Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
Di era pasca Orde Baru, di setiap bulan September selalu ramai wacana seputar peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan 30 September (G 30 S/PKI) atau Soekarno lebih suka menyebutnya Gerakan Satu Oktober (Gestok). Penyebutan ini karena Soekarno merujuk pada tanggal kejadian pembunuhan para jenderal yang sudah masuk waktu dinihari sampai pagi jelang subuh di tanggal 1 Oktober 1965.
Di antara beragam perspektif atas wacana tersebut, selalu ada wacana yang ditawarkan oleh mereka yang dalam tulisan ini saya menyebutnya sebagai “sok manusiawi” dengan mencoba melakukan “pembelaan” terhadap mereka (dari keluarga PKI) yang menjadi korban pasca peristiwa kelabu tersebut.
Tentu saja patut dihargai ketika misi kemanusiaan yang dikedepankan dan menjadi motif utama. Kemanusiaan itu bersifat universal, tanpa ada sekat agama, suku, bahasa, ras, warna kulit, dan sebagainya. Karenanya siapapun yang suka teriak-teriak kemanusiaan juga semestinya menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang universal tersebut.
Nah, dalam konteks ini, saya tak melihat bahwa mereka yang suka teriak-tetiak membela keluarga dan keturunan PKI sebagai murni membela nilai-nilai kemanusian. Kalau mereka teriak membela kemanusiaan yang hakiki, maka semestinya nilai-nilai kemanusiaan yang universal itu yang ditunjung tinggi. Ketika nilai-nilai universal ini dikedepankan, maka tak mungkin pejuang sejati kemanusiaan itu melakukan “pembelaan kemanusiaan” hanya pada korban kemanusiaan yang menimpa kelompok tertentu saja, sebut saja PKI dan keturunannya.
Kalau mereka teriak dan membela kemanusiaan, maka sejatinya korban kemanusiaan di Indonesia itu bukan hanya para pengikut dan keturunan PKI. Ada korban yang berasal dari keluarga DI/TII. Ada korban yang berasal dari PRRI/Permesta. Ada korban kebiadaban tentara dalam peristiwa Tanjung Priok. Ada korban kebiadaban tentara dalam kasus Warsidi di Lampung. Ada korban kebiadaban yang dilakukan oleh Densus 88 dalam kaitan kasus terorisme, dan banyak lagi.
Kalau pejuang sejati kemanusiaan, maka mereka seharusnya juga teriak yang sama lantangnya atas kasus-kasus yang disebut di atas, sebagaimana mereka teriak lantang membela PKI dan keturunannya.
Ketika mereka hanya lantang teriak kemanusiaan yang menimpa keluarga PKI dan keturunannya dan abai terhadap korban (politik) kemanusiaan lainnya hanya lantaran beda aliran politiknya, rasanya sulit menyebut mereka sebagai pejuang kemanusiaan sejati. Mereka tak lebih hanya sok menjadi pejuang kemanusiaan. Bahkan mungkin mereka sejatinya bukan sekadar pembela, tapi juga pendukung komunisme (PKI) dengan kedok kemanusiaan (MMA, 20/9/2017).