
PWMU.CO – Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM) menjadi kampus Muhammadiyah pertama di luar negeri. Resmi berdiri sejak 2021 lalu, perguruan tinggi yang terletak di Perlis, Malaysia ini terus berkembang. Mulai Tahun 2024, UMAM menerima mahasiswa untuk program doktor dari Indonesia dan Malaysia, dan kini mahasiswanya berjumlah 58 orang.
Pada laman umam.edu.my tercantum beberapa keunggulan universitas ini. Fokus utamanya adalah penerapan nilai-nilai Islam pada perkembangan ilmu pengetahuan dengan pendidikan berkualitas tinggi. Selain itu, kampus ini memiliki dosen-dosen yang telah menempuh PhD di bidang ilmu sosial, keagamaan, dan teknologi informasi.
“Kelahiran Universiti Muhammadiyah Malaysia merupakan wujud dari program internasionalisasi Muhammadiyah yang diamanatkan oleh muktamar Muhammadiyah dalam wujud membangun center of excellent di luar negeri,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir pada 2021 silam.
Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) pada tanggal 10 hingga 14 Desember mengunjungi UMAM di Perlis, Malaysia, dan Muhammadiyah Islamic College (MIC), di Singapore. Kunjungan itu dimaksudkan sebagai studi banding BPH. BPH UM Surabaya ingin mempelajari proses internasionalisasi di UMAM dan mencoba mencari formula kerja sama antara UM Surabaya dan UMAM dalam rangka internasionalisasi pendidikan.
Semua anggota BPH UM Surabaya ikut dalam studi banding itu. Rombongan BPH dipimpin oleh Dr Sulthon Amien, dengan anggotanya Prof Dr Zainudin Maliki, Dr Syamsudin, MA, Dra Siti Dalilah Candrawati MAg, Indra Nur Fauzi SE MM MA, Muhammad Budi Pahlawan SH, dan Aribowo.
UMAM Berpotensi Menjadi Universitas Riset
Berbagai pendapat anggota BPH UM Surabaya setelah mengunjungi UMAM. Kampus UMAM memang terkesan sederhana, namun sebagai standar kampus internasional sudah cukup. Baik dilihat dari Sumber Daya Manusia yang bergelar doktor, professor, hingga administrasinya yang semuanya dari orang Perlis.
Menurut Dr Sulthon Amien UMAM memang memerlukan waktu untuk memperkuat manajemen akademik, meningkatkan kualitas akademik dan riset, dan jaringan kerja sama agar kelak menjadi tumpuan internasional bagi warga Muhammadiyah.
Sulthon menambahkan, UMAM memang perlu waktu untuk menata semua itu. Karenanya, perlu kerja sama intensif dengan berbagai PTMA di Indonesia.
Sementara itu menurut Prof Dr Zainudin Maliki, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2019-2024, UMAM perlu memperkuat sebagai universitas riset.
“Dengan konsentrasi program S3 yang diselenggarakan berpotensi menjadi universitas riset. Dosen dengan para guru besarnya bisa membimbing ke arah riset-riset strategis di 5 prodi PhD nya Teknologi Informasi, Ilmu Sosial, Bisnis dan Manajemen. Pendidikan dan Studi Islam,” urai Guru Besar dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo itu.
“UMAM tidak mungkin berdiri sendiri, meskipun ditopang oleh PP Muhammadiyah. Perlu kerja sama. Bahkan kerja sama itu bisa memperkuat UMAM sebagai universitas riset,” kata Maliki.
“Dukungan Kerajaan Perlis melalui Raja Perlis DYTM Tuanku Syed Faizuddin Putra, juga dari Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis bisa dimanfaatkan untuk menjadikan universitas riset, katanya.
Indra Nur Fauzi selaras dengan pendapat Maliki. UMAM harus memperkuat jaringan kerja sama dengan semua stake holder Pendidikan, industry, dan Pemerintah Daerah. Termasuk Pemerintah Malaysia.
“Perlu perencanaan dan operasioanl yang kuat untuk merealisasi kerja sama itu. UMAM harus mandiri dan kuat sehingga recognisi internasionalnya bisa cepat,” urai Indra.
Riset UMAM Tidak Boleh Berhenti di Scopus
Maliki mewanti-wanti agar riset UMAM yang bagus di jurnal scopus itu harus menjadi karya nyata. Ada produk yang inovatif.
“Tampak UMAM siap memastikan riset-riset strategis yang dilakukan tidak hanya berhenti dimuat jurnal Scopus atau hanya berakhir di pidato pengukuhan tapi berujung pada lahirnya berbagai inovasi,” kata Maliki.
Sementara itu tentang hubungan antara UMAM dan PTMA di Indonesia, Maliki mengatakan bahwa sarjana Indonesia bisa direkomendasikan untuk ambil program S3 di UMAM agar bisa menjadi pelaku riset strategis produktif dan inovatif.
Di sisi lain Dr Syamsudin MAg merasakan UMAM secara kelembagaan masih lemah. Gedung masih menyewa, dan legalitasnya mengandalkan izin Sultan Perlis. Khawatirnya jika nanti waktu berganti sultan, akan ganti kebijakan.
Problem kedua, UMAM hingga saat ini belum memperoleh trust dari masyarakat, mengingat belum banyak warga lokal yang kuliah di situ.
“Saya kira perlu membuka jurusan S1, untuk menarik simpati warga lokal,” kata dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Menurut Dra Siti Dalilah Candrawati MAg, UMAM merupakan PT yang bakal bertumbuh kembang pesat, karena komitmen dan loyalitas para civitas akademika internal maupun eksternal, serta dukungan organisasi dan pemerintah setempat.
“UMAM berpeluang menjadi pusat pengembangan Islam berkemajuan di Malaysia yang notabene eksklusif dalam ber madzhab. Implementasi Islam agama yang kaffah, yang telah di elaborasi Muhammadiyah,” urai mantan Ketua PW Aisyiyah Jawa Timur tersebut.
“Tentu saja UMAM butuh penguatan dalam implementasinya yakni berkesetaraan, berkeadilan, toleran, dan inklusif,” kata satu satunya anggota BPH UM Surabaya yang perempuan itu.
Kampus Bagus, Jauh dari Keramaian
Berbagai pendapat beragam dari anggota BPH UM Surabaya tentang UMAM. menurut Muhammad Budi Pahlawan, kampus UMAM dinilai bagus.
“Sebagai kampus khusus S3, suasana lingkungan yang sepi jauh dari keramaian kota, menjadikan dosen yang dikirim ke UMAM betul-betul konsentrasi belajar dan cepat selesai studinya,” kata Budi.
Setelah mengunjungi UMAM kita bisa merasakan betapa pentingnya internasionalisasi yang dikembangkan dari dalam Persarikatan Muhammadiyah itu sendiri. UMAM bisa menjadi jembatan internasionalisasi bagi semua PTMA di Indonesia.
Sebaliknya UMAM harus cepat mencapai recognisi internasional sehingga bisa mandiri, kuat, dan menarik SDM PTMA di Indonesia. (*)
Penulis Aribowo Editor Wildan Nanda Rahmatullah