Oleh : Sony Bakhtiar SE SPd
PWMU.CO – Dunia Pendidikan di Indonesia saat ini masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak sedikit. Sebuah artikel yang dipublikasikan oleh sebuah portal media mainstream mengulas beberapa isu pendidikan yang menjadi catatan kritis hingga tahun 2024. Beberapa isu tersebut di antaranya terkait literasi, kekerasan di lingkungan pendidikan, kesejahteraan guru, peningkatan kompetensi guru, transisi ke dunia kerja hingga kualitas anggaran pendidikan.
Berdasarkan rilis resmi Kemendikbud menyatakan bahwa peringkat Indonesia pada PISA tahun 2022 masih berada di peringkat 72 dari 79 negara. Dalam hal kekerasan di lingkungan sekolah, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dalam rilisnya di bulan Juli 2024 menyatakan bahwa kasus kekerasan yang terjadi di SMP (40%), SD/MI (33%), dan SMA/SMK (masing-masing sebesar 13.33%) dimana 73.33 % di antaranya masuk kategori kasus kekerasan fisik. Adapun kekerasan seksual yang melibatkan tenaga pendidik sebagai pelaku sebanyak 20%, dan sisanya terkait kebijakan sekolah yang dikategorikan kekerasan.
Jika kita berbicara terkait kesejahteraan guru, masih banyak guru honorer yang menuntut peningkatan kesejahteraan melalui perubahan status menjadi guru PPPK dan kualitas guru yang tidak merata di mana data hasil UKG beberapa tahun terakhir menunjukkan sebanyak 81% guru Indonesia belum mencapai standar minimum yang disebabkan oleh kualifikasi akademik guru di daerah pinggiran yang masih banyak di bawah S1/D4, kurangnya pelatihan kompetensi guru, dan pengawasan sekaligus evaluasi kinerja guru yang masih lemah dan kurang transparan. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi standar kualitas pendidikan di Indonesia.
Kualitas pendidikan yang masih belum memenuhi harapan di atas dipengaruhi oleh rendahnya anggaran pendidikan yang tidak memenuhi standar minimal UNESCO yaitu sebesar 20% dari APBN di mana tidak hanya berdampak pada kesulitan meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru negeri dan swasta, melainkan pula kesulitan dalam memperbaiki gedung-gedung sekolah dan fasilitas penunjang lainnya sebagai pendukung layanan pendidikan.
Dari tahun ke tahun, persoalan belajar mengajar juga belum banyak menemukan solusi yang efektif guna memperbaiki mutu pendidikan. Kepala sekolah tidak sepenuhnya terampil dalam manajemen pengelolaan sekolah. Guru masih disibukkan dengan administrasi sekolah, malas berinovasi dalam pembelajaran, pelanggaran etika moral siswa hingga guru yang kurang peduli pada perkembangan mental dan psikologi, serta kesiapan belajar siswa.
Dengan kata lain, guru hanya fokus pada penyampaian materi di ranah kognitif siswa. Jika praktik seperti ini terus dilakukan, bakat anak yang beragam di bidang non akademik akan terkubur dan tidak dapat disalurkan dan diberdayakan secara optimal.
Pendidikan Holistik Muhammadiyah adalah Solusi
Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang sejarah berdirinya didasari atas keprihatinan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan tentu saja selalu berusaha untuk terus berjuang mewujudkan tujuan mulia organisasinya yaitu untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Amal-amal usaha di bidang pendidikan mulai level dasar dan menengah hingga perguruan tinggi didirikan dari kesadaran infaq dan sedekah jamaah dan simpatisan agar dapat menjadi ladang amal untuk membantu mewujudkan dakwah Muhammadiyah di masyarakat Indonesia dari ujung barat hingga timur Indonesia. Amal Usaha Pendidikan Muhammadiyah mengusung pendidikan inklusi bagi seluruh lapisan masyarakat dengan ragam latar belakang sosial, budaya, dan agama yang berbeda-beda.
Sebuah tagline menarik yang sedang disosialisasikan oleh Muhammadiyah adalah sekolah holistic sebagai bagian dari alternatif solusi permasalahan Pendidikan di Indonesia. Yuwono (2011) mengatakan bahwa pendidikan holistik adalah terkait pandangan manusia secara menyeluruh dari berbagai aspek baik kognitif, afektif hingga perilakunya.
KH. Ahmad Dahlan telah meletakkan Pendidikan holistik dan integratif ini melalui materi yang terkait dengan aqidah dan tauhid yang murni di mana saat ini diadaptasi dan dikembangkan dalam kurikulum Al Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab (Ismuba). Kurikulum Muhammadiyah tidak hanya fokus pada pengembangan fisik dan kognitif semata melainkan juga mencoba untuk membangun karakter yang tangguh dan adaptif namun tidak lupa untuk melembutkan jiwanya.
Demikian juga kapasitas profesional, komitmen, akhlak, dan wawasan keagamaan guru yang terus diupayakan untuk ditingkatkan melalui berbagai pelatihan agar dapat menjadi sosok pengajar dan pendidik yang diidamkan oleh masyarakat.
Beberapa sekolah Muhammadiyah unggulan Jawa Timur telah terbukti mampu menerjemahkan konsep sekolah holistik dan integratif ini dengan melengkapi sekolahnya dengan program yang mengasah sisi intelektualitas, teknologi, seni, dan agama seperti Smamda Surabaya dan Smamda Sidoarjo.
Ada pula SMAM 10 Surabaya sebagai sekolah inklusi dari beragam latar belakang sosial, budaya, dan agama yang juga mampu membuat konsep sekolah sesuai dengan fase tumbuh kembang remaja sehingga mampu mengeluarkan dan memaksimalkan segenap potensi dan keistimewaan setiap individu siswanya dengan sangat baik sehingga sering menjadi rujukan sekolah-sekolah dari berbagai daerah.
Sementara di daerah lain, ada juga yang mengusung sekolah multitalenta seperti SMA Muhammadiyah 3 Jember yang fokus pada optimalisasi minat bakat dan pendidikan soft skill yang dibutuhkan ketika nanti memasuki dunia kerja.
Beberapa sekolah ini hanyalah sebagian kecil contoh bagaimana Muhammadiyah berusaha menginspirasi sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi konsep dan praksis pengelolaan lembaga pendidikan yang saat ini sangat dibutuhkan bagi bangsa Indonesia. Muhammadiyah memang dilahirkan untuk selalu berkontribusi sekaligus mencerahkan kehidupan bangsa agar tercipta masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah