PWMU.CO-Peristiwa pembakaran balai dan pilar bakal Masjid Taqwa di Desa Sangso, Kec. Samalanga, Kab. Bireuen, Aceh, menggambarkan susahnya mendirikan masjid Muhammadiyah di Bumi Serambi Mekkah. Meskipun urusan perizinan beres, tidak cukup kuat menghentikan sikap penolakan dari tokoh-tokoh agama yang menyebut diri berpaham Aswaja.
Hingga saat ini di Kabupaten Bireuen hanya satu masjid Muhammadiyah berdiri yaitu Masjid Taqwa di Kota Bireuen. Rencananya hendak membangun tiga masjid lagi yang semuanya diberi nama Masjid Taqwa oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) di Kecamatan Samalanga, Juli, dan Peusangan.
Tiga masjid itu semuanya gagal memulai pembangunan. Hambatan paling keras terjadi di Samalanga sampai ada pembakaran Selasa (17/10/2017) malam. Meskipun yang dibakar masih berupa balai dan pilar bakal masjid, peristiwa itu menunjukkan betapa tertutupnya tokoh agama setempat dengan kelompok Islam lain yang berbeda fiqih.
Berita terkait: Siang Masjid Taqwa Muhammadiyah Samalanga Aceh Dibangun, Malam Dibakar Orang
Sebenarnya di Samalanga, yang dikenal sebagai Kota Santri, keterlibatan kader Muhammadiyah dalam aktivitas dakwah cukup besar. Ketua PCM Samalanga, Tengku Yahya, menceritakan, setiap pekan dia mengisi pengajian di meunasah (mushola) Desa Sangso dan di rumahnya yang diikuti warga setempat. Bahkan dia juga mengisi pengajian rutin di desa lain seperti Pante Rheng sepekan sekali.
”Sudah 30 tahun mengajar ngaji berjalan lancar-lancar saja tidak ada konflik. Untuk kajian fiqih saya mengajarkan sesuai Al Quran dan Sunah Nabi dan tidak pernah mengatakan bid’ah,” ujarnya.
Imam Desa yang memimpin shalat berjamaah di meunasah bernama Tengku Abdurrahman Insa juga kader Muhamamadiyah. ”Bahkan Ketua PCM yang lama almarhum Tengku H Imam Ma’un diangkat sebagai imam Masjid Besar Samalanga dan menjadi khotib Jumat,” tutur Tengku Yahya.
Di Samalanga, sambung dia, juga berdiri TK Bustanul Athfal Aisyiyah. Jumlah muridnya seratusan anak. Itu menunjukkan masyarakat tidak alergi dengan Muhammadiyah. Bahkan Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesra yang besar di wilayah ini pernah dibina tokoh Muhammadiyah yaitu kakek dari Tengku Hasanoel Basry yang sekarang memimpin pesantren itu.
Bentuk dakwah pengajian dan pendidikan rupanya masih diterima oleh tokoh agama setempat tapi ketika mendirikan masjid Muhammadiyah barulah mereka bersuara keras menentang. Tuduhan resmi seperti tertulis dalam surat penolakannya sebagai masjid tandingan yang memecah belah umat. Di balik itu, mereka mencap Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi.
Tengku Yahya menjelaskan rencana pembangunan masjid didukung banyak warga terbukti terkumpul infak sejumlah Rp 700 juta. Dari uang itu dipakai membeli tanah seluas 2.513 meter persegi seharga Rp 631 juta dimulai 2015 dan pembayaran tuntas Ramadhan 2016. Setelah itu warga bergotong royong menguruk lahan, membangun tanggul, jalan masuk, pendirian balai, dan pengecoran pilar.
Rencana memulai pembangunan tersendat karena Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dihambat. Proses sertifikasi tanah wakaf diatasnamakan Persyarikatan Muhammadiyah juga dipersulit karena Keuchik Desa Sangso tak mau tanda tangan akta wakaf. ”Akhirnya sertifikat diubah menjadi tanah hibah yang aktanya dibuat notaris dan Alhamdulillah sertifikat sudah keluar,” ujar Tengku Yahya yang juga Ketua Panitia Pembangunan.
Pengajuan IMB tahun 2016 terganjal karena Keuchik Desa dan pimpinan Dayah MUDI Mesra menolak meskipun semua syarat terpenuhi. Inti alasannya, lokasi Masjid Taqwa di Gampong Sangso berdekatan dengan Masjid Besar Samalanga di Keude Aceh. Jaraknya sekitar 1 km.
Alasan lainnya, tokoh masyarakat dan agama ini menginginkan warga shalat Jumat di Masjid Besar dan menolak tata cara shalat Jumat di luar paham Aswaja. Padahal di kecamatan ini sudah ada dua masjid lain yang pembangunannya diizinkan sebab tata caranya sama dengan Masjid Besar.
Nasib perizinan Masjid Taqwa ini sama sulitnya seperti dialami warga Muhammadiyah mendirikan masjid di Kecamatan Juli. Penolakan juga keras sampai terjadi pelemparan batu kepada jamaah shalat di meunasah setempat pada 5 Juli 2016. Ada jamaah yang berdarah-darah.
Kejadian itu diekspos media hingga menjadi berita nasional. Kemudian terkuaklah bahwa warga Muhammadiyah dihambat izinnya mendirikan masjid yang berlokasi dekat meunasah. Momentum itu bergulir hingga keluar Qanun Aceh No. 4/2016 tanggal 28 Juli 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah.
Qanun itu menghapus syarat rekomendasi dari beberapa lembaga untuk mengajukan IMB masjid. Lembaga itu seperti keuchik desa, camat, FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama), dan Kantor Kemenag. Aturan rekomendasi diberlakukan untuk tempat ibadah selain masjid.
Momentum itu dipakai Panitia Pembangunan Masjid di Juli dan Samalanga mengajukan IMB lagi. Pada Desember 2016, IMB Masjid Taqwa Juli keluar. Warga Muhammadiyah Samalanga harus bersabar lagi karena IMB terhambat. Setelah diurus, enam bulan kemudian tanggal 13 Juni 2017 IMB keluar.
Ternyata IMB itu tidak menjamin pembangunan berjalan lancar. Penolakan kian keras dengan pemasangan spanduk, selebaran, coretan di dinding meunasah, dan demonstrasi. Masjid Taqwa di Juli belum dapat dimulai pembangunan hingga kini.
Di Samalanga, Panitia Pembangunan merencanakan acara peletakan batu pertama oleh Prof Dr Din Syamsuddin MA menjelang Idul Adha, 9 Dzulhijjah 1438 H bertepatan 31 Agustus 2017. Prasasti sudah siapkan. Namun suasana menjadi panas karena tersebar provokasi ajakan demonstrasi. Polisi menganjurkan acara peletakan batu pertama ditunda dan tanda tangan prasasti dilakukan di Masjid Taqwa Kota Bireuen, tempat Prof Din khutbah Id.
Kini prasasti peletakan batu pertama dengan tanda tangan Prof Din Syamsuddin disimpan Ketua PCM, Tengku Yahya. Entah kapan dipasang di dinding Masjid Muhammadiyah Samalanga. Harapan itu tiada pupus meskipun baru mendirikan balai dan pilar masjid saja sudah dihancurkan dan dibakar oleh orang yang selama ini menyerukan toleransi dan perlindungan kepada minoritas. (sgp)