PWMU.CO – Ketua PWM Jatim Dr dr Sukadiono MM mengingatkan potensi stres pascapemilu 2024. Ini menjadi salah satu bahasannya di Pengajian Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang berlangsung daring.
Pengajian ini mengusung tema, “Konsolidasi Dakwah Muhammadiyah Pasca Pemilu 2024”. Malam itu juga ada narasumber Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd dan Ketua Umum PP Aisyiyah Dr apt Salmah Orbaniyah MKes.
Awalnya, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Sukadiono mengajak jamaah mengingat doktrin perjuangan Muhammadiyah yang terakhir, yaitu Muhammadiyah menjauhi politik praktis. Namun ia meluruskan, “Tapi bukan berarti menjauhi politik praktis kemudian kita apatis terhadap dunia politik yang selalu dekat dengan kita.”
Sebab, di dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), Sukadiono menegaskan, ada petunjuk untuk ikut berpartisipasi dalam dunia politik dan risalah Islam berkemajuan, Jumat (23/2/2024).
Suko–sapaan akrabnya–menilai pada kontestasi pemilu 2024 ini banyak menemui selebrasi gimik. Kemudian ada gesekan keras atau bullying di media sosial yang kadang tidak terkendali. “Padahal persoalan ini hanya perbedaan pilihan yang kemudian kita mencari justifikasi,” ungkapnya.
Maka timbul persoalan, ada yang terlalu fanatik mendukung paslon tertentu. Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya ini khawatir terjadi post election stress disorder (PESD) atau stres pasca pemilu. “Karena terlalu fanatik sehingga membela mati-matian terhadap paslon yang kita dukung,” terangnya.
Selain itu, Suko khawatir terjadi kondisi gangguan kesehatan mental yang tidak hanya bisa menyerang para politisi yang kontestasi tetapi juga para pendukungnya. “Jadi jangan sampai kita terlalu fanatik sehingga kita bisa terkena penyakit tersebut,” tutur Suko.
PESD
Suko menjelaskan, PESD akan meningkatkan kecemasan yang ditandai dengan perasaan putus asa atau ketakutan setelah berakhirnya pemilu politik yang kritis. “Setelah pilpres, sebagai warga Muhammadiyah seharusnya sudah selesai dan segera move on kemudian tidak terbawa oleh alam bawa sadar kita bahwa calon kita harus menang,” ujarnya.
Kemudian Sukadiono menjelaskan gejala PESD. Pertama, meningkatnya kecemasan. “Jadi kita setelah pemilu masih merasa cemas dengan calon kita. Akhirnya kita berjuang bagaimana calon kita bisa menang dengan berbagai macam cara yang tidak masuk akal,” katanya.
Ia menyayangkan hal ini sebab warga Muhammadiyah sering menyebut dirinya well educated. “Orang yang well educated cirinya, paradigma ketika melihat sebuah persoalan itu segera mencari solusi. Bukan malah membuat masalah yang baru,” tegasnya.
Menurutnya, sekarang banyak ketika menghadapi persoalan itu timbul masalah-masalah baru. “Ini bukan sifat Muhammadiyah yang well educated,” ungkapnya.
Ia menegaskan, ciri orang muhammadiyah itu taat aturan. “Msalnya paslon kita kurang diuntungkan dengan beberapa hal yaitu ada hal yang mencurigakan dan melanggar aturan maka ada lembaga yang berwenang,” terangnya.
Oleh karena itu, kata Sukadiono, lebih baik menyerahkan semua kepada Allah SWT. “Jangan sampai menimbulkan kecemasan yang berlebihan,” pesannya lalu menukil ayat Quran berikut.
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّ
Artinya, “Apabila manusia telah membulatkan tekad untuk menjalankan sebuah urusan, maka serahkan urusan tersebut kepada Allah SWT.”
Gejala PESD lainnya meliputi serangan panik, ketakutan akan masa depan, kemarahan yang tidak terkendali, pikiran negatif yang terus berputar tanpa henti, sulit konsentrasi dan menyebabkan masalah hubungan.
Sikap Muhammadiyah
Terakhir, Suko membahas yang harus Muhammadiyah lakukan dalam konteks Pemilu 2024. Pertama, memelopori menjadi warga negara yang cerdas, bijak, dan profesional dalam bersikap atas hasil Pemilu 2024 beserta efeknya.
“Contohnya, menahan diri untuk tidak mudah menyebar informasi yang belum jelas asal muasalnya. Saring sebelum sharing!” perintahnya.
Kedua, kata Sukadiono, mendorong semua lapisan untuk melakukan rekonsiliasi, terutama para elite bangsa. “Bukan rekonsiliasi dengan bagi-bagi kue kekuasaan!” tegasnya.
Ketiga, mempelopori sebagai agen rekonsiliasi. Ini langkah awal untuk menyatukan elite dan mongharmonisasikan masyarakat. Sekaligus menjadi titik awal yang baik untuk membangun pemerintahan yang kuat. Termasuk supaya perekonomian kembali tumbuh positif.
“Untuk mewujudkan kondisi di atas, semua pihak harus segera beranjak dari kondisi keterbelahan atau move on dari situasi politik yang cenderung distruktif,” katanya.
Keempat, menjadi agen kontrol pemerintah dalam mengawasi janji politik dan program-program yang berorientasi untuk kesejahteraan rakyat. (*)
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni