PWMU.CO – Seandainya jujur, selesailah Pilpres. Demikian salah satu pesan yang mencuat di tengah khutbah Idul Fitri 1445 di lapangan Desa Sekaran, Lamongan, Jawa Timur, Rabu (10/4/2024).
Ustadz Ahmad Fuad SPd MPd mengatakan, “Seandainya para pejabat, politisi dan penyelenggara pemilu jujur, maka selesailah pilpres itu, tidak perlu bertele-tele, tidak perlu ada sengketa, tak perlu adu argumen dan setumpuk barang bukti di depan para hakim Mahkamah Konstitusi. Ini semua terjadi karena sudah hilang dan sirnanya kejujuran di hati kita masing-masing.”
Sejak pukul 05.00 WIB, jamaah shalat Idul Fitri mulai berdatangan. Terpantau oleh PWMU.CO, jamaah yang datang secara rombongan mayoritas didominasi oleh satu keluarga besar.
Misalnya, keluarga Munirom berjumlah 15 orang terdiri anak dan cucu. “Pas semua anak-anak emak pulang semua, Pak,” demikian kata Nur Ariyanto, anak kedua Wiji Mukasim (almarhum), suami Munirom.
Ketua Takmir Masjid Manarul Islam Sekaran Muhammad Amin merasakan kegembiraannya. “Jamaah yang mengikuti shalat Id tahun ini membeludak, terlihat wajah-wajah baru yang datang dari perantauan,” ujarnya.
Jamaah yang ikut shalat Id tidak saja warga Pimpinan Ranting Muhammadiyah Sekaran. Banyak juga warga Muhammadiyah dari desa-desa sebelah yang belum mempunyai ranting sendiri.
Misalnya desa Pangean kecamatan Maduran, desa Moro kecamatan Sekaran, dan yang agak jauh sekitar 3 kilometer dusun Widang desa Karang kecamatan Sekaran.
Demikian pula wajah-wajah baru yang mudik dari perantauan terlihat ikut berbaur bersama jamaah lainnya. Dari fakta tersebut, gelaran yang disediakan oleh panitia tidak muat, sehingga banyak jamaah yang harus menggelar sajadah mereka masing-masing di luar area.
Awalnya, Ketua Panitia Khoirul Yaqin SPd mengumumkan tentang perolehan zakat, infak, dan sedekah. “Di peroleh zakat fitrah 1.596 kg beras, Rp 52,63 juta rupiah zakat maal dan infak sebesar Rp 32,5 juta. Zakat fitrah dan maal dibagikan kepada sekitar 566 mustahiq,” terangnya.
Produk Ibadah Puasa
Usai shalat, jamaah mendengar khotbah dari Ustadz Fuad. “Ada beberapa pelajaran dari ibadah puasa ini. Pertama, ibadah puasa bisa menjadi cover dari semua amalan yang kita lakukan sebelum bulan Ramadhan. Penutup segala lembaran buruk yang barangkali telah kita lakukan selama sebelas bulan menjalani proses kehidupan ini,” ujarnya.
Ia mengatakan, Rasulullah SAW telah menggambarkan dalam sebuah hadist, “Antara satu shalat dengan shalat lainnya, antara Jumat ke Jumat berikutnya, satu Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah menjadi penutup, menjadi penghapus terhadap dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang sudah kita lakukan di antara keduanya.”
Oleh karena itu, Fuad menegaskan, ketika menjelang datangnya bulan Ramadhan, betapa Rasulullah SAW mengajarkan untuk menyambutnya dengan penuh kegembiraan. “Karena Ramadhan itu adalah hari-hari untuk beribadah, hari-hari penuh kedekatan kita terhadap Allah SWT. Artinya adalah, kita sebagai hamba-Nya harus bersikat gembira di dalam menjalani ibadah puasa tersebut dan semua ibadah yang diperintah Allah SWT,” tuturnya.
Ia meyakini, untuk bisa menjadi orang yang bergembira dalam menjalani ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain tidak sekadar menjalaninya sebagai rutinitas. Tetapi harus memaknai, ibadah itu sebagai satu hal yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Jika demikian, ia yakin, tentu dalam menjalani ibadah ini akan lahir sikap penuh kegembiraan. “Karena sesungguhnya, kitalah yang butuh untuk menjadi abdi yang benar, kitalah yang butuh menjalani ibadah dengan baik dan benar,” tegasnya.
Fuad mengingatkan, “Allah tidak butuh ibadah kita, tetapi kitalah sesungguhnya yang butuh kepada Allah SWT. Ketika kita bisa beribadah kepada Allah dengan baik dan benar, maka Allah SWT akan memperlakukan kita dengan perlakuan yang sebaik-baiknya.”
Allah SWT telah menggambarkan dalam firman-Nya surat Luqman ayat 12: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Ia membenarkan secara nyata, mereka beribadah kepada Allah. “Tetapi hakekatnya kitalah yang membutuhkan ibadah itu, karena kita butuh Allah. Demikian ketika kita bersyukur kepada Allah, hakekatnya syukur itu untuk diri kita sendiri. Inilah yang dimaknai oleh Rasulullah SAW beribadah itu harus gembira,” terangnya.
Fondasi
Kedua, kata Fuad, ibadah puasa bisa menjadi fondasi untuk menghadapi beratnya tantangan sebelas bulan yang akan dilaluinya. “Dengan gemblengan dan didikan Ramadhan diharapkan kita sukses menghadapi sebelas bulan berikutnya, karena kita sudah punya pondasi yang kokoh,” ujarnya.
Apa saja yang diajarkan oleh Allah dalam menjalani ibadah puasa satu bulan tersebut? Fuad mengingatkan di antaranya, ada dimensi keikhlasan. “Dalam menghadapi dan menjalani kehidupan ini harus penuh keikhlasan dan tanggung jawab,” katanya.
“Andaikan kita hidup pasca Ramadhan penuh dengan keterpaksaan, kalau toh Allah menghendaki, kita akan tetap hidup Tetapi alangkah indahnya, kalau kita dalam menjalani kehidupan ini penuh keikhlasan dan berserah diri, berharap hanya kepada Allah SWT,” ujarnya.
“Tentu, bagi orang-orang yang beriman akan menyerahkan dirinya kepada Allah penuh dengan ketaatan, sementara bagi orang-orang yang ingkar kepada Allah, dengan keterpaksaan dia dalam menyerahkan dirinya kepada Allah SWT. Mau, tidak mau dia terpaksa menyerah dengan segala aturan Allah karena tidak bisa memilih pilihan lain,” terangnya.
Dimensi kedua adalah sifat kejujuran. Sungguh, kata Fuad, menjadi orang-orang yang jujur saat ini berat sekali. Kejujuran seperti sudah menjadi sesuatu yang langka. Di tengah masyarakat, jujur itu sulit ditegakkan. Apalagi oleh mereka para politisi dan pejabat publik dengan drama politiknya.
Ibadah puasa menurutnya juga bisa menjadi pembeda kelompok orang yang jujur dengan yang tidak jujur. “Orang yang beriman akan jujur pada dirinya, pada orang lain dan kepada Tuhannya, dilihat atau tidak dilihat, dia tetap berpuasa,” ungkap Fuad.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak jujur akan mencari alibi agar tampil seperti orang yang berpuasa. “Di rumah, pura-pura ikut makan sahur, saat keluar rumah dengan pekerjaan dia makan dan minum dengan lahap sekali. Hingga waktunya kembali ke rumah dia tampil dan berlagak sok lesu, lelah dan penuh khidmat menunggu waktu berbuka,” imbuhnya.
Inilah, kata Fuad, watak orang-orang yang tidak jujur kepada dirinya, keluarganya dan juga kepada Tuhannya. “Orang-orang Islam di dalam melaksanakan ibadah puasa dengan jujur dan ikhlas, maka Allah SWT akan membalasnya sendiri dengan balasan yang tak terhingga,” ungkapnya.
Ia pun mengutip hadist, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya.”
Lebih lanjut, Fuad menjelaskan dimensi ketiga, yakni kesabaran. “Sabar itu menjadi kekuatan kita sebagai seorang Muslim. Dalam melaksanakan ibadah puasa, kita seperti sedang diberi ujian oleh Allah SWT. Makan minum itu halal, tetapi sabar dulu, tunggu sampai maghrib. Berkumpul dengan istri itu halal, tetapi sabar dulu, tunggu hingga malam hari nanti,” ujarnya.
Demikian perbuatan-perbuatan yang sebelumnya halal dilakukan pada siang hari, lanjutnya, karena berpuasa maka diharamkan dan dihalalkan pada malam harinya. “Kita mampu dan berhasil. Inilah buah didikan ibadah puasa yang kita laksanakan,” ungkapnya.
Ia mendoakan, semoga semua bisa menjadi orang-orang yang lebih baik. “Perilaku kita, keimanan dan ketakwaan kita, yang pada akhirnya menjadi orang-orang yang menang beruntung,” demikian dia mengakhiri khotbahnya. (*)
Penulis Mustain Masdar Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni