Opini Kemiskinan dalam Pembajakan Penerbangan 601, oleh Tulus Wijanarko
PWMU.CO –Aku melihat dunia dengan memahami bahwa satu-satunya cara membalikkan mesin sejarah adalah dengan mengangkat tatapan budak sebagai tindakan perlawanan radikal terhadap tatapan menindas tuannya …
Eusebio Borja, pemuda miskin dari Paraguay, meyakini hal itu sebagai kebenaran. Maka ia pun melawan nasib buruknya. Borja, mengklaim sebagai gerlyawan revoluisoner, mewujudkan perlawanan itu dengan membajak pesawat yang terbang dari Bogota.
Ia tak sendiri tapi ditemani sahabatnya, seorang pemuda yang sama miskinnya, bernama Toro. Drama lalu bergulir dalam aksi pembajakan selama lima hari tersebut karena dua pramugari, Edilma dan Barbara, mencoba seluruh cara mengakhiri mimpi buruk itu.
Series The Hijakcking of Flight 601 yang sedang tayang di Netflix ini bukanlah 100 persen sebuah film eksyen. Tentu ada aksi-aksi yang melibatkan senjata api dan perkelahian. Namun secara keseluruhan ini adalah drama yang mengemasan opini sutradara atas kemiskinan akut di benua Amerika Latin dekade 70an. Kemiskinan yang kian diperburuk praktik korup rezim penguasa dan kerap menggunakan tragedi untuk merebut kekuasaan.
Dari rawa-rawa kemiskinan itulah muncul dua pemuda yang ingin memperbaiki hidupnya. “Di tempat kami hanya ada dua cara mengubah nasib, menjadi pemain bola hebat seperti Pele atau mengangkat senjata,” kata Borja dalam sebuah dialog. Borja dan Toro sudah mencoba jalan pertama tapi gagal.
Lalu mereka berdua bertemu seorang ideolog gila di kota Cali yang menanamkan pengertian soal perjuangan kelas. Sebuah mantra yang menjadi pegangan banyak kelompok gerilyawan di Amerika latin kala itu. Ideolog yang mencekoki mereka bahwa membajak pesawat adalah perjuangan merebut apa yang telah dicuri kaum borjuis dari mereka. “Setiap orang punya perjuangannya sendiri.”
Tapi di pesawat dengan nomor penerbangan 601 yang membawa 70-an penumpang itu Borja dan Toro berhadapan dengan dua pramugari yang hidupnya tak kalah pahit. Terjadi adu fisik dan kecerdikan, benturan argumentasi, dan kadang terselip simpati yang harus disembunyikan.
Drama di pesawat ini lalu seperti menyuguhkan adagium: dalam keputus asaan akut setiap orang akan menunjukkan watak aslinya. Di sana, siapa pahlawan dan siapa penjahat lalu menjadi kabur.
Sutradara Pablo Gonzales mengeksekusi karya ini dengan cermat dan berkelas Suasana 70-an berhasil muncul dengan nyata. Selain itu. tak sedikit adegan dibesut dengan angle unik dan artistik, yang hanya akan menjadi adegan biasa saja jika di tangan sutradara malas. Gonzales juga orang jail, ia menyelipka humor tipis tapi menohok di sana-sini.
Dan yang terpenting, saya suka akting para pemain kuncinya. Mereka seperti sedang tidak berakting. Monica Lapera pemeran Edilma, misalnya, menyuguhkan sebuah monolog yang brilian saat ia yakin bakal mati dan ingin berpamitan pada ketiga anaknya lewat sebuah rekaman. Sebuah monolog yang bikin jatuh hati.
Series sebanyak enam episode ini, sepertinya sudah membajak saya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni