PWMU.CO – Jika koruptor meninggal dunia, siapakah yang bertanggung jawab? Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Radhityas Kharisma Nuryasinta SH MKn memberikan penjelasan.
Menurutnya harta waris adalah wujud kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli warisnya. Lalu bagaimanakah jika pewaris merupakan tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi?
Dia menjelaskan, hukum pewarisan yang berlaku di Indonesia ada tiga jenis. Yaitu hukum waris barat, hukum waris Islam, dan hukum waris adat. “Ketiga jenis ini masih berlaku dikarenakan faktor masyarakat Indonesia yang multikultural. Sehingga dengan adanya pluralisme masyarakat Indonesia, hukum waris ini adalah pilihan hukum,” katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima PWMU.CO, Sabtu (27/4/2024).
Tyas menjelaskan masyarakat boleh memilih menggunakan hukum waris adat, hukum waris Islam, atau hukum waris Barat. Hukum pewarisan ini tidak seperti Undang-Undang Dasar (UUD), serta Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang memiliki hukum yang jelas.
Sumber hukum waris Barat adalah Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau hukum waris Islam jelas bersumber dari al-Quran. Sedangkan hukum waris adat, sesuai dengan tempat adat tersebut masih berlaku, seperti adat Minang, Batak, Bali, Jawa, dan lainnya.
Unsur dari pada hukum waris ada tiga, yaitu pewaris atau pihak yang meninggalkan warisan; ahli waris yang menerima warisan; dan objek. Pewarisan akan terbuka ketika pewaris meninggal. Selain aktiva seperti pendapatan berupa tanah, rumah dan aset lainnya, ada juga peninggalan pasiva seperti utang, tanggungan biaya rumah sakit, biaya pemakaman yang juga merupakan harta waris.
“Jadi tidak hanya mendapatkan aset, ahli waris juga bisa diwariskan utang oleh pewaris termasuk mengembalikan aset negara jika pewaris dinyatakan sebagai koruptor,” katanya.
Namun, lanjutnya, ahli waris yang ditinggalkan tidak akan tiba-tiba dimintai pertanggungjawaban terkait aset negara yang belum memiliki putusan pengadilan. Pewaris harus dipastikan betul-betul bahwa ia merupakan terpidana koruptor dan aset yang dimiliki adalah aset negara. Setelah putusan pengadilannya jelas, barulah kemudian dicari aset-aset negara yang memang wajib dikembalikan.
Ketika meninggal, kewajiban seorang koruptor tidak akan terhapus. Kewajibannya ini akan turun atau diwariskan ke ahli warisnya. Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan melakukan gugatan terhadap ahli warisnya terkait jumlah aset yang harus dikembalikan oleh ahli waris. Inilah alasan mengapa tindak korupsi disebut sebagai extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa.
“Selain merugikan negara, korupsi juga merusak moralitas bangsa. Sehingga harus ada sanksi yang tegas sekalipun pelaku yang menjadi pewaris sudah meninggal,” jelasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni