Dalam pandangan Roscoe Pound, seorang pelopor Sociological Jurisprudence, hukum tidak hanya harus berfungsi sebagai norma, tetapi juga sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).
Oleh karena itu, revitalisasi musyawarah harus diiringi dengan reformasi kelembagaan yang memastikan integritas anggota DPRD sebagai representasi rakyat.
Para ulama pun memberikan pandangan yang relevan terhadap wacana ini. Al-Mawardi, seorang ahli tata negara dalam tradisi Islam, dalam karyanya Al-Ahkam al-Sultaniyyah, menekankan pentingnya prinsip syura (musyawarah) dalam pengambilan keputusan politik.
Prinsip ini mengajarkan bahwa kepemimpinan harus dihasilkan melalui kebijaksanaan kolektif, bukan dominasi suara mayoritas semata.
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, juga mengingatkan bahwa demokrasi harus didasarkan pada nilai-nilai moral dan kemaslahatan umat. Dalam konteks ini, musyawarah sebenarnya lebih dekat dengan semangat moralitas publik yang diidealkan oleh para ulama.
Namun, di era modern, tantangan terbesar dalam mengimplementasikan model musyawarah adalah memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Dalam perspektif hukum tata negara, musyawarah harus dipahami bukan sebagai mekanisme elitis yang eksklusif, tetapi sebagai instrumen deliberasi kolektif yang partisipatif.
John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan, menekankan bahwa proses pengambilan keputusan harus inklusif dan transparan untuk menciptakan legitimasi.
Oleh karena itu, reformasi musyawarah di DPRD harus mencakup mekanisme akuntabilitas yang jelas, termasuk keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan.
Sejarah politik Indonesia memberikan pelajaran penting tentang risiko penyimpangan dari nilai-nilai dasar Pancasila. Sistem demokrasi liberal yang diterapkan sejak reformasi telah menciptakan ironi: di satu sisi, rakyat memiliki hak pilih yang lebih besar, tetapi di sisi lain, mereka kehilangan substansi kedaulatan akibat dominasi oligarki.
Pilkada langsung telah menjadi instrumen yang lebih menguntungkan elite daripada rakyat. Sementara itu, sistem musyawarah sering kali disalahgunakan oleh aktor-aktor politik yang mengejar kepentingan pribadi.
Dalam kondisi ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada dilema: memilih sistem demokrasi yang lebih adil dan beradab, atau tetap terjebak dalam pola lama yang sarat dengan korupsi.
Dalam konteks wacana Presiden Prabowo, penting untuk menekankan bahwa perubahan sistem Pilkada harus dimaknai sebagai langkah untuk mengembalikan demokrasi ke akarnya yang sejati.
Sistem musyawarah tidak boleh diromantisasi sebagai solusi instan, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari upaya panjang untuk mereformasi sistem politik.
Benjamin Barber, dalam bukunya Strong Democracy, mengingatkan bahwa demokrasi sejati hanya dapat terwujud jika rakyat tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga peserta aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, musyawarah di DPRD harus dirancang sebagai mekanisme deliberasi yang membuka ruang partisipasi rakyat secara luas.
Sebagai penutup, wacana ini harus menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 asli.
Pemilihan langsung maupun musyawarah memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Namun, inti dari demokrasi Pancasila adalah menciptakan sistem yang berkeadilan, bermartabat, dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof Haedar Nashir, demokrasi adalah alat, bukan tujuan. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana sistem tersebut dapat membawa kita menuju cita-cita kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, tugas kita adalah memastikan bahwa wacana ini tidak hanya menjadi retorika politik, tetapi diwujudkan dalam kebijakan yang nyata dan berkelanjutan. (*)
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan