PWMU.CO – Menginap di tanah Mina selama 4 hari menyisakan banyak cerita, ada suka ada duka, ada kagum ada sedih, berikut sebagian catatan saya ketika berada di Mina. Setelah dari Muzdalifah dan tiba di perkemahan Mina, maktab 29 di jalan 616 tepatnya pukul 08.00 pagi, Pada Ahad (16/6/2024).
Kami dibuat kaget oleh petugas maktab 29, pasalnya KBIH Baitul Athiq yang awalnya datang lebih awal di tenda Mina dipindahkan ke tenda yang lebih sempit, bahkan barang-barang yang sudah kami tata dengan rapih menjadi berantakan.
Saya tidak bisa bayangkan, tenda yang mungkin lebarnya 8 meter dan panjang 24 meter diisi oleh lebih dari 200 jamaah sehingga ini tidak hanya sesak tetapi juga pengap.
Saya dengan salah satu jamaah terpaksa mencari solusi untuk bisa sekedar istirahat dan tidur. Kalau tidak bisa di tenda, ya di luar tenda. Akhirnya kami menemukan ruang di bawah jembatan King Abdullah Road karena ada tenda-tenda yang kebetulan juga didirikan tepat dibawah jembatan. Bagi saya, Ini sebuah keberuntungan karena kita bisa terhindar dari sengatan matahari yang panas.
Belakangan maktab memohon maaf atas kesalahan pengaturan dan menjanjikan tenda kosong khusus para jamaah dari KBIH Baitul Athiq, dan itu terlaksana dengan baik, meskipun hanya untuk 60 jamaah laki-laki maupun perempuan.
Kami merasa terbantu walau terpisah dengan 30 anggota lain di tenda dengan sebagain jamaah yang harus rela berbagi kasur kecil ukuran 30 x 120 cm bersama KBIH lain.
Permasalahan tenda tidak berhenti di sempitnya tempat, tapi AC yang sebagian tidak berfungsi dengan baik, sebagian hanya menghembuskan angin dari luar dan itu panas, sekalipun ada yang dingin tapi bocor dan meneteskan air yang membasahi kasur jamaah. Kacau.
Ketika AC itu tidak berfungsi di tenda maka rasa panas tak terelakkan, kipas angin pun terbatas. Kami merasa sedih karena tidak seperti pertama kali kami datang dengan tenda yang nyaman, dan ini kita rasakan ketika puncaknya Haji, saat semua kloter dan jamaah seluruh Indonesia tumplek blek di Mina.
“Inilah cobaan Haji sebenarnya ada di Mina, saban tahun ya seperti ini, tapi ini sudah ada kemajuan, termasuk kamar mandi yang lebih bersih dari haji tahun-tahun lalu,” ujar ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Gresik Jawa Timur, Thoha Mahsun yang ikut membimbing jamaah dari KBIH Baithul Athiq.
Selain udara yang panas, yang kabarnya sampai 47 derajat celsius, maktab sempat melarang jamaah untuk pergi ke Jamarat, karena ada insiden yang wafat di tanah jamaraat hingga 18 nyawa, Alhamdulillah bukan dari jamaah kami seperti Hoax yang beredar.
Kami tertahan di maktab tidak diijinkan ke Jamaraat setelah dijanjikan untuk dapat keluar dari pukul 11.00 siang, hingga kami dibolehkan setelah pukul 16.30 WAS. Jadwal kami lontar batu Jamaraat ketiga-tiganya, Ulaa, Wushtaa dan Aqobah.
Seorang petugas maktab yakni Fahd matanya berkaca-kaca ketika meminta saya menerangkan kepada jamaah untuk bersabar, karena memang baiknya menurut Sunnah adalah waktu Dhuha atau setelah Dhuhur untuk lontar Jamarah namun kondisi tidak memungkinkan.
Lampu sirine depan pintu maktab seharusnya dalam keadaan menyala tanda bahaya situasi di Jamaraat, tapi ketika itu turun hujan dan lampu mati.
Di tengah-tengah kami berdebat ada Jamaah dari NTT yang menyelonong tidak mengindahkan larangan, belakangan ditahan oleh Polisi setempat dan dikembalikan ke Maktab, satu maktab dengan kami, yakni maktab 29.
Jarak tempuh 4 Km ke Jamaraat lantai 3 dengan melewati dua terowongan yang diberi nama Tunnel 15 King Fahd Road, cukup menguras tenaga, belum lagi kembalinya ke tenda yang juga 4 Km lebih karena sedikit memutar setelah jamaraah Aqobah, jika saya hitung dengan Google Fit maka jumlah langkah kaki ada sekitar 17.000 langkah lebih pulang pergi.
Saya merasa lebih ringan jika kembali dari Jamaraat ketimbang saat berangkat karena ketika balik ke tenda jalannya sedikit menurun tidak menanjak.
Bagi lansia disarankan untuk badal (digantikan) oleh keluarganya atau pendampingnya, seperti tajuk haji tahun 2024 adalah ramah Lansia, selain maktab tidak menyediakan kursi roda, situasi padatnya area Jamaraat maka disarankan untuk digantikan lebih dari pada harus datang dengan kursi roda.
“Maka bagi pendamping yang gantikan lempar Jamaraat perlu untuk melemparkan 7 batu untuk dirinya selanjutnya untuk yang digantikan,” kata Thoha. (*)
Penulis: Zaki Abdul Wahid Editor: Ni’matul Faizah