PWMU.CO – Heboh pajak hiburan naik 40-75 persen menarik perhatian dosen Perpajakan Program Studi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Agustin Dwi Haryanti SE MM Ak CA CSRS CSRA.
Tarif pajak hiburan yang menjadi ketentuan khusus sebagai objek Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mendapat protes. Terutama dari pelaku industri hingga para influencer di media sosial. Sebab, kenaikan pajak 40-75 persen ini dianggap memberatkan dan merugikan pelaku usaha, khususnya industri hiburan.
Aturan baru ini dirasa memberatkan karena terdapat batas minimum dan maksimumnya. Ia menjelaskan pajak hiburan ini adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi, pungutan pajak setiap daerahnya tidak akan sama karena kebijakan tiap daerah berbeda. Pun, tidak semua industri hiburan terkena pajak hiburan sebesar itu.
“Pajak minimal 40 persen, maksimal 75 persen ini hanya untuk hiburan tertentu seperti diskotik, karaoke, spa, kelab malam, dan bar. Hal ini mempertimbangkan jenis hiburan tersebut yang hanya dinikmati oleh kalangan tertentu,” terang Agustin, dalam keterangan tertulis yang diterima PWMU.CO, Rabu (17/1/2024).
Sedangkan pergelaran seni, tontonan film, pameran, pertunjukkan sirkus, pacuan kuda, perlombaan kendaraan bermotor, kontes kecantikan, kontes binaraga, permainan ketangkasan, olahraga permainan, rekreasi wahana, panti pijat dan refleksi, dikenakan pajak hiburan paling tinggi sebesar 10 persen.
Seperti yang kita ketahui, pajak hiburan yang dikenai pajak minimal 40 persen, maksimal 75 persen ini memiliki pandangan yang negatif di masyarakat. Maka dari itu, selain untuk meningkatkan pendapatan daerah, salah satu tujuan dari naiknya pajak hiburan ini adalah agar tingkat keminatan untuk menjadi konsumen yang loyal pada tempat hiburan yang berkonotasi negatif tersebut menurun. Sehingga dengan adanya peraturan ini, beberapa konsumen mungkin akan berpikir dua kali untuk mendatangi tempat tersebut dan memakai jasanya.
“Kita ambil contoh Thailand yang memiliki pajak hiburan sebesar 5%. Karena pajak hiburannya rendah, jadi banyak tempat hiburan-hiburan semacam itu. Jika Indonesia melakukan hal yang sama, tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama seperti di Thailand,” jelasnya.
Terlepas dari hal itu, Agustin yakin jika pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak (DJP), mengelola pajaknya dengan baik, maka Warga Negara Indonesia (WNI) yang masuk kategori wajib pajak (WP) akan loyal dan tidak masalah untuk membayar pajak. Permasalahannya sekarang adalah kepercayaan wajib pajak dan seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki hak atas pemerataan dari pungutan pajak tersebut.
Agustin berharap, pemerintah bisa mengkaji lebih dalam dan menyeluruh, apakah hasil pungutan pajak tersebut sudah benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Kemudian jika ingin menaikkan tarif, harus ada imbalan yang diterima oleh WP utamanya. Sebab, tujuan pajak adalah untuk memakmurkan seluruh masyarakat Indonesia. Dia ingin pajak ini tidak menguntungkan pihak tertentu dan tidak merugikan pihak tertentu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post