Sejarah Shalat Tarawih; Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ. رواه البخاري
Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin radhiallahu’anha berkata, “Pada suatu malam Rasulullah ﷺ melaksanakan salat di masjid, maka orang-orang mengikuti salat beliau. Pada malam berikutnya beliau kembali melaksanakan salat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun Rasulullah ﷺ tidak keluar untuk salat bersama mereka. Ketika pagi harinya, beliau bersabda, “Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar salat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian.” Kejadian ini di bulan Ramadhan. (HR Bukhari)
Tidak Mewajibkan yang Bukan Diwajibkan
Rasulullah memimpin shalat Tarawih dua hari atau tiga hari saja. Sebagaimana dalam hadits di atas yang bersumber dari Ummul Mukminin Ibunda ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha. Pada malam ketiga atau keempat beliau tidak keluar lagi, sementara para sahabat Nabi semakin banyak berkumpul di masjid akan tetapi Nabi justru tidak keluar rumah. Dan pada keesokan harinya Rasulullah menyampaikan bahwa beliau khawatir shalat ini menjadi wajib atas umatnya.
Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat menyayangi umatnya. Ibadah yang sebenarnya tidak diwajibkan jangan sampai kemudian menjadi diwajibkan atas umatnya. Maka umat pun mestinya memahami mana ibadah yang memang diwajibkan dan mana ibadah yang tidak diwajibkan. Jangan sampai umat mewajibkan sesuatu yang tidak wajib menjadi seolah wajib. Hal ini terkait tradisi yang berlangsung di tengah umat, jangan sampai seolah orang yang tidak mengikuti tradisi itu menjadi bukan bagian darinya, yang menganggapnya seolah wajib.
Shalat Tarawih hukumnya sunah, dan semua para ulama bersepakat akan hal ini. Sekalipun terjadi perbedaan dalam soal jumlah rakaat seharusnya tidak menjadi masalah. Perbedaan pendapat dan pandangan itu wajar terjadi di tengah umat, karena masing-masing pemimpin umat atau ulama memiliki sudut pandang yang berbeda pula, juga tingkat pemahaman dan perspektif berpikirnya juga berbeda yang kadang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Imam asy-Syafi’i sendiri dengan berpindah tempat dari Irak ke Mesir memiliki qaul qadim dan qaul jadid, yakni pendapat lama dan pendapat baru.
Mewajibkan yang bukan wajib secara syar’i dapat menyebabkan seseorang terjebak pada menyaingi hukum Allah. Padahal Allah sajalah sebagai al-Hakim, Dzat Yang Maha Bijaksana. Tidak ada manusia yang bijak yang akan dapat membuat hukum yang mengandung kebenaran universal, dapat berlaku bagi semua manusia. Dan yang memiliki otoritas ini hanya Allah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Sedangkan masalah keduniawiaan adalah sebagai pendukung dari tegaknya syariat ini, sehingga bisa jadi memiliki aturan yang berbeda sesuai keadaan masing-masing daerah.
Shalat misalnya membutuhkan tempat, membutuhkan alat pengeras suara untuk memanggil orang shalat yakni adzan, maka semua instrumen pendukung tersebut menjadi hal yang wajib adanya tetapi tidak mengubah inti ibadanhnya yaitu shalat. Dan keadaan bentuk bangunan dan lain sebagainya tidak ditentukan bagaimananya. Demikian pula haji sebagai rukun Islam juga dalam manasiknya jangan sapai berubah sesuai selera, akan tetapi ketika keberangkatannya mau melalui udara, laut, dan darat itu persoalan yang berbeda dari inti ibadahnya itu sendiri. Dan begitu seterusnya.
Shalat Terawih pada Masa Khalifah Umar
Pada masa Khalifah Umar shalat Terawih terjadi banyak jamaah dengan imam yang banyak pula. Bahkan ada juga yang shalat sendiri-sendiri. Hal demikian yang kemudian menjadikan sang Khalifah berijtihad agar shalatnya menjadi satu jamaah saja, dan beliau menunjuk Ubay bin Ka’ab menjadi imam mereka, hal ini termaktub dan riwayat sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata, “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu’anhu pada malam Ramadan menuju masjid, ternyata orang-orang salat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang salat sendiri dan ada seorang yang salat diikuti oleh makmum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata, “Aku pikir seandainya mereka semuanya salat berjamaah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik.” Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang salat dalam satu jamaah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang salat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan salat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan salat pada awal malam. (HR. Bukhari)
Ijtihad sang Khalifah yang kemudian mengandung kontroversi adalah pernyataan beliau ni’mal bid’atu hadzihi yakni sebaik-baik bid’ah adalah ini. Sebagaimana pada pembahasan hadits Rasulullah di atas tentu pijakan ijtihad sang Khlaifah ini tidak menyalahinya, karena memang sejak awal aktivitas shalat teraweh ini sudah ada, hanya saja agar tidak terkesan terpecah maka perlu untuk dijadikan satu imam dalam pelaksanaanya. Di antara ulama menyebut kata bid’ah dalam hal ini bukan bid’ah secara syar’i akan tetapi secara lafdhi. Wallahu a’lam (*)
Editor Mohammad Nurfatoni