Keutamaan Mengasuh Anak Perempuan, Penghalang dari Api Neraka; Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ جَاءَتْنِي امْرَأَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا فَسَأَلَتْنِي فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَأَخَذَتْهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ وَابْنَتَاهَا فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثْتُهُ حَدِيثَهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ابْتُلِيَ مِنْ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ. متفق عليه
Bahwa ‘Aisyah istri Nabi ﷺ berkata, “Saya pernah dikunjungi oleh seorang wanita yang mempunyai dua orang anak perempuan. Kemudian wanita tersebut meminta makanan kepada saya. Sayangnya, pada saat itu, saya sedang tidak mempunyai makanan kecuali sebiji kurma yang langsung saya berikan kepadanya.
Kemudian wanita itu menerimanya dengan senang hati dan membagikannya kepada dua orang anak perempuannya tanpa sedikit pun ia makan. Setelah itu, wanita tersebut bersama dua orang anak perempuannya pergi.
Tak lama kemudian Rasulullah ﷺ masuk ke dalam rumah. Lalu saya menceritakan kepada beliau tentang wanita dan kedua anak perempuannya itu. Mendengar cerita saya ini, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa diuji dalam pengasuhan anak-anak perempuan, lalu ia dapat mengasuh mereka dengan baik, maka anak perempuannya itu akan menjadi penghalangnya dari api neraka kelak.’ (Muttafaqun alaih)
Anak Adalah Karunia
Setiap pasangan yang baru menikah pasti selanjutnya akan mendambakan keturunan. Namun demikian banyak pula yang diuji, sudah sekian lama belum mendapatkan keturunan. Maka betapa bahagianya ketika pasangan suami istri telah dikarunia anak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Anak merupakan pelengkap bagi pasangan suami istri, ia menjadi bunga cinta bagi keduanya. Sekalipun seorang istri harus berjuang dalam rangka mendapatkannya ini, mulai mengandung selama sembilan bulan, melahirkan dengan susah-payah dan menyusuinya. Semua itu dijalaninya sebagai fitrah sebagai seorang wanita.
Kerap kita cermati bahwa pasangan baru itu ingin mendapatkan anak laki-laki, dan seolah hal itu menjadi kebanggaan. Begitulah sejak masa dahulu, dalam al-Quran dijelaskan bahwa keluarga Imran yang kemudian disebut Ali ‘Imran–urutan surah ke tiga dalam al-Quran—juga demikian. Istri Imran berdoa agar diberi keturunan laki-laki dan bahkan belia bernazar agar anaknya menjadi anak yang shaleh dan nantinya akan berkhidmat di Baitul Maqdis.
Ternyata yang dilahirkannya perempuan dan diberi nama Maryam. Diasuhlah Maryam ini oleh Nabi Zakaria. Kelak dari Siti Maryam ini lahir seorang nabi tanpa ayah yaitu Isa bin Maryam. Menjadi catatan penting bahwa cita-cita atau harapan besar dari orang tua shaleh adalah lahir anak yang shaleh dan menjadi generasi yang selalu berkhidmat dalam agamanya. Ketika demikian harapan orang tua maka sudah pasti dikabulkan oleh Allah, walaupun sebelumnya tidak sesuai harapan karena ternyata anak perempuan.
Demikian pula Nabi Zakaria, beliau juga berharap mendapat karunia anak yang akan didedikasikan untuk agamanya. Beliau tidak berputus asa walaupun istrinya sudah tua dan dikenal mandul.
Doa dapat menjadi wasilah dikabulkan oleh Allah sekalipun secara ilmiah seolah tidak mungkin. Doa orang tua agar memiliki keturunan yang dapat melanjutkan perjuangannya menegakkan agama akan dikabulkan oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala. Nabi Zakaria mendapat karunia anak laki-laki yang bernama Yahya yang kelak juga menjadi nabi (lihat surah Ali ‘Imran: 33–59).
Anak Perempuan
Anak perempuan dapat menghalangi kedua orang tuanya dari api neraka, sebagaimana penjelasan dalam hadits di atas. Tentu orang tua atau walinya wajib menjaganya dari hal-hal yang dapat menyebabkan anak tersebut melakukan perbuatan nista. Orang tua harus tetap bangga walaupun anak-anaknya perempuan semua. Karena sebagaimana hadits di atas, merekalah yang dapat menjadi penghalangnya dari api neraka.
Oleh karena itu pendidikan bagi anak perempuan sesungguhnya berbeda dengan anak laki-laki. Materi dan sistem pendidikannya mestinya berbeda. Seorang wanita yang hanya mementingkan kariernya di dunia pasti akan memiliki kecenderungan yang sama dalam rangka memberikan pendidikan kepada anak-anaknya kelak. Padahal karier puncak seorang perempuan adalah sebagai istri yang shalehah dan ibu yang shalehah bagi anak-anaknya. Sekaligus sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Pendidikan tentang agama terutama persoalan akidah-akhlak, tentang ibadah-syariah dan kemampuan dasar dalam berumah tangga lebih membutuhkan peran ibu dalam keluarga. Sehingga pendidikan kepada anak perempuan lebih menitik beratkan pada aspek bagaimana nantinya ia dapat mendidik kader-kader dakwah meneruskan perjuangan menegakkan agama Allah. Seorang ibu perannya di belakang layar, akan tetapi sangat menentukan bagi nasib dan baik-buruknya masyarakat dan negara.
Banyak orang tua bangga dengan kesuksesan dunia bagi anak-anaknya. Tetapi bagaimana dengan kesuksesan di akhiratnya? Padahal kekhawatiran yang seharusnya dimiliki adalah kekhawatiran terhadap nasib di akhiratnya itu. Akan tetapi karena sejak awal mereka memiliki orientasi sukses dunia akhirnya persoalan nasib di akhirat menjadi tidak begitu merisaukannya.
Bangga dengan prestasi dunia boleh-boleh saja, akan tetapi jangan hanya puas sampai di situ karena tanggung jawab sebagai orang tua adalah akhirat lebih utamanya dan tidak boleh melupakan dunianya.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (at-Tahrim: 6) (*)
Editor Mohammad Nurfatoni