Oleh Biyanto – Guru Besar UIN Sunan Ampel; Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PWMU.CO – Tulisan ini bersumber dari “Tajuk” yang dimuat di Majalah Matan (Juli 2024). Tentu tidak sama persis, melainkan disertai beberapa uraian tambahan. Pada edisi Juli 2024, Majalah Matan memang mengangkat Fokus seputar isu Muhammadiyah dan Salafisme.
Untuk kepentingan agar tulisan ini dibaca kalangan lebih luas, maka dimuat ulang di media online yang dikelola Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Salah satu pertimbangannya adalah karena persoalan Salafisme dengan beragam bentuknya terus menjadi perbincangan di kalangan aktivis Persyarikatan.
Di lingkungan Muhammadiyah, soal salafisme diperbincangkan dalam berbagai kajian di masjid, kampus, atau amal usaha Muhammadiyah (AUM) lainnya. Kajian dengan topik salafisme dengan berbagai karakternya penting untuk meneguhkan posisi Muhammadiyah sebagai organisasi yang terus menggelorakan nilai-nilai wasathiyyah di tengah kemajemukan agama dan paham keagamaan. Kajian ini juga bertujuan untuk membentengi penyelenggara AUM dari pengaruh ideologi salafisme.
Pengaruh ideologi Salafisme memang sudah merasuk ke sebagian warga Muhammadiyah dan AUM. Dengan berseloroh Amin Abdullah menyebut adanya varian baru di Muhammadiyah. Namanya Musa (Muhammadiyah Salafi) atau Mursa (Muhammadiyah Rasa Salafi).
Varian ini melengkapi tipologi Muhammadiyah yang diutarakan Abdul Munir Mulkhan dalam Islam Murni (2000). Munir Mulkhan mentipologikan orang Muhammadiyah dalam empat varian, yakni: Al Ikhlas, Kiai Dahlan, Munu (Muhammadiyah-NU), dan MarMud (Marhaenisme-Muhammadiyah).
Jika ideologi Salafisme terus merasuki paham keagamaan warga Muhammadiyah dan penyelenggara AUM, maka keberadaan mereka akan menjadi “benalu”. Istilah “benalu” ini disampaikan Syafiq Mughni (2024) dalam berbagai kesempatan berceramah.
Muhammadiyah jelas berbeda dengan Salafisme
Salah perbedaannya adalah cara menyikapi kelompok yang berideologi berbeda. Dengan nilai-nilai wasathiyyah, terutama prinsip toleransi (tasamuh), Muhammadiyah selalu mengajarkan untuk menghormati keragaman pandangan keagamaan. Bagi Muhammadiyah kemajemukan merupakah ketetapan Allah SWT (sunnatullah).
Sementara itu, Salafisme umumnya memosisikan kelompok yang berbeda sebagai pihak yang salah dan karena itu layak dilabeli pelaku bid’ah. Bahkan ada varian Salafisme yang ekstrim. Kelompok ini memosisikan mereka yang berbeda sebagai musuh, kafir, dan halal darahnya. Pandangan ini dianut Salafi Takfiri atau Jihadi. Pandangan kelompok Salafi Takfiri atau Jihadi ini jelas sangat berbahaya. Apalagi realitas menunjukkan bahwa negeri tercinta ini sangat majemuk jika dilihat dari perspektif etnik, bahasa, budaya, agama dan paham keagamaan.
Karakter Salafisme
Sebagai pelengkap kajian penting dipahami karakter Salafisme. Dalam Islamic Revival Catalysts, Categories, and Consequences (1988), Hrair Dekmejian, menjelaskan karakter Salafisme dengan tiga ciri. Pertama, pervasiveness. Berarti bahwa Salafisme merupakan gerakan keagamaan yang terjadi merata di hampir seluruh dunia.
Gerakan ini umumnya menonjolkan aspek simbolik dari ajaran agama. Kedua, polycentrism. Berarti banyak organisasi keagamaan yang berideologi Salafisme. Uniknya setiap organisasi memiliki ideologi, pemimpin, program, strategi, dan taktik yang berbeda. Organisasi-organisasi ini umumnya memiliki kesamaan agenda perjuangan. Salah satunya adalah mewujudkan negara Islam sebagai negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh aspek kehidupan umat. Karakter ketiga, persistence. Berarti bahwa gerakan ini berjuang terus-menerus, pantang menyerah, dan berani mengambil resiko apa pun asal tujuannya tercapai.
Karakter lain dari Salafisme dijelaskan Amin Abdullah (2015). Pak Amin, begitu sapaan akrabnya, memetakan Salafisme dalam tiga kategori, yakni; Salafi Dakwah, Salafi Gerakan, dan Salafi Jihadi. Salafi Jihadi inilah yang menjadi basis ideologi gerakan radikalisme. Di antara doktrin penting gerakan berideologi Salafi Jihadi adalah al-wala’ wa al-barra’ (kesetiaan dan penolakan). Dalam kehidupan kemasyarakatan, doktrin ini menimbulkan disharmoni sosial, perpecahan, sektarianisme (ta’ifiyyah), parochalisme (mazhabiyyah), dan primordialisme (hizbiyyah).
Dengan karakter demikian, Salafi Jihadi lebih mencerminkan sebagai kelompok garis keras, baik dalam pemikiran maupun perilaku. Sementara itu, Yusuf Al-Qardhawi (2007) menggolongkan kelompok-kelompok Salafisme Radikal dengan sebutan “Zhahiriyyah Baru”. Kelompok ini memiliki enam karakter, yakni; pemahaman literal, keras dan menyulitkan, sombong terhadap pendapat mereka, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan orang di luar kelompoknya, dan tidak peduli pada fitnah.
Karakter demikian pasti tidak cocok dengan alam pemikiran dan praktik keagamaan yang dikedepankan oleh Muhammadiyah. Apalagi ditegaskan bahwa salah satu pilar penting dalam dokumen Risalah Islam Berkemajuan (2022) adalah berprinsip Wasathiyyah dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Pada konteks inilah seluruh pimpinan, warga, dan penyelenggara AUM penting menjaga ideologi Muhammadiyah dari infiltrasi Salafisme dalam berbagai bentuknya. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah