PWMU.CO – Pertanyaan retorik Allah terungkap di sesi ceramah kebangsaan Tabligh Akbar yang diadakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang, Ahad (31/12/2023).
Pagi itu Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menjelaskan at-Takwir ayat 26, “Allah bertanya kepada kita, ‘Fainna tadhabun?’ Kalimat itu singkat. Bapak, Ibu dan kita semua itu mau pergi ke mana? Itu pertanyaan Allah. pertanyaan Allah itu pasti retorik. Retorik itu (karena) Allah Maha Tahu.”
Kemudian Prof Haedar mengungkap, pertanyaan retorik tersebut Allah SWT tujukan kepada manusia agar paham terhadap apa yang dipikirkan dan dilakukan. “Supaya ada makna dan nilai,” tegasnya di hadapan jamaah yang memenuhi Masjid Manarul Islam, Sawojajar, Kota Malang, Jawa Timur.
Pertanyaan retorik ini, sambung Prof Haedar, jawaban terhadap kaum Quraisy kafir yang gembar-gembor menolak risalah Nabi, termasuk kepercayaan atau keyakinan terhadap hari kiamat. “Karena menurut mereka, mati ya sudah mati, enggak ada urusan lagi ada kehidupan setelah mati. Nah, turunlah ayat ini, kamu hendak pergi ke mana?” jelasnya.
Adapun kepada umat Islam, lanjut Prof Haedar, Allah menyampaikan bahwa hidup ini punya tujuan. “Apa tujuannya? Yabtaghuna fadhlam minallah wa ridwan. Meraih ridha dan karunia Allah!” tegasnya.
“Politik, ekonomi, budaya, amal usaha, amal saleh, dan seluruh kegiatan kita, bahkan ucapan kita kira-kira membawa kita pada ridha Allah atau tidak?” Di sinilah menurut Prof Haedar perlunya bermuhasabah.
Jangan Lupakan Dunia
Prof Haedar lantas mencontohkan, ada orang yang sedang shalat tapi gerakannya banyak sekali. “Kukur-kukur macam-macam. Kata Nabi, dia enggak khusyuk shalatnya. Kenapa Nabi bilang begitu? Karena dia harus memaknai shalat,” terangnya.
Kisah sahabat Nabi pun ia tuturkan. Suatu saat ada sahabat yang merasa dia sudah baik agamanya dan ingin tahu bagaimana Nabi mempraktikkan agama. Satu sahabat datang ke Aisyah dan bertanya, “Hai Aisyah, aku ini setiap malam shalat malam sampai tidak tidur. Bagaimana Nabi?”
Sahabat yang satu lagi bilang, “Ya Aisyah, aku ini tiap hari puasa sampai tak berbuka.”
Sahabat lainnya mengatakan, “Aku ini beribadah terus sampai lupa untuk menikah.”
Kata Aisyah, “Nabi shalat malam dan beliau tidur. Nabi puasa dan beliau berbuka dan Nabi berkeluarga.”
Di sini Prof Haedar menyimpulkan, kalau tidak muhasabah, mungkin ketiga sahabat itu merasa yakin dengan keagamaannya. Tetapi ternyata Nabi memberi garis tentang hidup beragama yang tawasuth (sikap pertengahan), tawazun (sikap menyeimbangkan segala aspek dalam kehidupan, tidak condong hingga salah satu hal saja) sekaligus juga memenuhi apa yang yang Allah firmankan pada al-Qasas ayat 77 berikut.
“Wabtagi fīmā ātākallāhud-dāral-ākhirata wa lā tansa naṣībaka minad-dun-yā wa aḥsin kamā aḥsanallāhu ilaika wa lā tabgil-fasāda fil-arḍ, innallāha lā yuḥibbul-mufsidīn.”
Artinya, “Carilah kebahagiaan dan raihan yang ingin engkau capai untuk hari akhir tetapi jangan engkau lupakan di dunia dan berbuat baiklah dan jangan sekali-kali engkau berbuat fasad di muka bumi karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat fasad.”
Tingkatkan Kebaikan
Begitu juga dengan kebaikan yang sudah dilakukan di dunia ini. “Sudah banyak kebaikan tetapi kebaikannya tidak bertambah-tambah, tidak membawa maslahat untuk orang banyak,” sindir Prof Haedar.
Dia pun membahas ketika ada kaleng infak Lazismu disalurkan. “Bapak Ibu tahu, yang tahu hanya Bapak Ibu sekalian ketika memasukkan uang ke tadi ada edaran dari lazismu itu. Ada peningkatan atau tidak kan hanya Bapak Ibu sekalian yang tahu. Biarpun ditutup ketika memasukkan hanya Ibu dan Bapak sekalian yang tahu itu,” tegasnya.
Prof Haedar lalu meluruskan, “Bukan ukuran yang kecil mampunya kecil, yang besar mampunya besar. Yang sering terjadi dan perlu muasabah itu jangan sampai yang kecil mampunya kecil tapi malah dia masukkan yang besar. Sementara yang besar masukkan yang kecil.”
Kisah para dhuafa datang ke Utsman bin Affan, saudagar terkaya alias konglomerat, akhirnya ia tuturkan. Sang dhuafa menyampaikan keluhan bernada kritik, “Wahai Utsman, kami iri denganmu. Engkau shalat, kami shalat, kami puasa, engkau bisa puasa. Tetapi engkau bisa berzakat, berinfak, bersedekah sementara kami gak.”
Apa kata Umar? “Wahai para sahabat, sebenarnya setiap orang punya tempatnya sendiri. Engkau bisa tetap beramal saleh dengan apa yang kamu mampu dan aku juga bisa beramal saleh dengan apa yang aku punya. Jadi bukan soal besar kecil tetapi kadar masing-masing yang harus ditingkatkan tadi,” terangnya.
Alhasil Prof Haedar mengingatkan, dana Pembangunan asjid al-Hasyr masih kurang Rp 600 juta. “Nah coba bisa enggak bareng-bareng seluruh keluarga besar Muhammadiyah Malang yang kalau pas kampanye semangat pergi ke lapangan, bahkan membawa pekik-pekik itu di masjid, bisa enggak bergairah yang sama Bahkan lebih dari itu untuk memenuhi keperluan Masjid al-Hasyr?” tanyanya.
Prof Haedar yakin, kalau sendiri memang terasa berat. “Tapi kalau bareng-bareng Insyaallah bisa dan itulah yang harus ditumbuhkan!” tegasnya. (*)
Kotributor Fatimah Az-Zahro Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post