Muhammadiyah dan Tambang, Foto: KHM
Albi Arangga – Pegiat Sosial
PWMU.CO – Tanpa perlu diberitahu, tanpa perlu dikampanyekan hingga tanpa perlu dipaksakan, toleransi beragama merupakan perihal yang telah menjadi nilai kehidupan bagi warga Muhammadiyah. Toleransi beragama merupakan bagian dari menjaga ukhuwah insaniyah, dan bagi warga Muhammadiyah sudah menjadi barang wajib hal tersebut untuk diamalkan. Maka dalam hal ini bagi saya sudah bukan levelnya lagi bagi warga Muhammadiyah berbicara mengenai toleransi beragama.
Namun bagaimana jika toleransi ini dikontekskan pada suatu hal tertentu, khususnya soal kebijakan yang dihasilkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Apalagi jika kebijakan Persyarikatan itu didasarkan atas realita yang memiliki sensitivitas sosial.
Salah satu kebijakan PP Muhammadiyah yang memiliki sensitivitas sosial yakni menerima tawaran dari pemerintah tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Bagi PP Muhammadiyah, tawaran menerima IUP memiliki kadar manfaat yang lebih banyak. Tujuan dari menerima IUP ini juga dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial untuk orang banyak. Lantas apa yang membuat hal ini menjadi sensitif bagi masyarakat?
Pengelolaan kekayaan alam di Indonesia sudah menjadi isu sensitif bagi masyarakat, khususnya soal pertambangan mineral dan batubara. Fakta mengatakan bahwa beberapa pengelolaan tambang di berbagai daerah ini dilakukan dengan tanpa melihat dampak ekologi dan masyarakat. Akibatnya tentu munculnya konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat yang hidup di sekitaran wilayah pertambangan.
Isu tambang ini menjadi panas saat disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Menurut WALHI, isi pasal-pasal dalam UU Minerba sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan mensejahterakan masyarakat luas.
WALHI menjelaskan beberapa poin kontroversial pada UU Minerba. Pertama, masyarakat tidak bisa lagi protes ke pemerintah daerah karena seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat. Padahal, berbagai lokasi pertambangan kebanyakan dilakukan di wilayah terpencil luar Jawa. Jelas sulit bagi masyarakat terdampak tambang untuk berkomikasi dengan pihak yang berwenang.
Kedua, produk hukum ini dianggap tidak belajar atas berbagai peristiwa sosial yang berkaitan dengan tambang. Masyarakat terdampak justru rawan dikriminalisasi apabila melakukan tindakan yang dinilai mengganggu aktifitas pertambangan. Masyarakat yang menolak juga berpotensi dijatuhi hukuman pidana hingga denda sebesar 100 juta rupiah.
Ketiga, perusahaan tambang yang terbukti melakukan pengrusakan lingkungan masih bisa beroperasi. Kekayaan alam yang menjadi pencaharian masyarakat, yang dirusak perusahaan untuk tambang, tampaknya tidak menjadi perosalan penting.
Isu tambang kembali hangat diperbincangkan saat pemerintah siap memberikan konsensi tambang untuk ormas keagaaman. Jelas saja bagi publik bahwa kebijakan pemerintah ini jauh dari rasionalitas. Perusahaan tambang profesionalsaja masih menimbulkan masalah sosial, apalagi untuk ormas yang patut dipertanyakan kapasitas dan kompetensinya untuk mengelola tambang.
Kebijakan pemerintah ini semacam menghadirkan politik etis/balas budi, persis pada masa pemerintahan Belanda terhadap rakyat pribumi. Hanya bedanya untuk kontek ini, diberikan ke ormas keagamaan. Lantas, apa yang membuat pemerintah perlu membalas kebaikan ormas keagamaan ini? Tentu kita sudah tahu jawaban diplomatisnya. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencoba pura-pura tidak tahu.
Menariknya, Muhammadiyah tidak langsung menerima tawaran pemerintah tersebut. Bagi Muhammadiyah hal itu perlu dikaji secara menyeluruh. Di sisi yang lain, memang Muhammadiyah pernah berperan aktif mengadvokasi masyarakat terdampak yang menolak aktivitas pertambangan di beberapa daerah. Hal inilah yang membuat publik yakin bahwa Muhammadiyah akan menolak secara tegas tawaran pemerintah tersebut.
Namun, ekspetasi publik terhadap sikap PP Muhammadiyah soal tawaran IUP nampaknya terlalu muluk dan utopis, mirip seperti berharap Timnas Indonesia juara Piala Dunia 2026. Dalam agenda Konsolidasi Nasional Muhammadiyah yang digelar di Yogyakarta, 27-28 Juli 2024, Muhammadiyah memutuskan menerima IUP Tambang dari Pemerintah. Prof. Haedar Nashir selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa sikap tersebut sudah didasarkan atas tinjauan akademik, rasional dan komprehensif serta mengedepanan kolektif kolegial.
Prof Haedar menambahkan bahwa keputusan ini mengakomodir perdebatan dialektis dari berbagai pihak yang pro maupun kontra. Tentu kita paham betul budaya PP Muhammadiyah dalam mengambil sikap dan kebijakan, termasuk dalam hal perdebatan IUP Tambang ini. Namun yang kita tidak tahu perdebatan seperti apa yang terjadi di dalam Konsolidasi Nasional tersebut. Jangan-jangan perdebatannya macam memperdebatkan bentuk bumi datar atau bulat. Repot juga kalau demikian, tapi bagi saya pribadi rasanya tidak mungkin, semoga.
Mau apapun alasan rasional dari PP Muhammadiyah yang menerima IUP tambang tidak lantas diterima begitu saja oleh publik, termasuk warga Muhammadiyah itu sendiri. Nalar kritis publik didasarkan atas fakta empiris soal pertambangan yang kerap merusak lingkungan hingga menimbulkan pergejolakan sosial. Belum lagi soal faktor politik yang bermain di dalamnya.
Mari Toleransi dan Percaya
Sebagai warga Muhammadiyah yang berusaha baik sesuai MKCHM dan PHIWM, saya mencoba percaya atas sikap dan keputusan PP Muhammadiyah dalam menerima IUP tambang ini. Yang perlu dipahami bahwa makna percaya ini levelnya sudah di atas toleransi. Langkah krusial yang diambil PP Muhammadiyah ini jugamengingatkan saya tentang hal fundamental gerakan Muhammadiyah itu sendiri.
Gerakan Muhammadiyah ini hadir karena adanya masalah. Banyaknya amal usaha yang dimiliki seperti sekolah, kampus, rumah sakit, hingga lazis, serta peran kader madani untuk masyarakat bawah yang struktur sosialnya rendah, merupkan tranformasi nyata Muhammadiyah dalam menjawab permasalahan sosial ini.
Dalam konteks menerima IUP tambang, saya percaya PP Muhammadiyah mengambil tawaran itu untuk hadir dan mengabdi pada bangsa sebagai realisasi gerakan pencerahan dalam menyelesaikan masalah ekologi di Indonesia. Masalah ekologi ini hampir seluruhnya merupakan ulah dari manusia. Maka oknum manusia-manusia tersebut perlu dicerahkan dan diberi hidayah oleh Muhammadiyah melalui pendirian amal usaha berwujud perusahaan tambang.
Saya sudah membayangkan jika perusahaan tambang milik Muhammadiyah berdiri dan beroperasi. Jajaran komisaris dan direksi merupakan para ahli yang kompeten, yang tidak perlu diragukan lagi kapasitasnya. Belum lagi lapangan kerja terbuka luas untuk ribuan umat. Serta yang paling penting dana CSR melimpah ruah untuk kemaslahatan umat. Saya pikir inilah yang dimaksud Prof Haedar soal keputusan PP Muhammadiyah menerima IUP tambang untuk umat seluruhnya.
Maka dari itu, saya mengajak publik dan warga Muhammadiyah untuk menoleransi sikap dan keputusan PP Muhammadiyah dalam menerima tawaran IUP tambang ini. Toleransi yang kita bangun tentu bukan berarti mematikan nalar kritis kita terhadap upaya Muhammadiyah dalam mengelola tambang. Kita perlu wait and see terhadap apa yang akan dilakukan oleh Muhmmadiyah dalam menyelesaikan permasalahan ekologi, khususnya demi menjaga lingkungan alam dan stabilitas sosial. Kita telah menyambut janji dari PP Muhammadiyah soal tambang ini, dan ketika amal usaha tambang ini telah berdiri, maka wajib bagi kita untuk menagih janji itu kepada PP Muhammadiyah.
Editor Teguh Imami