Imam Shamsi Ali (Foto: PWMU.CO)
Imam Shamsi Ali Al-Kajangi – Imam Besar Amerika Serikat
Tulisan ini terdiri dari 3 bagian. Ini bagian pertama
PWMU.CO – Pada tulisan sebelumnya disampaikan bahwa urgensi hijrah dan penanggalan Hijriyah itu adalah simbol identitas keumatan sekaligus dasar bagi terbangunnya umat secara komunal. Intinya Hijrah merupakan langkah awal dalam membangun umat secara komunal menuju kepada kemenangan (fath mubin) yang telah dijanjikan.
Pertanyaan yang kemudian timbul di benak adalah apa saja yang Rasulullah lakukan sejak Hijrah hingga terjadinya kemenangan (fathun mubin) dengan ditaklukkannya kembali kota Mekah?
Sebelum sampai kepada hal-hal atau langkah-langkah Rasulullah dalam membangun komunitas (umat) di Madinah, ada satu hal yang perlu saya garis bawahi. Bahwa semua proses yang terjadi dalam perjuangan Rasulullah itu selain terbangun di atas “Iman dan tawakkal” yang solid, juga dengan perencanaan yang matang dan rinci. Bukan asal-asalan (serampangan) atas nama iman dan tawakkal.
Jika kita pelajari secara dekat apa-apa yang Rasulullah lakukan sebelum Hijrah, kita akan kagum betapa rinci dan strategisnya Rasulullah dalam melakukan perencanaan. Dari pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh Madinah melalui peristiwa bai’ah Satu dan dua di selama di musim Haji di Mekah, pengiriman Mus’ab ibnu Umair untuk melakukan serangkaian diplomasi (Dakwah), eksodus pengikutnya dari Mekah dengan aman, persiapan Abu Bakar (bekal dan dua onta), hingga bagaimana di momen-momen menegangkan malam itu.
Malam itu sangat krusial menentukan dan sangat menegangkan. Tekad kaum kafir Mekah bulat akan menghabisi nyawa Rasulullah. Rasulullah tentu menghadapi itu dengan penuh keimanan dan tawakkal. Tapi juga sangat rinci dalam mempersiapkan semuanya sehingga selamat dan sukses dalam perjalanan itu. Pertemuan dengan Abu Bakar diatur sedemikian rupa. Ali ditugasi menggantikannya di atas tempat tidur di kediamannya. Petunjuk jalan (seorang non Muslim tapi amanah) disewa. Hingga strategi arah perjalanan diatur sedemikian rupa sehingga para algojo yang telah siap penuh memenggal leher Rasulullah itu gagal.
Saya tidak perlu rincikan segalanya. Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa dalam perjuangan itu diperlukan perencanaan yang matang dan rinci serta dengan strategi yang solid. Umat Islam masa kini seringkali melakukan segalanya secara ambradul dan secara tiba masa tiba akal. Umat Islam Indonesia akan nampak seperti itu ketika memasuki musim politik. Bagaimana umat mudah terkalahkan karena seringkali serampangan, tanpa perencanaan dan strategi yang matang.
Tujuh langkah menuju kemenangan
Setiba di Madinah Rasulullah SAW tidak serta merta menanggapi ha seolah sudah mendapatkan solusi dan kemenangan. Justeru ketibaan beliau di Madinah menjadi langkah awal bagi perjaungan fase berat di hari-hari selanjutnya. Kini fase Dakwah itu bukan lagi membangun pribadi-pribadi yang solid secara iman. Tapi membangun komunitas global (umat) sesuai amanah Islam sebagai “rahmatan lil-alamin”.
Dalam beberapa tulisan ke depan saya akan elaborasi tujuh langkah yang Rasulullah lakukan menuju kepada kemenangan (fathun mubin) itu.
Urgensi masjid
Hal pertama yang Rasulullah lakukan setiba di Madinah adalah membangun Masjid. Setiba di depan rumah Abu Ayyub Al-Anshori, di mana onta beliau berhenti dan berlutut menandakan Allah meridhoi beliau untuk tinggal sementara di rumah itu. Hal yang beliau lakukan bahkan sebelum memasuki rumah itu adalah meletakkan batu pertama pembangunan masjid pertama dalam sejarah Islam. Masjid itu yang dikenal hari ini dengan Masjid Kuba.
Pembangunan Masjid sesungguhnya bukan pada pembangunan gedungnya. Pemahaman tentang masjid yang seringkali dibatasi oleh pemahaman fisikal semata menjadikan fungsi Masjid menjadi sangat terbatas. Akibatnya umat Islam sibuk bahkan berlomba-lomba membangun gedung masjid yang mewah. Tapi Masjid-Masjid itu tidak berfungsi sebagaimana misi dari Masjid itu sendiri.
Masjid adalah bentuk kata yang memaknai tempat. Dari kata “sajada-yasjudu-sujudan wa sajdat” yang kemudian menghasilkan kata masjid itu. Sajada-sujudan wa sajdatan berarti bersujud. Makna lahirnya melekatkan dahi ke tanah/sajadah merendahkan diri dalam penyembahan kepada Pencipta langit dan bumi. Maka masiid itu adalah “tempat bersujud” seperti pada pemahaman di atas. Di mana umat ini meletakkan dahinya berkali-kali dalam sehari semalam merendahkan diri kepada Allah SWT.
Namun sujud dalam pemahaman filosofisnya adalah tunduk, patuh dan taat kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah sampaikan beberapa kali dalam Al-Quran: “dan untuk Allah bersujud siapa-siapa yang ada di langit dan di bumi”. Pada ayat lain Allah memakai kata “apa-apa (maa) yang ada di langit dan di bumi”. Bahkan di Surah Ar-Rahman misalnya disebutkan bahwa “bintang dan pohon bersujud (kepada Allah)”.
Dengan demikian, jika kita kembali kepada kata Masjid maka makna filosofisnya adalah tempat di mana umat tunduk, patuh, dan taat kepada sang Khaliq, Pencipta langit dan bumi Allah SWT. Maka Masjid dapat dimaknai sebagai pusat ketaatan dalam ubudiyah kepada Allah SWT. Di sanalah umat ini memusatkan segala hidupnya yang tersimpulkan dalam: “sesungguhnya sholatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam”.
Pada konteks inilah sesungguhnya yang dimaknai dengan hadits Rasulullah: “bumi telah dijadikan bagiku masajid (Masjid-Masjid)”. Artinya di sisi mana pun bumi ini seorang Muslim itu sedang sujud (patuh dan taat) kepada Allah SWT. Di jalan, di rumah, di sekolah, di pasar hingga di parlemen dan Istana negara, seorang Muslim selalu dalam keadaan sujud (patuh dan taat) kepada Allah SWT.
Dan pada makna ini pula yang ingin Rasulullah lakukan dalam membangun komunitasnya. Bahwa hal pertama dan terutama bagi umat ini adalah membangun kesadaran “ubudiyah yang totalitas” kepada Allah SWT. Masjid Kuba memberikan pesan yang jelas dan tegas bahwa Komunitas Islam yang akan dibangun itu akan selalu mengacu kepada “Masjid”. Jika suatu ketika umat ini berada di pasar, di parlemen dan Istana negara, bahkan di medan perang sekalipun, semua itu akan selalu merujuk kepada makna “Masjid” (pusat ketaatan ubudiyah semata kepada Allah SWT”.
Itulah sesungguhnya makna terpenting dari tujuan terbangunnya umat. Bahwa umat Islam bukan sekedar sebuah bangsa. Tapi bangsa yang terbangun di atas kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT. Bukan bangsa yang hebat memakai simbol-simbol Islam. Namun jauh bahkan phobia (takut dan benci) dengan ajaran Allah SWT
(Bersambung)…
Editor Teguh Imami