M. Ainul Yaqin Ahsan (Foto: PWMU.CO)
M. Ainul Yaqin Ahsan – Guru MA Muhammadiyah 9 Ponpes Al-Mizan Lamongan
PWMU.CO – Saya sangat optimis mengenai masa depan bangsa Indonesia. Saya percaya bahwa pada tahun 2045 atau 2050, Indonesia akan menjadi salah satu negara paling makmur di dunia. Banyak yang meragukan hal ini, mengingat bahwa kriteria negara maju masih sering diperdebatkan. Namun, secara umum, kita menyebut negara-negara Skandinavia, Amerika Serikat, Cina, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Selandia Baru, Australia, dan Belanda sebagai negara maju. Negara-negara tersebut mencapai kemajuan melalui proses panjang dan penuh tantangan.
Proses Panjang Kemajuan Negara-negara Barat
Jika kita melihat ke Eropa, kemajuan mereka dimulai dengan pengambilan keputusan yang pahit, yaitu mengesampingkan pikiran mistik dan menggantinya dengan logika dan filsafat. Abad Renaissance dan Reformasi Gereja menjadi titik awal kemajuan Eropa. Mereka mengembangkan metodologi baru untuk berpikir, berpengetahuan, berdiskusi, dan menciptakan industri. Periode ini dikenal sebagai zaman Aufklarung atau zaman Pencerahan.
Setelah masa pencerahan, Eropa mengalami periode kolonialisme, di mana mereka menjajah berbagai wilayah untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Kemakmuran yang dihasilkan dari kolonialisme kemudian mendorong revolusi industri, di mana produk-produk pertanian dan industri mulai dihasilkan melalui mekanisasi. Setelah itu, muncul ideologi-ideologi besar seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, feminisme, dan fasisme. Serangkaian perang besar seperti Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin memunculkan Amerika Serikat sebagai negara paling kuat di dunia Barat.
Jepang: Kemajuan Instan dengan Konsekuensi
Kemajuan Jepang terjadi dengan sangat cepat setelah Restorasi Meiji dan Perang Dunia Kedua. Jepang sudah memiliki modal-modal yang diperlukan untuk maju, seperti persatuan bangsa, bahasa yang sama, dan feodalisme yang mapan. Mereka hanya membutuhkan pemicu, yaitu kebencian terhadap bangsa barat, untuk mendorong kemajuan. Kebencian ini mendorong Jepang untuk menjadi negara yang sangat maju dalam waktu singkat.
Namun, kemajuan yang instan ini juga membawa masalah. Pada tahun 1980-an, Jepang mulai mengalami “Lost Generation,” di mana orang-orang bekerja terlalu keras hingga kehabisan stamina. Mereka mengalami krisis populasi karena orang-orang enggan menikah dan memiliki anak. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan di Jepang bangkrut karena kekurangan sumber daya manusia.
Korea Selatan: Mengikuti Jejak Jepang
Korea Selatan mengikuti jejak Jepang dengan kebencian sebagai pemicu kemajuan, kalau Jepang membenci Amerika dan negara-negara barat maka Korea membenci Jepang. Mereka bersatu, berbahasa sama, dan memiliki politik yang stabil. Namun, mereka juga mengalami masalah yang sama, yaitu krisis populasi. Tidak ada anak dan tidak ada sumber daya manusia yang cukup untuk menopang industri mereka. Akibatnya, Korea Selatan mengalami penurunan setelah mencapai puncak kemajuan.
Cina: Potensi Besar dengan Tantangan yang Sama
Cina mengikuti pola yang sama seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi dengan populasi yang sangat besar. Meskipun mereka menghadapi masalah yang sama, yaitu krisis populasi, kejatuhan Cina tidak akan seinstan Jepang dan Korea Selatan. Dengan 880 juta tenaga kerja, Cina masih memiliki potensi besar untuk terus maju. Namun, jika mereka mempertahankan skema yang sama, mereka akan menghadapi masalah yang sama dalam jangka panjang.
Indonesia: Potensi Besar dan Tantangan “Ketidakjujuran”
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Letak geografisnya yang strategis, wilayah yang luas, dan sumber daya manusia yang melimpah memberikan keuntungan besar. Indonesia menghubungkan Asia Timur dan Asia Selatan, dua wilayah dengan populasi terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia memiliki wilayah daratan dan lautan yang luas, dengan sumber daya alam yang sangat melimpah dan beragam.
Namun, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah ketidakjujuran. Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi tidak dapat memperbaiki keadaan karena sistem yang korup dan tidak jujur. Banyak kebijakan pendidikan yang dibuat oleh orang-orang yang masuk melalui jalur korupsi atau dengan menggunakan ijazah palsu. Hal ini menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak efektif dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Masalah ketidakjujuran juga merambah ke berbagai sektor lainnya, seperti ekonomi, pemerintahan, dan pertahanan. Misalnya, pengusaha seringkali harus menghadapi birokrasi yang korup dan tidak jujur. Di sektor pemerintahan, banyak pejabat publik yang tidak kompeten karena mereka mendapatkan posisi melalui jalur yang tidak jujur. Bahkan di sektor pertahanan, banyak orang yang masuk melalui jalur korupsi, sehingga mengurangi efektivitas dan keandalan pertahanan negara.
Solusi: Meningkatkan Religiusitas untuk Mengatasi Ketidakjujuran
Masalah ketidakjujuran dapat diatasi dengan meningkatkan religiusitas masyarakat. Indonesia adalah negara dengan penduduk yang sangat religius, dan religiusitas dapat menjadi kunci untuk mengatasi ketidakjujuran. Orang yang religius biasanya lebih dekat dengan Tuhan dan memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, termasuk kejujuran. Namun, religiusitas masyarakat saat ini belum cukup untuk mengatasi masalah ketidakjujuran. Banyak pemuka agama yang juga terlibat dalam tindakan tidak jujur. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas religiusitas masyarakat secara menyeluruh, termasuk para pemuka agama.
Saya optimis bahwa Indonesia akan menjadi negara maju dalam beberapa puluh tahun ke depan. Meskipun menghadapi banyak tantangan, dengan potensi yang ada dan solusi yang ditawarkan, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai kemajuan. Mari kita berusaha menjadi orang-orang yang jujur dan berkontribusi positif untuk masa depan Indonesia. Bagi para pejabat publik, saya mengajak untuk bertobat dan menjalankan tugas dengan kejujuran, karena itulah kunci utama untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran bagi bangsa ini.
Editor Teguh Imami