PWMU.CO – Tokoh Muhammadiyah yakni Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027 Nur Cholis Huda, di masa mudanya adalah seorang wartawan freelance (bekerja lepas).
Passion-nya dalam tulis-menulis dimulai sejak ia pelajar, di antaranya menulis majalah dinding di sekolahnya. Saat muda dia aktif menulis di berbagai koran dan majalah, hingga suatu saat ditawari seorang redaktursebuah koran mingguan untuk meliput acara-acara seni, termasuk show Rhoma Irama di Taman Remaja.
Kisah ini terungkap dalam salah satu bagian bab buku yang akan segera dirilis: Nur Cholis Huda Rumput Hijau di Muhammadiyah karya Amar Faishal terbitan Kanzun Books Februari 2024. Untuk mendapatkan kisah menarik lainnya dari sosok yang inspiratif ini bisa memesan buku Nur Cholis Huda Rumput Hijau di Muhammadiyah. Pemesanan melalui WhatsApp Harijaya (0878-5331-7612) atau Kuntari (0857-4893-2540) sebelum tanggal 29 Februari 2024. Berikut cuplikannya:
Liputan Artis dan Khatib di Lapangan
Perjalanan menjadi penulis memang tidak seketika. Ada tahapan yang harus dilewati. Nur Cholis Huda juga begitu. Ia mengagumi Hamka. Membaca karya-karyanya di perpustakaan Pesantren Maskumambang, Dukun, Gresik, dan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri 1 Surabaya. Juga berbagai bacaan lain yang tersedia.
Ini menumbuhkan angan untuk bisa melakukan seperti Hamka. Bisa menulis, membuat karangan. Kemudian menulis apa saja yang ia bisa lakukan untuk mengisi mading di sekolahnya, SPG Negeri 1 Surabaya. Artikel, cerpen, laporan, ulasan, berita pendek, pengumuman. Setiap pekan ia menulis. Ini menjadi semacam latihan dasar.
Kepercayaan dirinya tumbuh setelah mendapat penghargaan dalam lomba penulisan di Polwiltabes Surabaya, sebagai juara ketiga, tahun 1973. Ia juga telah melengkapi dirinya dengan keterampilan mengetik, setelah ia disarankan ikut kursus mengetik.
Dengan modal itu, plus keinginan dan semangat untuk terus belajar ia mulai menulis. Dikirim ke surat kabar. Media dengan jangkauan yang lebih luas.
Ia menulis di artikel, cerpen, dan laporan untuk surat kabar di Surabaya, seperti Memorandum. Memorandum mulanya koran mahasiswa, didirikan oleh Agil H. Ali, tokoh mahasiswa pada zamannya. Juga mengirimkan tulisan ke koran Surabaya Minggu.
Aktivitas yang baginya sangat menyenangkan. Banyak pengalaman baru yang ia dapatkan. Ini di luar pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar.
Ia biasa mengirimkan tulisannya secara langsung ke kantor surat kabar di Surabaya dengan bersepeda. Kadang menemui redakturnya, menanyakan apa yang harus diperbaiki dari tulisan yang ia buat. Ia mendapat masukan, entah itu tulisannya yang terlalu panjang, kurang detail, judulnya kurang menarik dan lain-lain.
Satu ketika ia mengantar cerpen ke rumah redaktur rubrik seni, dengan harapan mendapatkan masukan. Sampai di rumahnya malah diminta meliput acara di Taman Remaja, Surabaya.
“Sudah pernah lihat Oma Irama?” tanya Pak Redaktur. Waktu itu nama populer penyanyi asal Tasikmalaya ini masih “Oma”. Belum Rhoma Irama. Sebelum berangkat berhaji.
“Belum, Pak.”
“Mau lihat Oma Irama di Taman Remaja?” tanyanya lagi.
“Mau, Pak.”
Redaktur Surabaya Minggu punya undangan show Oma Irama, tapi bentrok dengan acara keluarganya. Karenanya ia menawarkan undangan itu pada Nur Cholis. Ia sudah kenal Nur Cholis. Sudah pernah memuat tulisannya. Ia menawarkan undangan itu dengan satu permintaan untuk melakukan liputan. Menulis laporan Oma Irama beserta foto show-nya.
“Tapi saya tidak punya kamera, Pak,” kata Nur Cholis. Redaktur itu kemudian meminjami kamera dan membekali 1 rol film hitam putih. Nur Cholis pulang membawa undangan dengan perasaan senang. Bisa nonton Oma Irama. Bintang panggung yang sedang ngetop bersama Group Sonetanya.
Sebelum sampai tempat kos ia mampir ke Studi Foto Jakarta di Jalan Tambakrejo. Minta tolong diajari cara memasang film dan motret. Juga cara menggunakan lampu kamera. Ini pengalaman pertamanya meliput di Taman Remaja. “Harus bagus,” pikirnya.
Larut malam baru selesai acaranya. Besoknya kembali ke Studio Foto Jakarta, nyetak foto. Dari satu rol film yang jadi hanya tiga foto. Yang lain gambarnya kacau. Ada yang fotonya miring, ada yang kabur, juga ada yang gelap.
Ketika manggung, Oma Irama selalu bergerak, menggoyang badannya ke kiri dan kanan. Nur Cholis belum tahu bagaimana cara motret dalam situasi seperti itu.
Teknologi foto masa itu, kualitas hasil foto baru diketahui hasilnya setelah filmnya dicuci-cetak di studio. Belum ada foto digital yang langsung bisa ketahuan hasilnya.
Tiga foto itulah yang diserahkan beserta tulisan liputannya. Redaktur tidak ada pilihan foto lain karena hanya tiga itu yang tersedia. Akhirnya liputan dan fotonya jadi dimuat, sesuai dengan yang diharapkan.
Baca sambungan di halaman 2: Wartawan Seni Bisa Khotbah
Discussion about this post