Saiful Bahri (Pribadi/PWMU.CO).
PWMU.CO – Indonesia telah memasuki era pesta demokrasi pada 2024 ini. Pemilihan umum (Pemilu) di negara kita terdapat tiga macam Pemilu dengan yang pertama adalah pemilu calon presiden dan wakil presiden, yang kedua pemilu calon DPR dan DPRD. Kemudian yang terakhir pemilu calon gubernur, wali kota dan bupati yang terhimpun dalam istilah Pilkada.
indonesia sebagai negara demokrasi telah melansungkan pemilihan pemerintah negara secara umum. Sebab secara konsep yang tertanam sebagai negara demokrasi adalah sebuah kebebasan bagi setiap rakyatnya untuk ikut serta menentukan siapa yang cocok dalam menjadi pemimpin.
Pemilu Dulu dan Kini
Pemilihan umum sendiri sudah dikenal lama oleh lapisan masyarakat baik yang di kota maupun di desa. Istilah pemilihan umum juga dikenal dengan istilah pesta demokrasi, dan teknik pelaksanaannya berpusat pada keputusan panitia pemilihan umum yang sekarang identik dengan nama KPU (komisi pemilihan umum).
KPU sebagai alat keberlangsungan pemilihan umum atau pesta demokrasi berhak menyusun segala aturan yang akan diterapkan dalam pelaksanaan pemilihan umum dengan catatan aturan-aturannya sesuai dengan UU yang berlaku di negara indonesia.
Secara tinjauan historis, Indonesia melansungkan pemilihan umum perdana sekitar 10 tahun pasca proklmasi kemerdekaan. Yakni bertepatan pada 29 september 1955, pelaksaan pemilihan umum perdana berlangsung secara bertahap. Tahap pertama merupakan pemilihan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan tahap kedua dilangsungkan pemilihan anggota konstituante atau dewan pembentuk undang-undang dasar.
Pada pelaksaan pemilihan umum tersebut dikenal sebagai PEMILU yang paling demokratis. Tidak sedikit alasan yang melatar belakangi Pemilu tersebut dikenal paling demokratis .Salah satunya adalah Pemilu 1955 dilaksanakan dengan bebas dan jujur, tanpa paksaan.
Hal diatas sangat bertolak belakang dengan pelaksanaan pemilihan umum selanjutnya pada masa pemerintahan orde baru. Sebab sesuai dengan fakta yang ada, bahwa banyak praktik politik yang sangat kurang mencerminkan atas konsep demokrasi di indonesia. Buktinya adalah merebaknya cara kotor yang digunakan oleh setiap calon dalam memuluskan dirinya sebagai pejabat terpilih, sedangkan pada pemilihan umum perdana sangat bersih dari cara-cara kotor seperti politik uang dan lain-lain.
Pelanggaran Netralitas ASN Berdampak pada Kepincangan Politik
Pada era sekarang yang sangat menampakkan terhadap kekotoran politik, yang sering dipermasalahkan yakni terkait kasus netralitas yang dilanggar oleh pihak aparatur sipil negara, mengacu pada aturan yang tertuang dalam Undang-undang(UU) Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Dalam UU tersebut, tercantum bahwa ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil(PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja(PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah.
PNS merupakan warga negara indonesia yang memenuhi syarat-syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Adapun PPPK adalah warga negara indonesia yang memenuhi syarat tertentu yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
Praktik keberpihakan aparatur sipil negara (ASN) berpotensi pada mulusnya calon tertentu dalam kontestasi politik, dan hal tersebut merupakan sebuah tindak prilaku yang dapat memudarkan profesionalisme aparatur sipil negara, sehingga budaya seperti ini merupakan contoh praktik politik kotor yang tidak baik untuk dicontoh dan diterapkan dalam setiap sektor kehidupan.
Selain daripada itu dengan adanya keberpihakan pada salah satu calon dalam pelaksanaan pesta demokrasi di khawatirkan akan memberikan dukungan berupa fasilitas lebih, sehingga menuai pro dan kontra yang akan berakibat pada perpecahan bagi setiap dalam negara, mulai dari calon sendiri maupun pendukungnya sebab ada rasa kecemburuan sosial oleh salah satu pihak.
Lebih dari itu, apabila kasus pelanggaran netralitas dapat tersapu bersih maka akan berpengaruh pada kinerja peserta kontestasi politik ketika sudah menjadi pejabat. Yaitu terorentasi pada sektor pelayanan rakyat secara baik dan professional, karena aparatur sipil negara yang netral dalam pemilihan umum tidak berpihak dan memprioritaskan kepentingan kelompok tertentu, sehingga membentuk pada sifat kebiasaan untuk selalu menyamaratakan setiap rakyat dalam negara.
UU yang Mendasari Sikap Netralitas
Dalam konteks pembahasan netralitas, baik ASN,TNI maupun POLRI memiliki landasan aturan hukum yang tertera sebagai berikut.
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU PEMILU)
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS)
- Surat Edaran (SE) nomor 16 Tahun 2022 Tentang Netralitas Pegawai Kementerian Keuangan
- Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Kedudukan dan Peran TNI dalam Lembaga Pemerintah Negara
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Idonesia
Dari semua aturan yang tertulis tersebut, aparatur sipil negara harus mampu menyadari dan mempraktikkan sesuai dengan aturannya, demi menjaga kedamaian dan kelancaran dalam kegiatan PEMILU, mengingat aparatur sipil negara sebagai cerminan oleh rakyat, sehingga perlu menjadi contoh yang baik dalam menjaga keutuhan demokrasi.
Ditekankannya budaya netralitas aparatur sipil negara dalam Pemilu mencegah terhadap munculnya politik praktis, dari banyaknya jumlah aparatur sipil negara(ASN), akan menjadi incaran oleh kelompok politik tertentu dan akan menciptakan kerusakan pada sistem politik di negara indonesia.
Sebagai negara besar, Indonesia harus mampu menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu, bahwa pada fakta sejarahnya, negara indonesia ada berkat perjuangan mengusir penjajah bukan merupakan kemerdekaan yang diberikan berupa hadiah.
Namun dalam era kebobrokan yang terjadi dalam bernegara saat ini, seluruh lapisan warga negara, mulai dari pejabat sampai rakyat perlu menyusun strategi baru yang bersifat saling mendukung dan berupa bentuk kerjasama antara satu sama lain.
Menjelang penggelaran Pilkada 2024 ini, para perangkat PEMILU yang mempunyai hak seperti KPU, PANWAS, PPS dan lain semacamnya, perlu merapatkan barisan kembali guna menyusun aturan-aturan yang betul-betul mampu menjaga ketertiban dan kelancaran Pilkada di setiap daerah.
Yang terpenting, membangun komunikasi secara baik mulai dari tingkat pusat hingga tingkat bawah, serta tetap berupaya dan mampu menuntaskan budaya-budaya politik yang kurang baik.
Penulis Saiful Bahri, Editor Danar Trivasya Fikri