PWMU.CO – Kamis, 13 Juni 2024, pukul 10.00-12.00, saya ikut menguji disertasi Diah Kusumawati yang berjudul Kontestasi Identitas dalam Diskursus Islamisme dan Nasionalisme Anak Muda di Surakarta: Perspektif Ernesto Laclau. Ujian secara online itu cukup dinamis. Diah Kusumawati adalah dosen Fisip Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Tulisannya bagus, enak dibaca, dan jelas jalan pikirannya meskipun menggunakan teori filsafat politik Ernesto Laclau yang rumit itu.
Disertasi itu membongkar hegemoni negara yang menjustifikasi telah terjadi Islam radikal di kalangan pelajar Indonesia. Menurut Diah, selama sepuluh tahun terakhir dalam berbagai penelitian dan pemberitaan di media banyak siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) telah terpapar radikalisme dan intoleransi. Diah meneliti siswa di Surakarta: di pesantren Al-Mukmin Ngruki, Imam Bukhori, Takmirul Islam, dan SMAN 1 Surakarta.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi kualitatif pada sejumlah pelajar di Surakarta sedangkan analisis diskursif menggunakan teori Ernesto Laclau. Variabel teoritis Laclau yang digunakan untuk analisis meliputi the social (masyarakat), the political space, the subject, dan the politics.
Hegemoni Negara terhadap Lembaga Survei dan Perguruan Tinggi?
Sepuluh tahun terakhir ada banyak survei yang “meneruskan” atau “menguji” atau bahkan memperluas pseudo ideologi negara: siswa telah terpapar Islam radikal dan gejala intoleransi di kalangan pelajar Indonesia.
Sejumlah survei yang dilakukan peneliti independen, pramatis, dan akademik selalu dalam diskursus kontestasi antara diskursus Islamisme dan
Nasionalisme di Indonesia. Arah dari penelitian itu adalah ada gejalah radikalisme Islam di kalangan pelajar dan mereka semakin intoleransi terhadap perbedaan.
Survei dan studi itu misalnya Studi dari SETARA Institute (2016) menyebutkan bahwa ada intoleransi yang cukup tinggi di kalangan siswa SMA Negeri di Bandung dan Jakarta. Senada dengan penelitian tersebut, Wahid Institute (2018, 12–13) juga mendapati bahwa aktivis rohis di SMA/SMK Negeri di seluruh Indonesia bersedia melakukan jihad di masa depan serta sebagian mendukung ISIS.
Sementara itu pada tahun 2011, MAARIF Institute melakukan riset di 50 SMU Negeri di 4 daerah yaitu Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo. Sebagaimana yang disampaikan MAARIF Institute dalam jurnal Maarif bahwa “Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem hingga menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok Islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam.” (Gaus AF: 2013, 4).
Hasil riset yang dilaporkan pada jurnal yang sama juga menyebutkan bahwa kegiatan Rohis salah satu SMAN di Solo melibatkan alumni atau jejaring lain yang turut serta memberikan materi kajian keislaman dalam bentuk mentoring, liqo dan atau halaqoh. Jejaring yang dimaksud adalah salah satu pondok pesantren yang ada di wilayah eks karesidenan Surakarta (Gaus AF: 2013, 185–186).
Masih dalam jurnal yang sama, juga dikemukakan radikalisme anak muda yang dalam perjalanannya berubah menjadi teroris yang menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan orang lain yang dianggap berbeda oleh kelompoknya (Qodir: 2013, 46–47).
Tulisan lainnya menunjukkan bahwa Solo melahirkan penerbit buku Islamisme dan jihadisme yang dihubungkan dengan perkembangan radikalisme di kota tersebut. Radikalisme ideologi disebutkan menjadi ancaman serius bagi generasi muda dan berpotensi memecah belah bangsa (Hidayat & Sugiarto: 2020, 141–142).
Berdasarkan sejumlah penelitian dan pemberitaan yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini menantang pandangan bahwa anak muda pelajar SMA di Surakarta yang radikal sebagai suatu ancaman yang dapat memecah belah bangsa, menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan orang atau kelompok lain yang berbeda, dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Sementara orang-orang mengkhawatirkan pelajar yang terpapar radikalisme Islam sebagai ancaman, mereka sebetulnya bertarung dalam dirinya sendiri untuk menentukan siapa diri mereka. Mereka boleh jadi radikal tapi tidak bersifat permanen sehingga tidak akan punya efek yang sifatnya mendestabilisasi karena mereka sendiri tidak tahu siapa dirinya.
Ernesto Laclau sebagai Pisau Analisis
Ernesto Laclau memahami bahwa masyarakat beroperasi seperti diskursus. Society itu empty karena itulah manusia bertarung untuk mengisinya. Bagi Laclau, melihat satu fenomena tergantung makna yang diberikan kepadanya seperti apa. Artinya dalam fenomena apapun orang bertarung memberi makna. Pertarungan ini akan menentukan setelah itu fenomena yang dilihat dan disebut sebagai sesuatu itu seperti apa.
Bagi Laclau, pertarungannya yang harus dilihat. Pertarungan bisa dikatakan akan berakhir ketika ada satu pemaknaan yang menang atau hegemonik.
Hegemoni pemaknaan tersebut tidak bisa bertahan lama, tidak bisa permanen, karena semua benda adalah signifier, punya surplus meaning. Hegemoni dalam pengertian ini semacam berhenti sebentar tapi bukan berarti surplus meaning yang di sana hilang. Suatu saat nanti bisa berubah lagi dan seterusnya. Gagasan Laclau dalam produksi pengetahuan mengajak kita untuk tidak terjatuh pada dominasi produksi pengetahuan.
Cara berpikir Laclau yang menggunakan pendekatan interpretif dalam riset (melihat meaning dengan membaca makna di balik pernyataan informan) dan basis paradigma post-struktural memiliki semangat untuk mewaspadai kecenderungan otoritarian yang melekat dalam produksi pengetahuan sebagaimana paradigma positivis.
Pendekatan yang digunakan ini menolak untuk terjebak pada dominasi baru atau otoritarianisme yang inheren dalam produksi pengetahuan. Semua orang dapat memiliki kontribusi terhadap pengetahuan dengan mencipkatan diskursus baru untuk melawan diskursus lain namun tidak untuk menciptakan dominasi karena pengetahuan selalu terbuka, tidak pernah final dan membutuhkan yang lain (other) di luar dirinya.
Dengan menggunakan gagasan partikularisme dan universalisme, pihak yang melawan juga harus berubah. Keduanya harus dipahami sebagai dua gerak yang berbeda (menguniversalkan dan mempartikularkan) yang menentukan sebuah totalitas artikulasi dan hegemoni.
Identitas itu Contingent
Temuan penting dalam penelitian ini adalah identitas keislaman dan kebangsaan anak muda pelajar di Surakarta yang bersifat contingent tidak kongkrit, tidak tunggal, dan negotiable. Anak muda pelajar memiliki berbagai posisi subjek yang membuat mereka melakukan identifikasi berulang-ulang.
Sementara orang-orang mengkhawatirkan pelajar yang terpapar radikalisme Islam sebagai ancaman, mereka sebetulnya bertarung dalam dirinya sendiri untuk menentukan siapa diri mereka. Sumber dislokasi atau krisis yang sangat penting terjadi pada konteks Surakarta adalah Reformasi 98, yaitu ketika Orde Baru collapse. Anak muda yang lahir setelah 98 dapat disebut kehilangan point of identification yang penting yaitu Islam dan kebangsaan. Mereka harus mencari identifikasi-identifikasi baru.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kesalehan menjadi sharing imagination atau social imaginary yang mendamaikan partikularitas keislaman dan kebangsaan anak muda pelajar di Surakarta. Kesalehan menjadi hegemonik yang artinya adalah semua orang bicara tentang kesalehan. Sampai nanti muncul dislokasi lagi dan kesalehan tidak bisa menjadi titik temu yang mengedepan maka pertarungan akan dimulai lagi.
Penelitian ini sampai pada simpulan dan implikasi teoritik berikut. Pertama, artikulasi keislaman dan kebangsaan anak muda pelajar pada penelitian ini menunjukkan bahwa keislaman dan kebangsaan tidak bisa secara permanen diidentikkan dengan sesuatu. Mereka hadir pada dirinya tidak dalam bentuk yang final atau permanen dan yang terjadi sebetulnya adalah pertarungan untuk mengisinya dari waktu ke waktu.
Kedua, penelitian ini menunjukkan bawa kontestasi keislaman dan kebangsaan sekalipun masih berlangsung tapi keduanya sudah berada pada hegemoni kesalehan. Kesalehan menjadi sharing imagination atau social imaginary. Keduanya dijinakkan, diideologisasi, oleh kesalehan.
Kesalehan ini kemudian menjadi diskursus yang hegemonik saat ini di kalangan anak muda dan sebagai diskursus hegemonik kita bisa melihat fenomena yang ironik tapi sangat logis. Yaitu, bagaimana anak-anak muda yang sangat Islamis bersamaan juga bisa sangat nasionalis karena Islam dan nasionalis itu hanya pilahan dalam diri mereka yang harus mereka atasi dengan cara menjadi saleh.
Identitas selalu merupakan proyek terbuka (open project). Kesalehan sebagai proyek hegemoni menunjukkan pentingnya kekuatan discourse (diskursus). Kesalehan bergerak dari waktu ke waktu yang tidak luput dari pertarungan diskursus sehingga mengubah identitasnya. Anak muda pelajar dari Imam Bukhori, Al-Mukmin Ngruki, Takmirul Islam, dan SMAN 1 Surakarta terserap dalam diskursus kesalehan.
Kesalehan menjadi diskursus yang hegemonik karena dapat merangkul berbagai partikularitas keislaman dan kebangsaan anak muda pelajar dari berbagai pesantren dan sekolah yang diteliti. “Kesalehan” merupakan proyek hegemoni untuk menutup gap islam yang dianggap radikal, tidak toleran, ekstrem, teroris, bahkan liberal maupun moderat.
Ketiga, anak muda pelajar adalah pengguna aktif internet dengan berbagai e-platform. Interaksi anak muda pelajar dengan diskursus islamisme dan nasionalisme serta berbagai diskursus budaya populer (K-Pop, K-drama, Film Indonesia, Film Hollywood, Musik Barat, dll) di berbagai platform menunjukkan bahwa salah satu ruang pembentukan makna, ruang artikulasi anak muda yang cukup dominan, berada di wilayah ini.
Kehadiran media sosial membuat anak muda melakukan identifikasi berulang-ulang karena mereka bertemu dengan beragam diskursus yang saling berkontestasi, tumpang tindih, tarik menarik.
Fenomena ini menunjukkan kehadiran media baru (new media) sebagai tempat discursive struggle dan tempat anak muda menemukan mirror atau idola yang beragam dan kontradiktif. Berbagai relasi sosial di dalam diskursus media menyangkut ras, etnisitas, nasionalitas, keislaman, mendeterminasi posisi subjek. Anak muda adalah lokus dari sejumlah posisi subjek yang tidak terbatas pada lingkungan di dunia offline, tapi juga online.
Penulis Aribowo Editor Azrohal Hasan