Oleh : Imam Yudhianto SH SE SPd MM (Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Magetan)
PWMU.CO – Pesta demokrasi telah usai. Layar panggung politik diturunkan, tetapi gemuruh emosi yang tercipta masih bergema di hati masyarakat. Sang pemenang merayakan euforia kemenangan, sementara yang kalah terjebak dalam pusaran frustrasi dan pengkhianatan.
Namun, di balik angka-angka statistik yang dingin, ada luka sosial yang menganga, harmoni yang terkoyak, dan dendam politik yang mengkristal menjadi bara perlawanan. Demokrasi yang sejatinya diharapkan menjadi alat pemersatu, kini meninggalkan retakan mendalam yang mengancam kohesi bangsa. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita merajut kembali harmoni ini? Apa tanggung jawab negara, dan bagaimana peran kita sebagai rakyat untuk menyelamatkan tatanan sosial yang mulai rapuh?
Demokrasi sering dipromosikan sebagai mekanisme untuk menyalurkan kehendak rakyat, tetapi dalam praktiknya ia sering berubah menjadi arena polarisasi. Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, atau saling membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (HR. Muslim).
Dalam konteks politik modern, hadits ini menjadi pengingat bahwa perbedaan pilihan tidak boleh menjadi alasan untuk menciptakan jurang permusuhan. Namun realitasnya, demokrasi elektoral kerap meninggalkan residu konflik yang sulit diredam. Tim sukses yang semula menjadi penggerak aspirasi, berubah menjadi aktor yang memprovokasi permusuhan, menciptakan narasi konspirasi, dan mengukuhkan garis demarkasi sosial.
Negara memiliki tanggung jawab besar untuk memitigasi dampak destruktif ini. Dalam teori kontrak sosial, pemerintah adalah penjaga harmoni masyarakat, memastikan bahwa institusi-institusi politik tidak menjadi alat penindasan bagi kelompok tertentu. Namun, sering kali yang terjadi justru sebaliknya.
Para pemimpin yang terpilih menggunakan legitimasi demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan, memperkuat oligarki, dan mengabaikan aspirasi rakyat kecil. Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menegaskan bahwa pemimpin adalah penjaga rakyat, bukan penguasa atas mereka. “Kepemimpinan adalah amanah, dan amanah adalah pertanggungjawaban yang berat di hadapan Allah.”
Dalam situasi di mana dendam politik telah mengakar, rekonsiliasi menjadi langkah mendesak. Namun, rekonsiliasi bukan sekadar seremoni atau jargon politik; ia membutuhkan keberanian untuk mengakui kesalahan, memperbaiki ketidakadilan, dan menciptakan ruang dialog yang inklusif. Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, menyatakan bahwa stabilitas sosial hanya dapat tercapai jika keadilan ditegakkan.
Ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, mereka akan mencari cara untuk melawan, baik secara terang-terangan maupun dalam diam. Oleh karena itu, tugas negara adalah menciptakan mekanisme yang memastikan setiap individu merasa dihargai, didengar, dan diperlakukan setara.
Teknologi juga harus dimanfaatkan untuk mengatasi konflik ini. Media sosial, yang selama ini menjadi arena penyebaran hoaks dan kebencian, harus direformasi menjadi platform edukasi dan rekonsiliasi. Algoritma yang selama ini memperkuat polarisasi harus diubah menjadi instrumen yang mendorong dialog. Dengan kecerdasan buatan, misalnya, pemerintah dapat memantau percakapan publik dan mengidentifikasi potensi konflik sebelum menjadi krisis. Namun, langkah ini harus diimbangi dengan transparansi dan pengawasan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Bagi masyarakat, tanggung jawab kita tidak kalah penting. Kita harus keluar dari jebakan fanatisme politik yang membutakan, menyadari bahwa perbedaan adalah keniscayaan, dan kembali pada prinsip ukhuwah Islamiyah. Rasulullah Saw bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak akan menzaliminya dan tidak pula menyerahkannya kepada musuh” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks demokrasi, ini berarti kita harus menahan diri dari menyebarkan kebencian, memfitnah, atau memboikot saudara kita hanya karena perbedaan pilihan politik.
Rekonsiliasi juga membutuhkan ruang keadilan transformatif, di mana setiap pihak dapat mengungkapkan aspirasi dan keluhannya tanpa takut direpresi. Proses ini memerlukan pemimpin yang tidak hanya pandai beretorika, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk memimpin dengan hati. Al-Mawardi, dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi simbol persatuan, bukan sumber perpecahan. “Kepemimpinan adalah tonggak stabilitas, dan stabilitas hanya dapat diraih dengan keadilan.”
Akhirnya, pesta demokrasi bukanlah akhir dari segalanya. Ia hanyalah bagian dari perjalanan panjang bangsa menuju kematangan politik dan sosial. Kita harus belajar dari pengalaman ini, memperbaiki sistem yang ada, dan membangun budaya politik yang lebih sehat.
Demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang tidak hanya menghormati suara mayoritas, tetapi juga melindungi hak-hak minoritas. Dalam kerangka ini, rekonsiliasi bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik, bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk merajut kembali harmoni yang terkoyak, dengan penuh keikhlasan dan keteguhan iman. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah