Penulis Silviyana Anggraeni – Aliansi Penulis Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Perjalanan politik Indonesia menjadi negara dengan sistem demokrasi melalui proses yang panjang. Mohammad Hatta Wakil Presiden Indonesia pertamalah pencetusnya. Sejarah demokrasi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang telah mengalami perubahan system sebanyak 4 kali.
Pertama, sistem Demokrasi Parlementer. Demokraasi Parlementer terjadi pada 1945 hingga 1959. Kedua, sistem Demokrasi Terpimpin pada 1959 hingga 1965. Dua model demokrasi ini terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno.
Ketiga, sistem Demokrasi Pancasila yang digunakan pada 1966 hingga 1998. Terjadi pada masa Kepemimpinan Presiden Soeharto. Dan keempat, sistem demokrasi pada era reformasi yang diterapkan sejak 1998 hingga sekarang.
Melalui demokrasi di era reformasi, pada 2004 Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara langsung atau terbuka. Pada era itu Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden Indonesia.
Pemilu langsung memiliki kelebihan dan kekurangan, namun seiring waktu pemilu langsung dinilai lebih banyak kekurangannya dibanding dengan kelebihannya. Membutuhkan biaya yang relatif sangat besar, sehingga menjadi beban negara sebagai penyelenggara. Juga biaya kampanye dan lobi politik bagi kontestan pemilu. Selain itu, potensi konflik antar kandidat dan pendukungnya juga lebih besar. Imbasnya, menyebabkan ketergantungan yang tinggi pada oligarki atau pemodal. Efeknya, kandidat yang terpilih tidak leluasa dalam kepemimpinannya.
Lebih lanjut, terjadinya politik transaksional (money politics) yang membuat kandidat terpilih tidak berasal dari orang-orang yang pantas menjadi. Terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan tingginya angka golput pada pemilihan yang meengakibatkan dari ketidakpedulian (apatisme) atau ketidakpercayaan (skeptisme) dari masyarakat.
Dari banyak kekurangan pemilu langsung tersebut tentu isu paling fenomenal dalam setiap pemilihan adalah soal money politik. Menurut pengertiannya, money politics adalah skandal pelanggaran pemilu. Sehingga seluruh tahapan pemilu dapat dibeli, diubah, dipengaruhi dengan adanya transaksi uang, termasuk pembelian suara (vote buying). Dalam Islam money politik masuk kategori suap (risywah). Pengertian risywah sendiri adalah penggunaan uang atau harta untuk mendapatkan keuntungan secara tidak layak. Si pemberi suap disebut rasyi, si penerima suap disebut murtasyi, dan si penghubung disebut ra’isy.
Larangan suap menyuap
Islam mengutuk keras bagi “penerima, pemberi, penghubung” dalam transaksi politik uang. QS al-Baqarah ayat 188 menegaskan, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Larangan suap menyuap juga terdapat dalam Hadist Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud yang bunyinya “Abdullah bin Amr berkata bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap.”
Pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH, SM, hukum yang mengatur larangan praktik suap juga ada dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal 278 ayat (2), pasal 280 ayat (1) huruf J, pasal 284, pasal 286 ayat (1), pasal 515, pasal 523. Juga dalam UU nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada pasal 73 dan pasal 187 A.
Masalahnya, beberapa dekade terakhir ini praktik politik uang atau money politics — yang merupakan bentuk lain dari suap menyuap — cukup massif. Terlebih lagi saat pemilu atau pun pilkada. Sehingga kualitas dari kepemimpinan yang terpilih menjadi cukup meragukan. Karena memperoleh kemenangan politik yang cenderung dipengaruhi oleh seberapa banyak uang yang dikeluarkan untuk membeli suara. Pemilih cenderung menggunakan haknya dengan menutup mata, tidak peduli sejauhmana kemampuannya saat menjadi pemimpin.
Karena uang pula, partai politik pun mengabaikan aspek pengkaderannya. Parpol cenderung tidak memprioritaskan kader terbaiknya untuk mengikuti kontestasi. Tetapi lebih mengutamakan pihak oligarki sebagai pemodal
Dampak terburuknya, praktik korupsi kian marak. Jika era Soeharto korupsi cenderung pelaknya kelompok kecil, kini korupsi sudah menguasai semua sendi kehidupan dalam negara. Mulai dari level terbawah (desa) hingga level atas (pusat). Mereka yang sebelumnya mendapatkan kekuasaan dengan mengeluarkan modal besar, kini berlomba untuk mengembalikan melalui jalur kejahatan korupsi. Karena tentunya gaji yang didapatkan secara normal tidak cukup menutup modal yang sudah dikeluarkan.
Berharap pada JipolMu
Dalam kondisi yang seperti ini, perlu kiranya kita mencari solusi yang tidak biasa (out of the box). Saya merasakan Muhammadiyah sebagai ormas Islam besar pasti memiliki potensi untuk melawan budaya koruptif tersebut. Dengan jumlah massa yang besar, struktur organisasi yang mapan, AD/ART dan kekuatan hukum, rasanya pantaslah Muhammadiyah melakukan langkah-langkah strategis untuk turut andil dalam mengisi ruang-ruang publik.
Jihad Politik Muhammadiyah (JipolMu) yang beberapa kali menjelang pemilu/pilkada cukup digaungkan haruslah lebih mengambil peran pada bidang politik. Diaspora kader politik Muhammadiyah merupakan peluang yang sangat positif. JilpolMu menggaung tidak hanya untuk kepentingan politik praktis bagi kader-kadernya, tetapi untuk mengontrol system politik secara komprehensif. Sehingga terwujud bangunan politik yang bersih dan berkualitas. Berikutnya, lahirlah pemimpin-pemimpin yang bersih dan berkualitas pula.
Saat ini JipolMu memang belum sepenuhnya efektif dalam mencegah massifnya politik uang — termasuk di daerah-daerah basis Muhammadiyah —, tetapi harapan ke depan masih terbuka lebar. Dengan komitmen untuk mengawal proses demokrasi yang bersih dari praktik-praktir kotor, dalam jangka panjang dapat diharapkan terbentuk paradigma warga persyarikatan untuk mewujudkan pemimpin yang mumpuni dan berkualitas. Yakinlah, menyelsaikan masalah tidak semua harus dengan uang.
Editor Notonegoro