuan sosial politik yang terorganisasikan seperti MPR sehingga menagih tanggung jawab presiden juga beyond their capacity let alone their imagination.
Presiden petugas partai akan mudah mengabaikan kepentingan publik pemilih, apalagi anggota DPR yang telah membayar mahal untuk duduk di Senayan.
Eep Syafullah Fattah mengajukan skenario pemakzulan linier pasca Pemilu 2024 jika terjadi krisis elektoral di mana paslon penerus Jokowi kalah.
Akan terjadi radikalisasi DPD dan DPR sehingga prosiding pemakzulan terbuka lebar.
Rizal Fadhilah mengajukan skenario pemakzulan non-linier sebelum Pemilu 2024 yang akan membantu perwujudan Pilpres yang jujur dan adil, namun konsekuensi politiknya sulit diperkirakan. Chaos mungkin terjadi dan Jokowi bahkan mengeluarkan Perppu penundaan Pemilu.
Pilpres di Indonesia akan selalu problematik, jika bukan dilematik jika disandarkan pada UUD2002 yang liberal ini.
Jika 10 tahun pemerintahan SBY fenomena Jokowisme ini tidak muncul itu disebabkan oleh figur SBY sebagai tentara pemikir demokrat sehingga cacat bawaan UUD2002 ini tidak dimanfaatkannya.
Beda dengan presiden penerusnya yang lebih senang kerja daripada mikir, senang blusukan bak ninja menabrak apapun yang menghalanginya bahkan konstitusi sekalipun.
Banyuwangi, 23 Desember 2023
Editor Sugeng Purwanto