PWMU.CO – Kapolda Sumatera Barat, Irjen Pol. Suhartoyo, mengatakan pihaknya tengah mencari orang yang memviralkan kasus AM (Afif Maulana) yang tewas diduga dianiaya oknum polisi. Suhartoyo mengatakan, pihak kepolisian merasa menjadi korban pengadilan oleh pers dari viralnya berita tersebut, Kompas.id, Ahad (23/6/2024).
Koran Tempo dalam Editorialnya menulis Kami yang Viralkan Kematian Afif Maulana, Koran Tempo, Senin, 1 Juli 2024.
“Ini pesan Tempo kepada Kepolisian Daerah Sumatera Barat: Kami yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian Bapak-bapak polisi tidak perlu bersusah-susah mencari siapa orang pertama yang menyebarkan informasi seputar penyebab kematian bocah 13 tahun itu”.
Tempo Grup merupakan media massa luar biasa. Jawaban lugas, berani, dan terus terang terhadap pernyataan Irjen Pol, Suhartoyo, di atas merupakan contoh penting kerja wartawan, media massa, dan jurnalis. Media massa atau pers dalam teori politik dijadikan salah satu pilar demokrasi, kekuatan keempat demokrasi.
Pers hadir sejak awal sebagai sebuah sumber informasi yang mengutamakan kepentingan publik. Informasi yang disuguhkan pers dalam bentuk karja jurnalistik ini menjadi pembanding kekuatan demokrasi lain, seperti lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan kehadiran pers inilah kemudian publik mendapatkan tidak hanya informasi yang dapat dipercaya karena telah dijaring dalam proses di ruang redaksi, tetapi juga menjadi saluran ekspresi publik itu sendiri.
Pers saat jaman Orba (Orde Baru) diposisikan menjadi instrumen kekuasaan. Pers Orba lebih banyak berperan sebagai juru bicara rezim karena perbedaan pendapat dan kritik tidak diperlukan atas nama stabilitas politik. Barulah saat reformasi politik terjadi sejakan dengan lahirnya Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999, pers diberikan tempat sebagai bagian dari perwujudkan kedaulatan rakyat.
Era keterbukaan terjadi sejalan dengan semakin canggihnya teknologi internet dan lahirnya perusahaan teknologi adidaya dari dunia Barat. Masyarakat tidak hanya menerima informasi dari pers, tetapi juga dari berbagai ragam medsos (media sosial). Masyarakat tidak hanya menerima, tetapi juga memproduksi informasi melalui medsos yang semuanya berbasiskan perusahaan dari negeri ‘Paman Sam’.
Di sinilah pers dituntut melakukan transformasi dari model distribusi karya jurnalistik yang konvensional kepada distribusi modern. Transformasi distribusi konten tidak serta merta menghilangkan peran pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Pers menjadi tumpuan masyarakat dalam mendapatkan informasi alternatif yang dapat dipercaya. Pers juga menjadi penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesaksian Harus Diberikan
Kasus tewasnya Afif Maulana, di Sumbar, telah mengiris rasa kemanusiaan masyarakat Indonesia. Kasus sederhana itu menjadi viral, meluas, kontroversial, dan ajang pembuktian pers sebagai kekuatan demokrasi masyarakat.
Semua masyarakat yang mengikuti kasus Afif merasa terpanggil untuk memberikan kesaksian. Mereka melihat, merasakan, dan seolah mengalami sendiri telah terjadi ketidakadilan, kesewenang-wenangan, suatu abuse of power yang sewenag-wenang.
Kesaksian harus diberikan, agar kehidupan bisa terjaga. Koran Tempo melakukan “kesaksian” itu. Dengan berani mengatakan “Ini pesan Tempo kepada Kepolisian Daerah Sumatera Barat: Kami yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian Bapak-bapak polisi tidak perlu bersusah-susah mencari siapa orang pertama yang menyebarkan informasi seputar penyebab kematian bocah 13 tahun itu”.
Harus kita akui sampai hari ini hanya Tempo Grup yang berani independen, membuka laporan investigasinya dengan akurat, meskipun berhadapan dengan wajah rezim otoritarian.
Kasus kematian Afif Maulana.
Menurut Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Padang, AKBP Rully Indra Wijayanto, kasus ini bermula dari penemuan jasad anak-anak oleh seorang warga saat akan membuang sampah di bawah Jembatan Kuranji, Sumatera Barat.
Warga kemudian melaporkan temuan mayat bocah tersebut ke Polsek Kuranji. Setelah pengecekan di tempat kejadian perkara atau TKP, kemudian diketahui mayat tersebut adalah Afif Maulana, (KeteranganRully dalam di Instagram Polresta Padang pada Sabtu, 22 Juni 2024).
Versi kepolisian
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan, Afif Mualana ikut dalam rombongan konvoi pada Ahad dini hari. Rombongan tersebut melintasi Jembatan Kuranji dan terlihat membawa berbagai macam senjata tajam atau sajam. Tim Samapta Polda Sumbar—yang diturunkan khusus untuk mencegah dan mengantisipasi aksi tawuran yang marak terjadi tiap malam Ahad— kemudian mengamankan rombongan konvoi tersebut.
Tim Samapta Bhayangkara Polda Sumbar lantas mengamankan 18 orang ke Polsek Kuranji, satu di antaranya masih ditahan sedangkan lainnya dipulangkan. Namun, kata Rully, tidak ada nama AM yang ikut diamankan.
Rully menuturkan pihaknya telah memperoleh kesaksian dari Adit yang membonceng Afif pada saat kejadian. Adit mengatakan kepada polisi, pada saat pengamanan oleh petugas sempat tercetus kalimat dari korban mengajak saksi untuk melompat ke bawah Jembatan Kuranji. Namun, ajakan tersebut ditolak dan saksi lebih memilih menyerahkan diri.
Versi Direktur LBH Padang
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Padang, Indira Suryani menduga, berdasarkan investigasi pihaknya, Afif karena disiksa polisi. Hasil investigasi tersebut kemudian diunggah di media sosial Instagram, @lbh_padang dan menjadi viral.
Indira menjelaskan investigasi dilakukan dengan cara bertanya kepada saksi kunci yang merupakan teman korban. Teman korban ini terakhir kali melihat Afif di Jembatan Kuranji pada 9 Juni 2024.
“Teman korban berinisial A itu bercerita, jika pada malam kejadian korban berboncengan dengannya di Jembatan Aliran Batang Kuranji, “ ujar Indira, pada Kamis, 20 Juni 2024.
Kemudian, korban AM dan A yang sedang mengendarai motor dihampiri polisi yang sedang melakukan patroli.
Tiba-tiba kendaraan korban ditendang oleh polisi dan AM terlempar ke pinggir jalan. Ketika itu, kata A kepada LBH Padang, jaraknya sekitar 2 meter dari AM. Lalu, A diamankan oleh polisi ke Polsek Kuranji. A sempat melihat korban AM dikerumuni oleh polisi, tapi kemudian mereka terpisah.
“Saat ditangkap polisi, korban A melihat korban AM sempat berdiri dan dikelilingi oleh anggota kepolisian yang memegang rotan,” ujarnya.
Kemudian, sekitar pukul 11.55 pada 9 Juni 2024, AM ditemukan meninggal dunia dengan luka lebam di bagian pinggang, punggung, pergelangan tangan, dan siku. Sementara itu, pipi kiri membiru dan luka yang mengeluarkan darah di bagian kepala. Kemudian jenazah korban dilakukan autopsi dan keluarga korban menerima copy sertifikat kematian Nomor: SK / 34 / VI / 2024 / Rumkit dari Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumbar.
“Keluarga korban sempat diberitahu oleh polisi, AM meninggal akibat tulang rusuk patah 6 buah dan robek di bagian paru-paru,” kata Indira.
Selain A dan AM, LBH Padang menemukan ada tujuh korban, dan lima di antaranya masih di bawah umur. Korban ini mendapatkan penyiksaan dari pihak kepolisian. Pengakuan mereka, kata Indira, ada yang disetrum, ada perutnya disulur rokok, kepalanya memar, lalu ada bolong di bagian pinggangnya. Bahkan ada korban yang dipaksa berciuman sesama jenis.
“Selain penyiksaan juga terdapat kekerasan seksual. Kami cukup kaget mendegar keterangan korban, tidak hanya fisik tetapi juga melakukan kekerasan seksual,” ujar dia
Kasus Afif ini memang telah diusut oleh pihak kepolisisan. Sebelumnya sudah 30 anggota Sabhara Polda Sumatera Barat telah diperiksa terkait insiden Siswa SMP Tewas di Padang tersebut. Bahkan sampai hari ini, sudah ada 39 anggota polisi yang diperiksa Bidang Propam Polda Sumatra Barat yang mengikuti patroli saat itu. Hal ini diungkap oleh Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Dwi Sulistyawan.
Penulis Aribowo Editor Azrohal Hasan