Muhammadiyah Jangan Sampai Mendukung karena Ada Imbalan

Dekan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Phillip J. Vermonte PhD.

PWMU.CO – Muhammadiyah jangan sampai mendukung seseorang atau sekelompok orang karena ada reward (imbalan) yang didapat. Hal itu diingatkan Dekan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Phillip J. Vermonte PhD.

Dia menekankan, dalam konteks demokrasi, hal paling penting yang menjadi penopang yaitu trust(kepercayaan).

Dia sepakat dengan Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEdbahwa banyak lembaga yang menyebutkan, terjadi tren global demokrasi mundur. 

“Ada tantangan-tantangan populisme, kecenderungan-kecenderungan otoritarianisme di berbagai negara,” ungkapnya. 

Trust ada yang horizontal (antarwarga negara) dan trust vertical (antara warga atau masyarakat sipil dengan penguasa/pemerintah),” terangnya, Jumat (26/1/2024) malam di Pengajian Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bertema ‘Muhammadiyah dan Pemilu 2024’.  

Phillip menegaskan, kedua trust ini harus sama dan sebangun. “Kalau trust antarmasyarakatnya baik, trusthorizontalnya baik, itu modalitas utama sebagai modal sosial kapital.”

Secara vertikal, sambungnya, trust hanya terbentuk bila masyarakat mempercayai pemerintahnya. Bahwa pemerintahnya bekerja sungguh-sungguh untuk kemajuan. 

Di sisi yang lain, lanjut Phillip, ada kewajiban-kewajiban juga dari sisi masyarakat. Kalau dalam sistem politik, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. 

Dia lantas mengisahkan, di zaman Khalifah Ali Bin Abi Thalib memerintah, ada warga yang nyinyir, “Wahai Khalifah Ali, kenapa di masa Khalifah Ali ini banyak sekali pemberontakan? Masa Khalifah sebelumnya enggak ada.”

Ali Bin Abi Thalib santai menjawab, “Waktu zaman Nabi, beliau memimpin orang seperti saya. Sekarang saya memimpin orang seperti Anda.” Jadi khalifah Ali sebetulnya menyindir balik. Bahwa ada kewajiban-kewajiban dari orang-orang yang dipimpin 

Dalam konteks ini, dia sepakat dengan Sekum PP Aisyiyah Tri Hastuti MSi, ada elemen-elemen prosedural yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan atau penyelenggara pemilu. “Bawaslu, KPU, aparat keamanan, pegawai negeri harus Netral,” imbuhnya.

Baca sambungan di halaman 2: Kerelawanan

Dekan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Phillip J. Vermonte PhD: Muhammadiyah Jangan Sampai Mendukung karena Ada Imbalan

Kerelawanan

Tetapi dia yakin ada aspek-aspek tentang masyarakat yang memengaruhi. “Demokrasi kadang-kadang menjadi tegang karena trust-nya hilang. Trust warga kepada pemerintah dan trust antarwarga negara. Kalau ada ketegangan diskrepansi antara elite pemimpin dengan masyarakat itulah problem-problem mulai muncul,” urainya. 

Untuk menjelaskan bagaimana trust bisa muncul dan terpelihara panjang, dia mengisahkan dari literatur Barat. “Ada filsuf Prancis Alexis de Tocqueville. Dia penasaran. Tahun 1800-an, Amerika Serikat itu kan masa isolasionis. Amerika hanya membangun-membangun untuk dirinya sendiri dan sebentar saja jadi negara yang makmur karena enggak terlibat dalam urusan-urusan dunia,” ujarnya.

Ia lanjut mengisahkan, Alexis de Tocqueville mendengar kisah tentang Amerika yang maju pesat secara ekonomi. Karena penasaran, dia pergi ke Amerika. Di sana dia melihat, kemudian menulis buku yang menjadi rujukan ilmu politik. 

“Salah satu rujukan penting mengenai demokrasi di Amerika. Dia bilang sebabnya bukan kekayaan, kesejahteraan atau kemakmuran negara tapi justru karena di tengah masyarakat Amerika yang dia lihat tahun 1800-an itu adalah rasa kerelawanan atau voluntarisme,” ungkapnya.

Dengan kerelawanan, kata Phillip, orang bersedia melakukan sesuatu untuk orang lain. “Ini sebetulnya modal sosial terbesar dari organisasi Muhammadiyah. Itulah kenapa Muhammadiyah berdiri sebelum ada negara yang namanya Indonesia. Makanya Kiai Dahlan bilang, jangan cari penghidupan di Muhammadiyah karena justru tujuannya adalah untuk menghidup-hidupkan,” tuturnya.

Kerelawanan itulah yang dilihat juga oleh si Alexis de Tocqueville di Amerika Serikat tahun 1800. “Yang menyebabkan mereka tumbuh berkembang. Karena trust antarmasyarakat sangat tinggi,” tegasnya.

Baca sambungan di halaman 3: Tidak Ribut

Dekan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Phillip J. Vermonte PhD.

Tidak Ribut

Maka Phillip mendoakan, “Mudah-mudahan, Muhammadiyah tidak terbawa urusannya pemilu jadi ribut. Sebetulnya mungkin di tingkat elite Bapak Ibu sekalian jadi ribut soal siapa dapat apa?”

Seringkali dia mendengar, “Organisasi A organisasi B ngapain membantu kandidat A kandidat B atau penguasa tertentu. Kita dapat apa? Pertanyaannya gitu. Mau membantu karena ingin mendapatkan sesuatu. Ini sangat bertentangan dengan kenapa Muhammadiyah didirikan.”

Sepakat dengan Agung Danarto, Muhammadiyah adalah organisasi ide dan nilai, bukan material. “Karena itu memang prinsip konsistensinya. Kalau organisasi seperti Muhammadiyah ini banyak di Indonesia artinya modal sosialnya besar, kerelawanannya tinggi,” jelasnya.

Sekarang, menurutnya, orang mulai mencari keuntungan-keuntungan material karena organisasinya makin besar, kemudian banyak ingin mendapatkan dukungan dengan segala macam cara.

Melihat ini, Phillip menuturkan, “Muhammadiyah jangan sampai terjadi mendukung atau membantu seseorang atau sekelompok orang karena ada reward yang ingin didapat. Tadi sudah disampaikan, demokrasi prosedural penting. Yang lebih penting adalah yang substansial. kalau dalam bahasa Pak Agung Danarto (Ketu PP Muhammadiyah) adalah perjuangan terhadap nilai dan gagasan.”

Akhirnya dia menyimpulkan, ini modal utama Muhammadiyah dalam pemilu.  “Karena kalau bisa menjadi titik tengah dari semua macam hari ini. Kita lihat semua organisasi ke sana ke sini dan lain-lain. Muhammadiyah sepertinya dalam bacaan saya berusaha menjaga, otonom, menjaga jarak yang sama terhadap semua kandidat atau semua paslon (pasangan calon),” ujar pria asli Padang itu.  (*)

Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version