Abdullah Sidiq Notonegoro (Foto: PWMU.CO)
Abdullah Sidiq Notonegoro – Anggota Majelis Pustaka dan Informasi Digital PW Muhammadiyah Jatim
PWMU.CO – Perhelatan ibadah haji telah usai. Jamaah haji asal Indonesia segera kembali ke Tanah Air untuk berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara. Mulai 22 Juni-3 Juli 2024, jamaah haji gelombang I dipulangkan dari Jeddah. Sedang jamaah haji gelombang II di pulangkan dari Madinah pada 4 – 21 Juli 2024. Ini artinya, sejak keberangkatan hingga kepulangan, jamaah haji Indonesia telah berada di Tanah Suci Makkah selama 40 hari.
Sesuai dengan niat awal ibadah haji, yaitu untuk menyempurnakan pelaksanaan ritual ibadah mahdhah yang paripurna, semoga mereka yang kembali ke Tanah Air ini ibadahnya tergolong sebagai ibadah yang mabrur, atau haji yang benar-benar diterima Allah. Dalam bahasa Arab, al-mabrur berasal dari kata al-birru yang berarti kebaikan atau kebajikan. Dalam kitab “Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa” karya Jalaluddin As-Suyuthi disebutkan bahwa siapa yang telah meraih “haji mabrur” akan terlihat dari pribadinya yang lebih baik dari sebelumnya. Dia pasti terus berusaha mengurangi perbuatan maksiatnya sepulang dari menjalani berhaji.
Tentunya semua para pelaku ibadah haji mencita-citakan dan mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih predikat haji mabrur tersebut. Tidak ada satupun yang menjalani ibadah haji semata-mata untuk memperbaiki status sosial, meski tidak sedikit yang merasa status sosialnya naik derajat setelah melaksanakan ibadah haji.
Ibadah Ritual
Semoga para jamaah haji masih ingat, bahwa saat keluar meninggalkan rumah dan berpamitan kepada sanak saudara maupun kerabat famili dan tetangga, sekaligus memohon iringan doa agar ritual-ritual haji yang akan dijalankan sebagai bagian dari prosesi peribadatan dapat berjalan lancar dan kelak menjadi haji yang mabrur.
Bahkan untuk bisa menjalani ritual dengan sempurna, (utamanya) jamaah yang untuk pertama kalinya menjalani ibadah haji tidak segan-segan untuk melakukan manasik haji — yaitu latihan terkait hal-hal yang berhubungan dengan ibadah haji sesuai dengan rukun-rukunnya, seperti memakai pakaian ihram, tawaf, sai dan wukuf. Manasik haji dilakukan berulang-ulang sebelum benar-benar diberangkatkan ke Tanah Suci Makkah, agar benar-benar hafal secara sempurna semua hal yang berkaitan dengan ibadah.
Tidak berlebihan jika dalam aspek ritual, kemabruran ibadah haji dimaknai sebagai kesempurnaan dalam menjalankan ritual haji sesuai dengan syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun yang sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dan, kesempurnaan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan syarat dan rukunnya, maka ritual hajinya diharapkan menjadi maqbul atau diterima oleh Allah SWT.
Karena itu, tidak mengherankan jika jamaah haji tersebut memiliki rasa khawatir apabila tidak sempurna dalam menjalani ritual-ritual ibadah haji sesuai dengan ketentuan fiqhiyah. Ketidaksempurnaan dalam menjalankan syarat dan rukun ritual ibadah haji dirasakan sebagai kegagalan, dan merasa ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT. Meski tidak sedikit pula, yang karena sejumlah alasan, akhirnya ritual ibadah haji tersebut tidak bisa dijalankan secara sempurna.
Ritual-ritual ibadah haji berhubungan dengan proses pelaksanaan selama di Tanah Suci. Karena itu, manasik haji pasti selalu berkaitan dengan ritus-ritus haji selama di Makkah.
Berkaitan dengan ritus-ritus tersebut, tidak semuanya hanya berkaitan dengan perintah. Namun juga ada sejumlah hal yang dilarang atau tidak patut dilakukan selama menjalani haji. Mengutip dari situs muhammadiyah.or.id, ada 3 (tiga) larangan keras dalam pelaksanaan ibadah haji. Yaitu : 1) Rafats, berhubungan suami istri (seksual) atau mengucapkan kata-kata rayuan yang dapat menimbulkan syahwat; 2) Fusuq, melakukan perbuatan maksiat atau kejahatan, termasuk perbuatan mencela orang lain. Karena itu, jamaah haji dituntut untuk sangat menjaga perilakunya agar terhindar dari perbuatan fusuq; 3) Jidal atau perbuatan berbantah-bantahan atau perdebatan yang bisa memantik amarah.
Ibadah Sosial
Ada 2 (dua) istilah terkait diterimanya haji seseorang, yaitu : makbul dan mabrur. Haji makbul adalah haji yang diterima karena syarat rukunnya sudah terpenuhi, termasuk perintah-perintah sunnah yang menjadi bagian dari rangkaian ibadah haji. Dengan kalimat yang berbeda, haji makbul adalah haji yang telah secara sah memenuhi syarat syariat. Sedangkan haji yang mabrur tidak sekedar memenuhi unsur syariat, namun juga mencapai tingkatan makrifat atau hakikat. Maka haji mabrur merupakan haji yang kesempurnaannya tidak hanya pada aspek lahiriah, namun juga batiniah.
Ciri seseorang yang diyakini telah meraih predikat haji mabrur tercermin dalam kehidupan sehari-harinya setelah kembali dari Tanah Suci Makkah. Orang tersebut menjadi pribadi mengalami progres religius. Kehadirannya di tengah-tengah lingkungannya menjadi kehadiran yang dirindukan dan diharapkan. Hadirnya bagai mata air kehidupan di tengah kemarau kebaikan.
Karena itu, sesungguhnya oleh-oleh haji yang benar-benar dirindukan oleh orang-orang di lingkungannya bukanlah cinderamata material dan atau sekedar cerita pengalaman selama bermukim di Makkah. Namun yang dirindukan oleh orang-orang disekitarnya berupa jejak spiritual yang jauh lebih baik dari sebelum berangkat haji. Jejak spiritual yang progresif tersebut akan terlihat dari semakin berkualitasnya dalam menjaga aspek habl min al-Lah dan aspek habl min an-nas.
Jejak habl min al-Lah tercermin dalam keseriusannya menjaga ibadah mahdhah, baik yang bersifat wajib maupun yang bersifat sunnah. Kesungguhannya dalam menjaga ibadah mahdhah tidak menjadikan diri menjadi riya’ (pamer) dan merasa lebih dekat dengan Allah daripada orang lain yang mungkin tidak lebih serius dari dirinya.
Namun juga tidak mengabaikan jejak habl min an-nas yang tercermin dalam interaksinya dengan sesama. Jejak habl min an-nas bisa dirasakan secara positif jika penerimaannya terhadap perbedaan pada setiap individu bersifat positif pula. Dalam hubungan sosial tidak diskriminatif karena faktor suka dan tidak suka (like and dislike), tidak meremehkan potensi atau pendapat orang lain, tidak memiliki watak benci terhadap pihak lain yang tak sejalan dan sebagainya.
Insya Allah predikat “haji mabrur” akan tercapai dengan sempurna, jika antara berangkat ke Tanah Suci Makkah dan kembali ke Tanah Air Indonesia mengalami progres yang signifikan.
Editor Teguh Imami