Dr Aribowo – Dosen Politik Unair/ Ketua MPID PWM Jatim
PWMU.CO – Secara teoritis yang dilakukan Muhammadiyah terhadap BSI (Bank Syariah Indonesia), penarikan uang, adalah civil disobedience (perlawanan sipil atau hak mungkar). CD (civil disobedience) pernah terjadi dalam sejarah dunia. Seperti perlawanan Swadesi Mahatmah Gandi di India atau Gerakan persamaan hak kaum kulit hitam di Amerika Serikat dengan “nabinya” Martin Luther King atau Gerakan masyarakat Samin di dekat Kabupaten Bojonegoro terhadap rezim Hindia Belanda.
Masyarakat Samin melakukan CD terhadap rezim Hindia Belanda dengan cara tidak mau membayar pajak dan menarik diri dari interaksi dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Puluhan tahun masyarakat Samin lakukan itu.
Gerakan CD (civil disobedience) persamaan hak itu juga dilakukan oleh Malcom X, setelah menunaikan ibadah haji kemudian mengajarkan Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Ini menyimpang dari ajaran gurunya yang mengajarkan bahwa orang-orang kulit hitam adalah keturunan Tuhan, sedang orang-orang kulit putih adalah keturunan setan.
CD Muhammadiyah terhadap BSI dekat dengan terpuruknya nilai tukar rupiah. Saat ini rupiah menyentuh Rp. 16.400 terhadap US dolar. Ini mendekati angka kritis. Jika tidak mampu mengendalikan terpuruknya nilai tukar rupiah itu sangat potensial terjadi seperti krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Seperti diketahui krisis 1998 menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 4.650/US $ pada akhir 1997 menjadi Rp7.300/US $ pada akhir November 1998. Bahkan rupiah di pertengahan 1998, sempat anjlok hingga ke level Rp16. 800/US $. Krisis ini juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77,63% di akhir 1998 sementara ekonomi terkontraksi lebih dari 13,7%.
Selain itu, krisis ini juga diwarnai dengan rush atau pengambilan uang besar-besaran dari bank. Bersamaan pula pada waktu itu huru-hara, penjarahan yang massif terjadi di Jakarta.
Pada waktu itu banyak perusahaan yang bergelimpangan, tutup dan menyebabkan ribuan buruh, karyawan di PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaan-perusahaan itu menjual produknya dalam rupiah disaat US $ harganya masih Rp 4.000 an – tetapi memiliki hutang yang sangat besar dalam US $.
Akibatnya ketika mata uang US $ naik sampai Rp 16.000 mereka kelimpungan tidak mampu membayar cicilan bunga dan pokok pinjaman dalam US $.
Menurut Gustave Le Bone, gerakan sosial bisa berkembang dari crowds (kerumunan). Dalam crowds rasionalitas massa ditekan pada titik paling bawah sehingga yang berkembang emosional. Ada perluasan dan pengembangan suggestibility. Jika terjadi penarikan uang secara kolektif, besar-besaran, terhadap bank maka potensial diikuti oleh masyarakat lainnya. Terjadi contagion, kata Le Bone. Seperti rush ditahun 1998.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat ini adalah tokoh tokoh bangsa yang matang, “moderat” dalam berpikir dan bernegara dan selalu mendasarkan pada nilai Islam Berkemajuan. Mereka lebih memikirkan hal besar, kepentingan bangsa dan wong cilik.
Fokus utama Muhammadiyah kepada keadilan, masyarakat bawah, terpinggirkan, akidah Islam. Akibatnya penarikan dana Muhammadiyah dari BSI tidak dibuat drama. Tidak dibuat teater dan hiruk pikuk. Cukup perintah PP dan lalu diikuti masyarakat persyarikatan. Tidak dengan suatu gerakan CD yang eksplosif.
Andai PP Muhammadiyah sangat emosional, marah, dan mengalami relative deprivation sangat dalam maka bisa berkembang gerakan CD sangat besar dan luas. Andai PP Muhammadiyah hanya memikirkan perlawanan dan CD maka akan berbeda perkembangannya.
Perlu diingat, kekuatan bawah dan masyarakat persyarikatan Muhammadiyah potensial untuk bergerak. Sangat besar potensi kekuatan di luar Muhammadiyah untuk ikut melakukan CD.
Untung PP Muhammadiyah dan Lembaga Muhammadiyah sangat santun, sabar, “moderat” dan berpikir luas tentang kebangsaan sehingga CD menjadi tidak terasa, terasa “diam” dan tidak hingar bingar. Padahal di daerah-daerah penarikan itu terus berjalan, terus mengalir, terus bergerak sebagaimana prinsip gerakan Muhammadiyah.
Suasana keruntuhan nilai tukar rupiah saat ini tidak berkoneksi dengan CD Muhammadiyah terhadap BSI. Sebab Muhammadiyah memilih gerakan diam, simbolik, dan tidak hingar bingar, meskipun kenyataan menyakitkan dan pahit bagi Muhammadiyah. Kalau kita amati, sampai sejauh ini belum ada langkah-langkah BSI untuk meredam, merayu, dan berusaha memperbaiki hubungannya dengan Muhammadiyah. Otoritarian memang selalu otonom terhadap aspirasi luar negara.
Andai Muhammadiyah melakukan CD secara eksplotif, massif, dan radikal maka jadilah barang itu (gerakan sosial besar)!
Editor Teguh Imami