Oleh: Muhsin MK
PWMU.CO – Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) atau difabel di Indonesia semakin meningkat jumlahnya. Mereka memerlukan pendidikan yang setara dengan anak-anak pada umumnya. Karena itu keberadaan mereka tidak boleh diasingkan dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Apalagi diabaikan dari dunia pendidikan.
Al-Qur’an memberikan petunjuk bagaimana memperhatikan dan memperdulikan kalangan difabel apalagi ABK. Mereka yang memiliki keterbatasan ini dalam pandangan Allah justru mendapatkan kedudukan yang sama seperti manusia pada umumnya. Setiap muslim diperintahkan agar tidak membeda bedakan manusia karena melihat keadaan fisik dan mentalnya.
Prinsip Pendidikan Inklusi
Dalam al-Qur’an secara umum memberikan perhatian dan petunjuk berkait pendidikan inklusi. Al-Qur’an menyampaikan beberapa prinsip pendidikan inklusi yang berhubungan dengan kelompok difabel termasuk ABK. Prinsip yang dikemukakannya sebagai berikut.
Pertama, kesetaraan manusia termasuk difabel dan ABK atau bukan tak dapat diabaikan. Sebagai sesama manusia dihadapan Allah adalah sama dan setara. Mereka sama sama ciptaan Nya. (Al-Baqarah: 21).
Mereka berkedudukan setara sebagai hamba-Nya. (Adz-Dzariat: 56, Al-Bayyinah: 5). Mereka pun sama sama diamanahkan menjadi khalifah-Nya (Al-Baqarah: 30). Mereka semua sungguh dimuliakan Nya sebagai Bani Adam di dunia ini. (Al-A’raf: 26-27).
Kedua, kesetaraan dalam pendidikan dan pengajaran. (Al-Mujadalah: 11). Bahkan Allah pernah menegur Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya gara gara beliau tidak memperhatikan dan mengabaikan seorang difabel yang datang ingin mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari beliau.
Adalah Abdullah bin ummi Maktum yang tuna netra saat datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hendak mendapatkan pengajaran dan pendidikan tersebut. Saat dia datang bertemu, beliau tidak menghiraukannya. Karena saat itu beliau sedang melayani para pembesar Quraisy. (Abasa: 1-11).
Ketiga, kesetaraan dalam mendapatkan kebutuhan hidup jasmani dan rohani. Orang tua dan masyarakat harus memberikan nafkah kepada mereka dan tidak boleh ditelantarkan hanya karena ABK.(Al-Baqarah: 233) Begitu pula dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan moralnya juga harus dipenuhi oleh mereka.(At-Tahrim: 6).
Keempat, kesetaraan dalam memperoleh penghormatan dan penghargaan material dan non material. (Al-Hujurat: 13, An-Nur: 61). Mereka dilarang diejek, dihina, dibenci, dicaci maki dan direndahkan karena difablel.(Al-Hujurat: 10). Keberadaan mereka harus diperlakukan sama seperti orang orang biasa pada umumnya.
Kelima, kesetaraan dalam mendapatkan tempat dan aktifitas yang sama dalam beribadah dan kegiatan lainnya. (Adz-Dzariat: 56, Al-Baqarah: 21)
Bila mereka datang melaksanakan ibadah shalat di masjid boleh masuk dan menempati saf mana saja yang kosong. Mereka bisa menjadi muadzin seperti Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘anhu dan imam shalat berjamaah seperti Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
Karena itu masjid perlu menyiapkan jalan untuk jamaah difabel berkursi roda agar masuk ke dalam masjid tanpa kesulitan. Selain itu disediakan petugas yang membantu dan tempat duduk yang membuatnya nyaman tidak merasa dibedakan dengan jamaah lainnya. Mereka bisa beribadah dengan khusyuk dan tenang tanpa diskriminasi dan gangguan orang lain.
Keenam, kesetaraan dalam memperoleh jaminan sosial dan kesehatan. (Al-Baqarah: 177, An-Nur: 61) Bagi difabel atau ABK tidak bisa hidupnya di telantarkan hanya karena memiliki perbedaan fisik dan mentalnya. Mereka yang mengalami kesusahan dan kemiskinan perlu dibantu dan diberikan jaminan sosial dan kesehatan. Menelantarkan dan bersikap masa bodoh terhadap mereka sesuatu perbuatan yang tidak terpuji dalam Islam.
Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah membantu memberikan jaminan sosial dan kesehatan kepada seorang difabel (tunanetra) dari komunitas Yahudi di Madinah yang ditemukan di jalan sedang meminta minta. Orang difabel itu terpaksa mengemis karena tidak sanggup membayar pajak (jizyah). Umar membantu rakyatnya yang difabel itu.
Dia mendapatkan jaminan sosial (dijamin hidupnya). Dananya diambil dari Baitul Mal (kas negara). Orang difabel itupun dilarang mengemis lagi.
Urgensi Pendidikan Inklusi
Melihat tuntunan al-Qur’an sedemikan mulia dan tinggi terhadap komunitas difabel termasuk ABK, maka pendidikan inklusi menjadi sedemikian urgent dan diperlukan keberadaannya dalam masyarakat.
Umat Islam termasuk Muhammadiyah dan Aisyiyah perlu memperbanyak berdirinya lembaga pendidikan inklusi. Hal ini untuk memberikan pendidikan yang setara, baik dan layak kepada ABK yang jumlahnya dalam masyarakat semakin bertambah.
Adapun urgensi pendidikan inklusi ini antara lain sebagai berikut. Pertama, memberikan pendidikan dan pengajaran dalam meraih cita cita yang sama dan setara antara komunitas difabel apalagi ABK seperti orang lain pada umumnya. (Abasa: 1-11) Keberadaan mereka tidak boleh didiskriminasi, terasing dan diasingkan dalam masyarakat. Minimal agar mereka tidak menjadi minder dan rendah diri saat berkomunikasi dan berinteraksi dalam pergaulan masyarakat.
Di lembaga pendidikan inklusi, ABK bisa bergaul, beraktifitas, belajar dan bermain bersama anak anak biasa pada umumnya. Sehingga diantara mereka terjadi proses saling belajar, berbagi dan pengaruh mempengaruhi dalam berperilaku positif. Anak anak biasa pun diharapkan dapat memahami perbedaan sesama manusia dalam hidup mereka. Apalagi semua manusia adalah ciptaan Allah untuk beribadah dan bertaqwa kepada Nya. (Al-Baqarah: 21)
Kedua, memberikan perhatian dan perlakuan yang sama dan seimbang antara ABK dan anak anak biasa. (An-Nur:61) Guru dan pendidik di sekolah sekolah dan pesantren inklusi berkewajiban memberikan perhatian dan perlakuan yang sama dan setara kepada murid, siswa-siswi dan para santrinya. Hanya dalam proses aktifitasnya ABK perlu dibantu oleh guru shadow atau pendamping.
Guru shadow atau pendamping ini diperlukan, karena ABK pada umumnya berbeda perilakunya dengan anak anak biasa. Dengan adanya shadow diharapkan agar ABK di dalam dan luar kelas tidak menggangu atau diganggu oleh anak anak biasa.
Selain itu pula untuk membimbing ABK saat belajar di kelas agar bisa mengikuti pendidikan dan pelajaran dengan baik hingga mandiri. Selanjutnya untuk membimbing mereka baik dalam beribadah, bermain, maupun saat melakukan aktifitas lainnya.
Ketiga, memberikan pelayanan yang sama dan adil kepada komunitas difabel termasuk ABK dan orang lain pada umumnya. (Al-Maidah:8) Apakah pelayanan administrasi, kesehatan, konsumsi, dan sarana prasarana. (Yusuf:93)
Semuanya diperlukan untuk menunjang pendidikan dan pengajaran yang mereka ikuti. Termasuk dalam memenuhi kebutuhan makan minum dan istirahat mereka selama berada di lembaga pendidikan tersebut.
Keempat, memberikan peluang dan kesempatan yang sama dan terbuka kepada ABK sebagaimana anak anak biasa. (At-Taubah: 122) Kesempatan untuk berdakwah dan berjuang. Termasuk dalam meraih prestasi sesuai kemampuan yang dimilikinya. Baik di bidang agama, keilmuan, pelajaran, olahraga, seni budaya, ketrampilan, bahasa, karya tulis dan lain lain.
Kecerdasan Komunitas difabel termasuk AB adalah berbeda beda. Namun tidak jarang diantara ABK itu ada yang berprestasi. Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘anhu berprestasi sebagai muadzin sama dan setara dengan Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘anhu.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berprestasi dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an dengan tartil setara dengan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu, Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, Ubay bin Kaab Radhiyallahu ‘anhu dan Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu.
Amru bin Al Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berprestasi dalam perjuangannya (jihad fisabilillah) dan ahlul Jannah. Setara dengan Abu Bakar Sidiq Radhiyallahu ‘anhu, Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, Usman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat lainnya yang menjadi ahlul Jannah. Mereka semua mendapatkan jaminan dari Allah akan menjadi ahli surga. (At-Taubah: 100)
Kelima, memberikan motivasi dan inspirasi yang sama dan berkualitas pada ABK seperti anak anak biasa. (Lukman:16-19)
Agar mereka menjadi orang yang mulia dan sukses. Pun orang yang meraih masa depan gemilang dan lebih baik. Kepada mereka harus ditanamkan kesadaran tinggi agar mampu meraih cita cita dan masa depan lebih baik.
Mereka juga perlu disadarkan bahwa ABK dapat menjadi mukmin, muttaqin, orang shaleh, ulama, kyai. ustadz. hafidz al-Qur’an, mujahid, mujtahid, pengusaha pemurah, guru, pendidik, tabib, olah ragawan berprestasi, dan seniman terkenal dan mendunia.
Materi Pendidikan Inklusi
Pertama, materi pendidikan iman dan taqwa. (Lukman: 13) Melalui pendidikan iman dan taqwa menjadikan ABK dan anak-anak biasa semakin kokoh keyakinannya. Mereka menjadi orang yang istiqamah dan teguh pendirian. (Al-Ahqaf: 13-14) Mereka tidak akan menjadi manusia lemah tak berdaya, (An-Nisa:9) sehingga mudah diperdaya oleh hawa nafsu dan syetan. Hidup dan matinya hanya untuk Islam. (Ali Imran: 102, Al-An’am: 162).
Kedua, Pendidikan ibadah. (Lukman:17) Biasakan ABK menjalankan shalat. (Thoha: 132) Termasuk mengerjakan shalat berjamaah di masjid, (At-Taubah: 18) dan shalat Jumat. (Al Jumlah:9). Karena itu di sekolah sekolah inklusi dan pesantren perlu dibangun masjid. (At Taubah:108).
Selain shalat mereka juga dididik dan digembleng untuk melakukan ibadah lainnya. Seperti, berdzikir, berdoa, menghafal bacaan dzikir dan doa, berpuasa, thaharah (bersuci), istinya (cebok setelah bab dan bak), berwudhu, tayamum, manasik haji, shalat jenazah dan goib, shalat dhuha, taraweh, baca adzan dan iqamat, serta keahlian lainnnya.
Ketiga, pendidikan adab dan akhlakul karimah. (Lukman: 14-19). ABK dan siswa siswi atau santri dididik dan ditanamkan adab dan akhlakul karimah kepada orang tua, diri sendiri, teman sekolah, kerabat, tetangga, orang fakir miskin, anak anak yatim, teman belajar, teman sepergaulan dan orang lain dalam masyarakat. (An-Nisa: 36) Termasuk adab dan akhlakul karimah dengan hewan dan lingkungan hidupnya. (Al-Qashas: 77)
Keempat, pendidikan membaca dan menulis al-Qur’an (Al-Alaq: 1-4) ABK diharapkan dapat membacanya dengan Tartil (Al Muzammil:4) dengan memperhatikan tajwid dan makhrojul hurufnya. Mengkhatamkan dan menghafalkannya. Memahami terjemahan kandungannya dan tafsirnya. Selain itu menghayati dan mengamalkannya. (Ash-Shaf: 2-3)
Kelima, pendidikan bahasa Indonesia, Arab Inggris dan lainnya. (Ar-Rum:22) Bahasa Arab berhubungan dengan al-Qur’an (Yusuf: 2). Bahasa Inggris berhubungan dengan pergaulan internasional. Bahasa lainnya berhubungan dengan urusan dengan diplomasi, studi atau pekerjaan dan bisnis. ABK dalam mempelajari bahasa lebih mudah dan menyenangkan dari pada mempelajari ilmu eksakta dan ilmu sosial (IPA-IPS).
Keenam, pendidikan olah raga. ABK lebih menyukai berolahraga dari pada belajar serius di kelas. Mereka berolahraga karena banyak bergerak. Mereka bisa memilih cabang olah raga yang disukai dan sesuai bakat yang dalam dirinya. Dengan olahraga selain dapat mendidik disiplin, memelihara kebugaran dan kesehatan mereka, juga untuk membuat mereka meraih prestasi dan ajang lomba dan pertandingan secara sportif.
Ketujuh, pendidikan seni budaya. ABK juga menyukai seni budaya dari pada pelajaran umum. Bernyanyi apalagi secara bersama sama lebih menggembirakan mereka. Seni budaya lainnya semisal bermain drama dapat membuat mereka berkreasi dan percaya diri. Melatih keberanian untuk tampil di depan publik atau orang banyak tanpa merasa malu atau minder.
Kedelapan, pendidikan ketrampilan. Berbagai bentuk ketrampilan sesuai kemampuan dan kesenangan ABK merupakan pendidikan yang mengantarkan mereka menjadi mandiri setelah dewasa.
Keterampilan memasak, menjahit, mendesain, menggambar, pertukangan, elektronika, mesin, membuat kali grafi dan lainnya sungguh diperlukan sebagai materi pendidikan inklusi. Terutama bagi ABK yang menjadi murid, siswa-siswi dan santrinya. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah