Oleh: Wildan Nanda Rahmatullah – Alumnus Ilmu Sejarah Unair, Tim Penulis Buku Sejarah Kiai Dahlan di Jawa Timur
PWMU.CO – Beberapa hari lalu saya menemui sebuah postingan yang cukup menarik di Instagram. Dalam postingan tersebut terdapat caption, “Akhirnya setelah pindah server baru bisa minum di Starbucks lagi. Beruntung banget bisa logout dari server yang penganutnya toxic dan pindah ke server baru yang lebih damai”.
Di kalangan anak muda, ‘pindah server’ merujuk pada seseorang yang pindah agama. Dari caption postingan tersebut, bisa kita artikan bahwa orang tersebut sudah murtad atau keluar dari agama Islam. Hal ini karena umat Islam sedang melakukan boikot terhadap beberapa produk yang diduga mendukung Israel.
Namun, penulis tiba-tiba merenungi pada kalimat kedua, yakni, “Beruntung banget bisa logout dari server yang penganutnya toxic dan pindah ke server baru yang lebih damai”. Jika melihat kondisi sosial di masyarakat Indonesia saat ini, memang cukup membuat penulis tertegun.
Contoh saja kasus mahasiswa Katolik yang melakukan Doa Rosario di sebuah kos di Tangerang pada Mei lalu. Masyarakat setempat beserta Ketua RT membubarkan ibadah mereka begitu saja.
Tak lupa juga dengan kelompok minoritas dari agama lain yang sulit mendapatkan izin mendirikan bangunan untuk tempat ibadah mereka.
Maka penulis teringat dengan apa yang disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.
Mu’ti memandang bahwa muslim di Indonesia saat ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Ironisnya, umat Islam di Indonesia bukan hanya mengalami penurunan jumlah pemeluk, tetapi pemeluk yang ada sifatnya hanya status saja.
Bagi umat muslim di Indonesia, Islam hanya sebatas agama yang dicantumkan di KTP atau dicantumkan di sebuah kartu anggota dan tidak diimplementasikan serta dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Survei menyebutkan bahwa 60 persen umat Islam di Indonesia tidak bisa membaca al-Quran. Banyak mahasiswa muslim tidak bisa membaca al-Quran, apalagi menulis Bahasa Arab,” ujarnya.
Mu’ti memandang dengan khawatir, jika keadaan ini terus berlarut-larut, kerobohan agama Islam di Indonesia tinggal menunggu waktu. Sebab tidak ditanamkan dengan kuat akidah pada generasi penerus.
Contoh postingan di atas adalah bagaimana generasi muda yang merasa malu dengan kondisi umat Islam di Indonesia. Seakan menggambarkan, jika terus beragama Islam dia tidak akan mendapat kedamaian karena berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh umat Islam di Indonesia.
Padahal, Islam mestinya menjadi sebuah agama rahmatan lil alamin, rahmat dan kasih bagi semesta alam. Kasih sayang dan toleransi menjadi hal yang mestinya dipelajari oleh umat Islam Indonesia. Hal itu harus dibarengi dengan ajaran akidah yang baik dan kuat sehingga nantinya generasi muda bisa menjadi umat Islam yang memiliki pemikiran maju dan siap menghadapi arus zaman yang membingungkan.
Sudah sepatutnya kita melakukan refleksi diri. Apa yang salah dengan Islam di Indonesia. Seperti kata Abdul Mu’ti, bahwa banyak umat Islam di Indonesia belum bisa membaca al-Quran.
Tak heran jika masih banyak sikap intoleran, menindas agama lain atau bahkan dalam diri sendiri, masih melakukan apa yang Allah larang. Jika dasar keilmuannya saja, yakni al-Quran mereka tidak paham, bagaimana agama Islam di Indonesia akan berjalan sebagaimana mestinya?
Maka sudah menjadi tugas kita untuk mengajarkan al-Quran pada generasi penerus sejak usia dini. Jika tidak demikian, maka mungkin benar yang dikhawatirkan oleh Abdul Mu’ti, bahwa agama Islam di Indonesia tinggal menunggu waktu. (*)
Editor Ni’matul Faizah