Oleh Suryawan Ekananta – alumni UMM & mantan aktivis IMM Malang, tinggal di Jakarta
PWMU.CO – Sekitar tahun 1988 saya bincang-bincang dengan seorang ‘guru’ yang senantiasa saya hormati. Suatu ketika guru tersebut mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam ruang kerjanya, tentunya setelah saya meminta ijin untuk bertemu dan tidak mengganggu kesibukannya. Tujuannya satu, bincang-bincang yang gayeng dan santai. Alhamdulillah, tujuan itu pun terkabulkan.
Saya mungkin salah satu mahasiswa yang sangat beruntung karena memiliki keberanian untuk masuk ke ruang beliau.
Guru itu adalah Bapak Muhadjir Effendy, dan ruangan itu adalah ruang kerja beliau sebagai Pembantu Rektor III Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di era kepemimpinan Rektor Abdul Malik Fadjar. Tepatnya di Kampus I UMM Jalan Bandung, Malang. Pembantu Rektor III merupakan wakil rektor yang membidangi kemahasiswaan.
Keberuntungan kedua saya adalah dapat menangkap pikiran-pikiran hebat beliau. Kala itu, beliau masih tergolong intelektual muda di Muhammadiyah. Kita tak bisa memungkiri, selain penampilannya yang enerjik, gagasan juga sangat kaya. Dari kemauan inovatifnya yang tinggi dan penuh semangat, UMM tumbuh dan kembang sangat maju. Era itu beliau sudah berpikiran agar kader-kader muda Muhamadiyah tidak menjadi generasi kerdil yang hanya berani teriak-teriak di kandang sendiri. Kader Muhammadiyah harus ada dimana-mana dan juga harus bisa pergi kemana mana.
***
Saat mendengarkan pidato Presiden Prabowo Subianto di arena Tanwir dan Milad Muhammadiyah ke-112 di Kupang (4-6 Desember 2024) yang mengatakan bahwa “kader-kader Muhammadiyah ada di kiri ada di Tengah dan ada di kanan”, mengingatkan kembali kenangan bersama Pak Muhadjir saat berdiskusi malam itu. Lontaran Presiden itu seolah menjadi pembenar bahwa gagasan Pak Muhadjir bahwa kader Muhammadiyah harus bisa di mana-mana dan bisa kemana-mana tidak berlebihan, atau bisa diwujudkan.
Kala itu, Pak Muhadjir memiliki pemikiran bahwa Muhammadiyah akan menjadi besar jika Muhammadiyah hadir langsung dalam merawat keindonesiaan yang penuh keragaman ini. Bukankah era 80an itu Dr Nurcholish Madjid juga nenyerukan tentang pentingnya toleransi egalitarian dan keterbukaan, sebagaimana juga pernah tergagas di awal Muhammadiyah berdiri? Meskipun dalan perjalannya terjadi pasang surut, kini Muhammadiyah hadir dalam semangat yang tetap tinggi.
Fenomena baru yang di sampaikan Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti — yang juga Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) — adalah Krismuha sebagai hal yang patut di syukuri. Kini Muhammadiyah tak sekedar berdampingan dengan yang berbeda, tapi Muhammadiyah — dalam konteks sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan — telah berbaur dengan segenap komponen bangsa.