Siapa Wali Anak yang Lahir di Luar Nikah? Oleh Ustadzah Ain Nurwindasari
PWMU.CO – Kata wali berasal dari kata bahasa Arab yakni “ولي” yang berarti mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh, dan orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang.
Dalam Islam, pada asalnya setiap anak yang lahir memiliki wali yaitu ayahnya. Namun dalam kasus di mana anak lahir dari hasil perzinaan maka walinya bukan lagi ayahnya, namun ibunya.
Menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama, perzinaan tidak menimbulkan dampak penetapan nasab anak tersebut kepada laki-laki yang menzinai ibunya. Hal ini karena dalam Islam nasab merupakan kenikmatan yang dikurniakan oleh Allah.
Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi, mendidik, menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan.
Hal ini didasarkan pada hadits:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati).” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa hanya laki-laki yang mempunyai tempat tidur (maksudnya yang menikahi ibunya sebelum terjadinya hubungan suami istri) yang berhak menjadi wali bagi anaknya. Sehingga anak hanya sah bagi suami (yang telah telah melakukan akad nikah yang sah dengan istrinya). Adapun zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan nasab.
Kompilasi Hukum Islam
Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100 yang berbunyi: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” dan Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Oleh karena itu terkait hak kewarisan, karena hanya dinasabkan kepada ibunya, anak perempuan tersebut hanya dapat saling waris mewaris dengan ibunya.
Selanjutnya ialah terkait wali nikah bagi anak perempuan yang lahir di luar nikah, maka walinya adalah wali hakim. Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ [أخرجه الأربعة إلا النسائي وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم]
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra ia berkata: Bersabda Rasulullah saw: ‘Wanita manapun yang melakukan akad nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal itu) terjadi dukhul, maka wanita itu berhak mendapat mahar karena penghalalan farajnya. Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang tiadak mempunyai wali’.” [Ditakhrijkan oleh empat imam hadis kecuali an-Nasa’i dan dinyatakan shahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim]
Oleh karena itu, di sinilah pentingnya nasab dalam Islam yang hanya bisa diperoleh melalui jalan pernikahan.
Wallahu a’lam bish shawab. (*)
Ustadzah Ain Nurwindasari SThI, MIRKH adalah anggota Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sekretaris Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Daerah Asiyiyah (PDA) Gresik; alumnus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah dan International Islamic University of Malaysia (IIUM); guru Al-Islam dan Kemuhammadiyahan SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik.
Editor Mohammad Nurfatoni