Oleh Wahidul Qohar: Guru Bahasa Indonesia MTs MuhSix Sugihan dan Mamsaka Paciran
PWMU.CO – Dalam era digital yang semakin maju, media sosial telah menjadi alat yang sangat kuat dalam membentuk opini publik dan mendorong perubahan sosial. Salah satu fenomena yang muncul adalah “No Viral, No Justice” di mana banyak kasus yang baru mendapatkan perhatian dan tindakan setelah menjadi viral di media sosial.
Fenomena-fenomena seperti ini menunjukkan bagaimana keadilan dapat menjadi sangat bergantung pada popularitas di dunia maya, sehingga mampu menimbulkan pertanyaan yang serius tentang sistem peradilan kita.
Pada dasarnya, konsep “No Viral, No Justice” menunjukkan bahwa banyak kasus yang tidak mendapatkan keadilan yang layak sampai masyarakat mengangkatnya melalui media sosial. Ini bisa dilihat dalam berbagai kasus kekerasan, pelecehan, atau ketidakadilan lainnya yang tidak ditindaklanjuti oleh pihak berwenang sampai masyarakat membuatnya viral.
Sebagai contoh konkret dari fenomena ini bisa dilihat pada beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang sering kali tidak mendapatkan perhatian dari penegak hukum sampai video atau cerita mereka viral dan menyebar luas di media sosial.
Salah satu alasan utama mengapa fenomena ini terjadi adalah karena media sosial memberikan suara kepada individu yang sebelumnya tidak terdengar. Dalam sistem hukum tradisional, banyak kasus yang mungkin tidak mendapatkan perhatian karena kurangnya bukti, ketidakmampuan korban untuk mengakses sumber daya hukum, atau bahkan karena bias dalam sistem peradilan itu sendiri. Namun, dengan kekuatan media sosial, individu dapat berbagi cerita mereka, menarik simpati publik, dan menekan pihak berwenang untuk bertindak.
Namun, ketergantungan pada viralitas untuk mendapatkan keadilan juga memiliki dampak negatif. Pertama, ini menciptakan ketidakadilan baru di mana hanya kasus-kasus yang cukup menarik atau mengerikan yang mendapatkan perhatian.
Banyak kasus lain yang mungkin sama seriusnya tetapi kurang sensasional tidak mendapatkan perhatian yang sama, sehingga korban-korban ini tetap tidak mendapatkan keadilan. Namun hal ini juga menimbulkan risiko bagi privasi korban, karena dalam upaya untuk membuat kasus mereka viral, mereka mungkin harus mengorbankan privasi dan menghadapi tekanan psikologis yang besar.
Selain itu, ketergantungan pada media sosial untuk mendorong keadilan dapat mengurangi kepercayaan pada sistem peradilan resmi. Jika masyarakat merasa bahwa mereka hanya bisa mendapatkan keadilan melalui viralitas, ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam sistem hukum kita. Kepercayaan pada sistem peradilan adalah pilar penting dalam masyarakat yang adil dan teratur, dan ketergantungan pada media sosial dapat mengikis pilar ini.
Di sisi lain, ada juga aspek positif dari fenomena ini. Kekuatan dari media sosial yang mengangkat kasus-kasus ketidakadilan telah mampu mendorong reformasi dalam beberapa bidang. Pihak berwenang, menyadari dampak dari opini publik, mungkin lebih cepat bertindak dan lebih berhati-hati dalam menangani kasus-kasus setelah viral. Selain itu, fenomena ini juga telah memicu kesadaran yang lebih besar tentang isu-isu sosial yang mungkin sebelumnya diabaikan.
Sebagai contoh, kasus bullying di sekolah sering kali tidak ditindaklanjuti dengan serius sampai video atau cerita korban menjadi viral. Setelah itu, sekolah, polisi, dan pemerintah setempat lebih cepat bertindak untuk menanggapi kasus tersebut. Ini menunjukkan bahwa media sosial dapat berfungsi sebagai alat untuk mendorong perubahan sosial dan menekan pihak berwenang untuk bertindak dengan lebih adil dan cepat.
Selain itu, media sosial juga telah menjadi alat yang efektif untuk mengedukasi masyarakat tentang hak-hak mereka dan tentang bagaimana melaporkan ketidakadilan. Dengan meningkatnya kesadaran ini, lebih banyak individu yang berani berbicara dan melaporkan ketidakadilan yang mereka alami atau saksikan. Ini menciptakan lingkaran positif di mana semakin banyak kasus yang mendapatkan perhatian, semakin besar pula kemungkinan untuk mendorong perubahan sistemik.
Namun, untuk mengatasi ketergantungan pada viralitas, perlu ada upaya untuk memperkuat sistem peradilan kita sehingga keadilan bisa didapatkan tanpa harus viral terlebih dahulu. Ini termasuk memperbaiki akses keadilan bagi semua orang, mengurangi bias dalam sistem hukum, dan memastikan bahwa pihak berwenang bertindak berdasarkan bukti dan bukan tekanan publik semata. Pemerintah dan institusi terkait harus bekerja sama untuk menciptakan sistem yang transparan, adil, dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Pada kesimpulannya, fenomena “No Viral, No Justice” menunjukkan kekuatan media sosial dalam mendorong keadilan, tetapi juga menyoroti kelemahan dalam sistem peradilan kita. Sementara media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk mengangkat kasus-kasus ketidakadilan, kita harus berupaya untuk menciptakan sistem hukum yang dapat memberikan keadilan tanpa perlu bergantung pada popularitas di dunia maya saja.
Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa setiap individu mendapatkan keadilan yang layak tanpa harus melalui tekanan publik dan eksposur yang sering kali merugikan. Dengan demikian, kita bisa membangun masyarakat yang lebih adil, di mana setiap orang merasa aman dan terlindungi oleh hukum.
Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun