Muhammadiyah juga dapat menyelenggarakan talkshow atau kursus kepenulisan bagi kader-kadernya sehingga kelak melahirkan jurnalis-jurnalis unggul. (Muhammad Ilham Yahya/PWMU.CO).
Oleh Diah Wulandari
PWMU.CO – Barangkali ini menjadi salah satu kutipan yang cocok untuk memulai penulisan opini kali ini. Menulis dan keabadian merupakan dua hal yang sangat berbeda, tetapi jika dihubungkan keduanya akan melahiran korelasi yang kuat nan luar biasa.
Tepat beberapa minggu lalu, kita merayakan satu bulan yang istimewa, yaitu bulan Bahasa yang jatuh di bulan Oktober setiap tahunnya. Bulan Bahasa menjadi momentum yang seharusnya dikenang secara sadar oleh Masyarakat Indonesia.
Pasalnya, bahasa Indonesia telah menjadi salah satu pelopor kemerdekaan bangsa ini. Dengan kekuatan dan keyakinan, Bahasa menjadi pilar penting untuk menyatukan keragaman di negeri ini.
Berbahasa artinya kita menerapkan pola komunikasi secara lisan dan tulisan. Misalnya, chat di Whatapps merupakan salah satu bentuk berbahasa secara tertulis. Ada satu hal yang mungkin bisa direfleksikan dari ragam tulis, yaitu apakah kita sudah mampu menulis dengan baik dan benar?
Bekerja untuk Keabadian
Seperti halnya quotes dari bapak Pramoedya, Menulis artinya bekerja untuk keabadian. Tulisan akan meninggalkan jejak bagi pembaca, meskipun penulisnya sudah tidak ada (wafat).
Jadi jika Anda ingin abadi maka menulislah. Bukankah batu nisan juga terukir sebuah tulisan nama, tanggal wafat, dan lokasi liang lahat supaya sanak keluarga mudah ketika hendak berziarah ke makam almarhum/almarhumah. Lantas kenapa kita yang masih diberikan kesempatan hidup enggan menulis?
Untuk menjadi penulis yang baik, seseorang perlu memahami etika penulisan. Salah satu kesalahan yang kerap penulis lakukan adalah plagiarisme (Pencopetan Intelektual). Mills (2012) menyatakan Wits and sages, through the ages, have described plagiarism in many ways—not one of them flattering “Orang-orang yang cerdas dan bijak, sepanjang masa, telah menggambarkan plagiarisme dengan berbagai cara, tidak satu pun di antaranya menyanjung perbuatan tersebut”.
Plagiarisme merupakan tindakan menyalin karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Di era digital ini, informasi mudah diakses dan disalin, plagiarisme menjadi semakin sulit dihindari sehingga berpotensi merusak kualitas dunia kepenulisan dan kekaryaan.
Kualitas tulisan mencerminkan dedikasi yang dianut seseorang. Pendidikan yang sehat mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab intelektual, menghargai karya orang lain, dan mengutamakan orisinalitas dalam berkarya.
Sebagai salah satu Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, mengonsumsi tulisan telah menjadi makanan pokok bagi saya sehari-hari. Kesalahan ejaan, diksi, gaya selingkung, pun dengan kasus copypaste atau plagiarisme yang menjadi salah satu kejahatan besar di dunia kepenulisan.
Hukuman Pelaku Plagiarisme
UU nomor 20 tahun 2003 pasal 70 menyatakan, “Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapat gelar akademik, profesi, vokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
Kenapa penulis mudah sekali melakukan plagiarisme? Jawabannya malas membaca dan ingin yang instan-instan aja. Kasus plagiarisme kerap kali terjadi akibat oleh penggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dalam menulis sebuah karya.
Dosen Fakultas Hukum UGM, Dina W Kariodimedjo PhD, mengatakan hal menarik dalam acara webinar yang terselenggara oleh UGM Kampus Jakarta “bertajuk Penulisan Ilmiah Dalam Pusaran Teknologi Artificial Intelligence (AI)”.
Ia menuturkan, “Data dari chat GPT banyak mengcopy karya orang lain, aplikasi ini sebaiknya dilarang digunakan di universitas membawa dampak negatif dalam pembelajaran. Tidak seluruhnya jawabannya akurat” (ugm.ac.id, 2023). Berdasarkan data Kemenristek-Dikti, dalam 10 tahun terakhir jumlah kasus plagiasi karya ilmiah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti (Sukaesih, 2018).
Ditemukan 800 lebih kasus plagiarisme, tak hanya dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa yang memilih menjadi plagiator, tetapi dosen dan rektor pun ikut terlibat (Mayanti, 2016).
Dalam Upaya menjawab masalah plagiarisme, Muhammadiyah harus menunjukkan keteladanan dengan menekankan pentingnya orisinalitas dalam setiap karya tulis. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter yang luhur dan bertanggung jawab.
Pelopor Budaya Akademik Berintegritas
Muhammadiyah memiliki potensi untuk menjadi pelopor dalam menciptakan budaya akademik yang berintegritas, inovatif, dan berbasis pada prinsip-prinsip moral yang universal. Hal inilah yang menjadi harapan Kyai Ahmad Dahlan kala mendirikan Muhammadiyah sebagai langkah modernisasi dan mencerdaskan umat agar memiliki budi pekerti yang luhur sesuai ajaran al-Quran dan as-Sunnah.
Muhammadiyah, sebagai lembaga yang menganut prinsip kejujuran dan integritas, harus menjadi garda terdepan dalam memerangi plagiarisme, khususnya di ranah pendidikan. Muhammadiyah dapat memanfaatkan teknologi, seperti perangkat lunak deteksi plagiarisme untuk mengawasi dan memastikan bahwa para mahasiswa dan pengajar di lingkungannya menjalani praktik akademik yang jujur dan profesional.
Selain itu, Muhammadiyah juga dapat menyelenggarakan talkshow atau kursus kepenulisan bagi kader-kadernya sehingga kelak melahirkan jurnalis-jurnalis yang unggul dan berpacu pada kebenaran serta kejujuran. Upaya ini penting untuk menjaga kualitas dan kredibilitas dunia pendidikan di Indonesia.
Melalui tulisan ini, saya ucapkan terima kasih karena telah memberikan kesempatan bagi kader muda seperti saya untuk berkarya dan menyampaikan aspirasi melalui rangkaian kata. Saya harap tulisan ini dapat dibaca dan dimuat sebagai bahan rekomendasi untuk pencegahan plagiarisme di negeri ini, khususnya pada saudara-saudaraku kader Muhammadiyah Indonesia.
Apalah gunanya kita banyak membaca, jika tak menuangkannya dalam tulisan. Imam Syafi’i rahimahullah pernah bertutur: “Ilmu adalah buruan, dan tulisan adalah ikatannya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat”.
Mulailah menulis, demi pena dan apa yang dituliskannya atau demi keyboard dan apa yang dituliskannya. Tulislah dengan gaya Anda sendiri dan rasakan manfaatnya!
Rujukan
- Grehenson, G. (2023). Menulis Ilmiah Menggunakan Platform AI Berpotensi Kena Plagiarisme. Portal UGM. Diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/23557-menulis-ilmiah-menggunakan-platform-ai-berpotensi-kena-plagiarisme/
- Elizabeth Shown Mills, “QuickLesson 15: Plagiarisme—Lima “Salah Saja” Penulisan Sejarah,” Evidence Explained: Analisis Sejarah, Kutipan & Penggunaan Sumber ( https://www.evidenceexplained.com/content/quicklesson-15-plagiarism—five-copywrongs-historical-writing : [15 November 2024]).
- Mayanti, R. (2016). SAFETY CREATION : APLIKASI PENDETEKSI PLAGIASI OTOMATIS UNTUK MENEKAN KASUS PLAGIARISME DI INDONESIA. 1–23.
- Sukaesih, S. (2018). Permasalahan Plagiarisme Dalam Penelitian Kualitatif Di Indonesia. Jurnal Politikom Indonesiana, 3(1), 210–218. https://journal.unsika.ac.id/index.php/politikomindonesiana/article/view/1424
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Editor Danar Trivasya Fikri