Dialektika Makan Siang Gratis oleh Arief Hanafi, Guru Sosiologi SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo.
PWMU.CO – Praktik demokrasi yang sehat bisa tercipta apabila ada check and balances serta dialektika dalam bernegara.
Untuk mencapai itu maka dibutuhkan peran oposisi yang konstruktif untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Harapan tersebut akan terkonsolidasi jika ada partai oposisi yang mampu mengimbangi kekuatan pemerintah dan parpol koalisinya.
Pengalaman kurang menyenangkan terjadi pasca Pilpres 2019. Hal tersebut ditandai dengan masuknya kader Partai Gerindra dan PAN dalam Kabinet Indonesia Maju.
Akrobat politik ini mengakibatkan dinamika politik yang tidak seimbang. Tentu dalam konteks dialektika demokrasi, realitas politik seperti itu tidak sehat. Pasalnya tidak terjadi keseimbangan antara pemerintah dengan oposisi. Alhasil kebijakan-kebijakan politik yang dijalankan pemerintah tidak ada pengawasan yang kuat.
Pengalaman politik seperti itu sudah seharusnya dihindari setelah Pilpres tahun 2024 ini. Sudah saatnya partai politik dan masyarakat sipil mengambil posisi di mana ia harus berpijak. Menjadi bagian pemerintah atau di luar pemerintah.
Kita membutuhkan jalan demokrasi yang lebih stabil dan terkontrol dengan baik. Maka untuk mencapai tujuan tersebut perlu memandang dinamika demokrasi secara dialektis. Kita juga harus memahami bahwa setiap perdebatan antara oposisi dan pemerintah adalah sesuatu yang wajar dan menyehatkan bagi perjalanan suatu bangsa.
Pandangan secara dialektis semacam ini sebenarnya merujuk pada pemikiran Friedrich Hegel. Seorang filsuf Barat yang mengidentikkan dialektika sebagai sejarah yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan misalnya, tanpa Hegel ideologi Marxisme tidak lahir di dunia. Begitu juga dengan konflik-konflik ideologi lain akan sulit dibayangkan eksistensinya.
Ada tiga tahapan dalam proses dialektika yaitu, tesis yang melahirkan lawannya yaitu antitesis sebagai fase kedua, dan sintesis yang mendamaikan di antara keduanya.
Dari ketiga konsep itu dapat dijelaskan secara singkat bahwa kebenaran yang terkandung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk yang sempurna.
Dana BOS
Seperti program makan siang gratis. Untuk menyukseskan program tersebut calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran merencanakan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Wacana ini masuk pada fase munculnya tesis. Tidak berhenti di situ, kebijakan tersebut ternyata mengundang banyak kritikan, terutama di lingkungan organisasi atau aktivis pendidikan.
Salah satunya datang dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Mereka berpendapat, dana BOS selama ini digunakan untuk membayar gaji guru dan tenaga honorer. Maka hal itu sangat kontraproduktif dengan spirit menyejahterakan kaum pendidik. Bentuk penolakan ini merupakan fase antitesis dalam pertarungan wacana.
Ketika wacana tersebut terus berkembang, maka hal pertama yang dilakukan pemerintah adalah upaya menjaga stabilitas dalam negara.
Berbagai macam narasi yang berbeda tersebut menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam memutuskan kebijakan. Ketika diskusi publik ini terus berkembang maka akan muncul sintesis atau wacana lain yang bersifat ”mendamaikan” keduanya.
Misalnya terkait penggunaan dana BOS untuk kegiatan makan siang gratis. Dana tersebut bisa digunakan namun sifatnya adalah talangan bukan sepenuhnya untuk membiayai program makan siang gratis. Karena sifatnya talangan, maka dana itu bisa dikembalikan ke pos anggaran awal.
Proses dialektika semacam itu berlangsung terus menerus. Sintesis yang sudah ada akan menjadi tesis baru yang melahirkan antitesis baru lagi dan keduanya dapat didamaikan dengan kehadiran sintesis baru.
Jika digambarkan, maka gerak dialektika itu seperti gerak spiral dan bukan gerak garis yang linier. Maka prinsipnya dalam perkembangan ide atau gagasan tidak ada proposisi yang dapat disanggah sepenuhnya.
Mengutip dari Hegel, setiap generasi yang baru dapat menganggap dirinya sendiri sebagai penghancur, pelestari, dan penyempurna kebudayaan yang diwarisi oleh pendahulunya (Aiken, 2002).
Program makan siang gratis merupakan salah satu contoh realitas politik dalam negara demokrasi yang meniscayakan ada pergulatan ide dan gagasan di dalamnya. Dialektika makan siang gratis diharapkan melahirkan sintesis yang baik sehingga tidak merugikan sekolah.
Pemerintah tidak bisa membatasi masyarakat sipil dan partai oposisi untuk bersuara. Terlebih mempunyai perasaan waswas sehingga berambisi untuk menarik partai lain untuk masuk koalisi besar.
Sebaliknya, pemerintah sudah seharusnya berterima kasih dengan peran partai oposisi dan masyarakat sipil sebagai penyeimbang gerak langkah demokrasi.
Kita berharap dengan adanya masyarakat sipil dan partai oposisi yang kuat akan memunculkan pergulatan ide dan gagasan sehingga melahirkan sintesis baru.
Sudah saatnya pemerintah tidak alergi kepada pihak yang berlainan pandangan terhadap program-programnya. Sebaliknya pemerintah seharusnya memberikan ruang untuk diskusi beradu wacana dan argumentasi demi kesehatan demokrasi kita.
Editor Sugeng Purwanto