Oleh: Siska Aryani
PWMU.CO – Dalam salah satu episode di akun YouTube Denny Sumargo, Ustadz Felix Siauw menyampaikan bahwa saat ini terdapat banyak kasus penistaan agama. Ia menegaskan bahwa agama Islam tidak seharusnya dikenal sebagai agama yang selalu dikaitkan dengan kasus-kasus penistaan agama tanpa memperhatikan niat (intensi) dan kesadaran (konsen) pelaku.
Menurut Ketua MUI Bidang Fatwa, seperti dilansir dari Hidayatullah.com, tindakan penistaan agama meliputi penghinaan, penghujatan, pelecehan, atau perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan, simbol, maupun syiar agama yang dianggap suci. Hukumnya adalah haram.
Kasus-kasus penistaan agama sering menjadi perhatian publik, khususnya jika melibatkan figur politik atau selebritas. Salah satu kasus yang sedang ramai dibahas adalah mengenai Isa Zega, seorang selebgram transgender bernama asli Syahrul, yang menunaikan ibadah umrah dengan mengenakan pakaian perempuan berhijab. Kasus lainnya terjadi di STT Nias di Medan. Dilansir dari Waspada.id, penistaan terjadi ketika pihak STT Nias memberikan penafsiran surat Al-Fatihah tanpa dasar ilmu pengetahuan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa penistaan agama tidak selalu berupa hinaan verbal, tetapi juga tindakan pelecehan yang mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ada pula kasus dari kalangan selebritas yang berawal dari candaan namun memicu kontroversi. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghimbau para pelawak dan masyarakat umum untuk tidak menjadikan agama sebagai bahan candaan. Seruan ini merujuk pada QS al-Maidah ayat 57:
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpin orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.”
Kebebasan Berekspresi dan Penistaan Agama
Isu kebebasan berekspresi sering kali muncul dalam diskusi tentang penistaan agama. Dilansir dari situs FH-UI, negara seperti Swedia telah menghapus aturan tentang penodaan agama pada tahun 1949 dan mempersempit delik tersebut pada 1970. Denmark juga mencabut aturan serupa pada 2017 dengan alasan bahwa kebebasan berekspresi tidak perlu dibatasi oleh undang-undang terkait agama tertentu.
Namun, berbeda dengan Indonesia, yang tetap menerapkan UU Nomor 1 Tahun 2023 terkait delik penodaan agama (Pasal 300-305). Dalam aturan ini, pelaku penistaan agama dapat dijatuhi hukuman hingga lima tahun penjara. Aturan ini bertujuan untuk melindungi simbol-simbol agama dan mencegah penghinaan terhadap kitab suci atau praktik keagamaan atas nama kebebasan berekspresi.
Dilansir dari Almanhaj.com, pelaku penistaan agama Islam, baik melalui perkataan maupun perbuatan, sungguh-sungguh maupun sekadar bersenda gurau, dapat membatalkan keislamannya. Hal ini merujuk pada hadis:
“Sungguh seorang berbicara satu kalimat yang ia pandang biasa saja, membuatnya masuk ke neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Hibban dan Shahih Ibnu Majah no. 3970)
Sikap dalam Menyikapi Penistaan Agama
Kasus-kasus penistaan agama membutuhkan kehati-hatian dalam menyikapinya. Pembatasan kebebasan berekspresi tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan harus menjunjung tinggi ketertiban, toleransi, dan penghormatan antarumat beragama. Jika seseorang terlanjur melakukan tindakan yang dianggap penistaan, ia dianjurkan untuk segera bertaubat.
Sebagaimana firman Allah dalam QS al-An’am ayat 10:
“Sungguh, beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) telah diperolok-olok sehingga turunlah azab kepada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai balasan olok-olokan mereka.”
Dengan demikian, penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan, agar tercipta harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah