Oleh: Dhimam Abror Djuraid
PWMU.CO – Pertemuan kelima aktivis viral dan menjadi trending topik di Indonesia. Setelah pertemuannya dengan Presiden Israel Isaac Herzog di Tel Aviv. Masyarakat Indonesia dan netizen mengecam pertemuan itu karena dianggap tidak sensitif terhadap genosida Israel terhadap Gaza yang sudah menelan 40 ribu nyawa.
Kelima anak itu mengklaim diri mewakili NU dan menyebut diri mereka sebagai ‘’filosof-agamawan’’. Sebutan itu keren tetapi mengundang pertanyaan—atau tertawaan–karena selama ini kelima anak itu tidak pernah terdengar kiprahnya sebagai agamawan maupun filosof. Mungkin lebih tepat mereka disebut sebagai pseudo-agamawan, atau pseudo-filosof, kalau tidak menyebut mereka gadungan atau makelar.
Pengurus PBNU cepat bereaksi dengan menegaskan bahwa kunjungan itu tidak ada hubungannya dengan PBNU. Ketua PBNU K.H Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa tindakan anak-anak itu terjadi karena tidak paham peta geopolitik. Kiai Staquf bahkan menyebut mereka belum cukup umur alias belum baligh intelektual.
Tindakan kelima orang ini sensitif dan bisa mencederai dan mencoreng citra Indonesia dan Umat Islam. Selama ini PBNU membangun komunikasi intensif dengan otoritas Palestina terkait situasi di Gaza dan Tepi Barat.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial salah seorang aktivis itu menyebutkan bahwa mereka ingin melanjutkan legasi Presiden Abdurrahman Wahid, yang mempunyai hubungan akrab dengan tokoh-tokoh Yahudi Israel seperti Shimon Peres dan lainnya.
Gus Dur sudah sangat akrab dengan berbagai kontroversi. Kunjungan Gus Dur ke Israel hanyalah satu di antara seabrek kontroversi Gus Dur. Langkah politik Gus Dur sering disebut sebagai langkah kuda yang sulit diantisipasi dan diprediksi. Lebih dari itu semua, Gus Dur mempunyai reputasi intelektual yang mumpuni untuk mempertahankan argumennya dalam hubungan antar agama.
Langkah Gus Dur terukur dan realistis. Ketika menjadi presiden Gus Dur tidak serta merta membuka hubungan diplomatik dengan Israel, karena paham betul bahwa tindakan itu bertentangan dengan konstitusi, dan bisa membahayakan posisi politiknya sebagai presiden.
Kelima anak-anak aktivis itu belum terlalu terdengar kiprah intelektualnya. Kalau toh ada masih sangat terbatas. Karena itu kalau mereka mengeklaim sebagai filosof-agamawan dan penerus legasi Gus Dur maka klaim itu lebih mirip sebagai bualan dan omong kosong.
Belum lama, foto Menkominfo Budi Arie Setiadi juga viral di media sosial, gegara fotonya bersama tentara Israel beredar di media sosial. Foto itu menggambarkan Budi Arie tengah berpose bersama tentara perempuan wajib militer yang menenteng senjata laras panjang. Satu foto lagi menunjukkan Budi Arie berpose di bawah bendera Bintang Daud.
Foto-foto itui diambil dalam kunjungan Budi Arie ke Israel pada 2015. Ketika itu ia tidak banyak dikenal orang. Aktivitas politiknya juga tidak banyak, kecuali sebagai relawan Jokowi. Sekarang Budi Arie menjadi sorotan karena sebagai menteri kominfo dianggap bertanggung jawab terhadap bobolnya server Pusat Data Nasional (PDN) dari serangan hacker.
Foto-foto jadul itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tupoksi Budi Arie sebagai menkominfo. Tetapi, itulah jailnya netizen. Ketika seorang pejabat tinggi berada dalam sorotan maka rekam jejak digitalnya pun dibongkar ke publik.
Sebagai pemeluk Kristen Protestan wajar Budi Arie mengunjungi Israel, berziarah ke Jerusalem. Tapi, persepsi publik selalu negatif setiap kali ada pejabat yang berkunjung ke Israel. Reaksi netizen terhadap unggahan foto-foto itu pun riuh rendah. Ada yang mendesak Budi Arie dipecat secepatnya. Ada yang menyebut Budi Arie simpatisan zionis dan pendukung genosida Yahudi Israel terhadap warga Palestina.
Konflik Palestina sekarang membawa perkembangan baru dengan munculnya partai-partai kiri menjadi pemenang dalam pemilu Eropa. Di Prancis partai sosialis kiri berhasil memenangkan pemilu mengalahkan partai kanan. Janji untuk mengakui kemerdekaan Palestina yang menjadi tema kampanye partai kiri berhasil menarik simpati pemilih.
Partai sayap kanan Prancis terkenal sangat anti imigrasi dan anti Islam. Di bawah kepemimpinan Marie Le Pen partai sayap kanan dikenal dengan sikapnya yang sekular ekstrem yang bisa mengancam eksistensi imigran Afrika muslim.
Partai sayap kanan National Rally, yang dipimpin oleh Marine Le Pen, memenangkan 143 kursi dan memimpin putara pertama dengan kemenangan tipis. Partai tengah dan sayap kiri kemudian berkoalisi untuk mengalahkan koalisi sayap kanan, Akhirnya koalisi National Rally yang terdiri dari partai tengah dan kiri, berhasil mengalahkan partai sayap kanan.
Perkembangan ini membuat peta politik berubah. Kelompok sayap kanan awalnya menjadi musuh lama Yahudi Prancis. Pendiri National Rally, Jean-Marie Le Pen, berulang kali dihukum karena ujaran kebencian dan penyangkalan Holocaust dan sangat anti Yahudi. Tetapi, karena ancaman partai sayap kiri sekarang partai sayap kanan berbaikan dengan para pendukung Israel.Kemenangan partai kiri Prancis membawa angin segar bagi Palestina, karena perdana menteri baru menyatakan akan mengakui kemerdekaan Palestina.
Di Inggris juga terjadi perubahan besar. Partai Buruh yang dipimpin Keir Starmer memenangkan pemilu dan meraih kursi mayoritas di parlemen. Perdana Menteri Rishi Sunak dari Partai Konservatif pun mengundurkan diri karena kekalahan ini.
Perubahan ini akan membawa konsekuensi besar dalam konflik Palestina, karena perdana menteri terpilih Inggris menyatakan akan mendukung kemerdekaan Palestina.
Dukungan Prancis dan Inggris terhadap kemerdekaan Palestina akan mengubah lanskap politik Timur Tengah secara signifikan. Selama ini dua negara itu menjadi sekutu utama Amerika Serikat dalam konflik Palestina. Amerika semakin tersudut dalam pembelaannya terhadap Israel setelah membelotnya Prancis dan Inggris dengan mendukung Palestina.
Inggris adalah sponsor utama bedirinya negara Israel pada 1947. Ketika itu menteri luar negeri Inggris Sir James Balfour menyeponsori deklarasi yang menjadi dasar berdirinya negara Israel.
Perkembangan geopolitik ini tidak dipahami oleh kelima anak ‘’filosof-agamawan’’ itu. Reaksi internasional yang mengecam keras genosida Israel atas Palestina tidak menyentuh nurani lima anak itu. Pantaslah kalau Kiai Staquf menyebut mereka belum cukup umur, belum akil baligh. (*)
Editor Azrohal Hasan