PWMU.CO – Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Malang mengadakan penyuluhan hukum tentang dampak nikah sirri di Masjid Al Hikmah Jalan IR Rais Gang 3 Tanjung, Sukun, Malang.
Ketua MHH PDA Kota Malang Tinuk Dwi Cahyani MHum bertindak sebagai narasumber. Ia memaparkan beberapa permasalahan yang timbul akibat nikah sirri. Salah satunya terkait dengan dampak nikah sirri bagi pihak perempuan.
(Baca: Bantu Kasus Hukum Warga Tidak Mampu, Aisyiyah Kota Malang Teken MoU dengan Kemenkum HAM)
”Nikah sirri itu memberikan peluang kepada laki-laki untuk tidak melakukan kewajiban-kewajibannya. Baik sebagai suami maupun sebagai ayah kandung,” ujar Tinuk di hadapan perwakilan Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) se-Kota Malang, Ahad (27/8).
Tinuk lalu menjelaskan bahwa seorang perempuan yang nikah sirri secarah hukum tidak bisa menuntut hak nafkah dari suaminya. Baik itu nafkah lahir maupun batin. Di samping itu, jika terjadi tidak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik penderitaan lahir maupun batin, maka pihak perempuan tidak bisa melaporkan masalahnya itu masuk dalam kategori kasus KDRT.
Belum lagi, lanjut Tinuk, jika selama menikah sirri itu, pihak perempuan memiliki anak. Maka, anak hasil pernikahan sirri itu tidak berhak mendapatkan hak dari ayah biologis, sebelum ada “pengakuan” secara hukum dari ayah biologisnya. ”Untuk itulah, perempuan-perempuan Indonesia harus menjadi perempuan yang cerdas. Jangan mau jika di nikah sirri. Karena penyesalan selalu muncul di akhir,” terang Tinuk.
(Baca juga: Demi Mengawal Masa Depan Anak, Aisyiyah Kota Batu Deklarasikan Gerakan Cinta Anak)
Lebih lanjut Tinuk memaparkan aturan hukum perkawinan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Bunyinya: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Sedangkan ayat (2) berbunyi: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
”Mengapa perkawinan perlu diatur oleh negara? Karena walaupun pilihan untuk menikah atau tidak, dengan siapa dia menikah merupakan urusan privasi. Namun, efek yang ditimbulkan sebagai akibat perbuatan hukum pernikahan adalah masalah publik sosial,” tegas Tinuk.
Tinuk lalu mencontohkan soal status anak hasil pernikahan sirri. Anak-anak hasil nikah sirri tidak mendapatkan hak untuk nama ayah di akta kelahiran. Abak juga tidak mendapatkan hak nafkah dan tidak mendapatkan hak waris sebelum mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya.Padahal, semua hak anak harus sudah didapatkan mulai lahir.
”Disinilah regulasi pemerintah harus masuk untuk melindungi warganya dari ekses negatif yang mungkin ditimbulkan,” paungkasnya.(izzudin/aan)