Dialog dengan masyarakat Yahudi
Dari sekian banyak dialog dan dengan berbagai kalangan, hampir semuanya berjalan lancar dan tanpa rintangan yang berarti. Namun dengan masyarakat Yahudi, ini berbeda. Ada semacam paradoks kuat yang terjadi. Meski pada satu sisi Islam – Yahudi memiliki kedekatan, namun kedua pemeluknya selalu berlawanan dan bermusuhan.
Masyarakat Yahudi seluruh dunia itu hanya sekitar 15 hingga 16 juta orang. Di Israel sekitar 6-7 juta dan 5 juta lebih di Amerika. Sisanya tersebar di negara-negara Islam — seperti Maroko, Aljazair, Iran, Turki, dll. Bahkan jumlah orang Yahudi di negara-negara Muslim jauh lebih besar daripada yang ada di Eropa.
Ironisnya, di bandingkan dengan jumlah Muslim yang mencapai 1.8 Milyar, orang-orang Yahudi lebih berhasil menguasai dunia dalam porsi yang besar. Amerika yang dikategorikan oleh sebagian sebagaj negara Super Power pun berada di bawah genggaman Yahudi Zionis. Kontrol Yahudi terhadap Amerika hakekatnya merupakan kontrol terhadap seluruh jagad raya ini. Penguasaan ekonomi, media, berimbas pada penguasaan politik dan kebijakan publik. Akibatnya Amerika seringkali bersikap dungu ketika melayani hawa nafsu Israel.
Sadar akan realita ini kami merasa perlu membangun dialog dengan masyarakat Yahudi Amerika. Kami sadar dalam dialog itu ada dua kemungkinan yang terjadi, dipengaruh (influenced) atau sebaliknya mempengaruhi (influencing). Dengan posisi yang kuat, khususnya di kota New York kami harus berhati-hati dan penuh pertimbangan dan perhitungan. Dengan dialog ini kami berharap Komunitas Yahudi menjadi partner dalam melawan Islamophobia dan Anti Semitisme. Dua kata yang memiliki esensi yang sama.
Pertama kali saya berinteraksi dengan masyarakat Yahudi terjadi tahun 2001. Saya baru 4 tahun di Amerika. Lazimnya sebagai pendatang baru, bukan siapa-siapa dan tidak dikenal oleh siapapun. Tapi peristiwa 9/11 telah merubah semuanya. Saya mewakili komunitas Muslim dalam Konferensi Pers sehari setalah peristiwa WTC. Juga mewakili komunitas Muslim di acara nasional doa bersama untuk Amerika di Yankee Stadium.
Kantor Walikota New York dan tokoh-tokoh agama New York mulai membuka mata. Saya kemudian dilibatkan sebagai wakil Islam dalam kegiatan-kegiatan antar agama di kota New York. Pada beberapa acara saya mulai berinteraksi dengan tokoh-tokoh Yahudi. Salah satunya ketika mewakili Komunitas Muslim dalam acara doa bersama untuk Amerika di Yankee Stadium. Di sanalah saya ketemu dengan Rabbi Arthur Schneier, tokoh agama yang pernah menerima Paus Benedict di Synagognya. Dan ternyata dia juga teman akrab tokoh besar Nahdlatul Ulama dan mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid. d terjadi tahun 2005. Pada penghujung tahun itu Paus Yohannes II meninggal dunia. Dan saya bersama seorang Rabbi Yahudi diundang untuk wawancara di sebuah stasiun TV di kota New York. Saya mewakili Islam dan Rabbi Schneier mewakili Yahudi untuk mendiskusikan tokoh Katholik Paus Yohannes dari perspektif nonKristen.
Kami mulai kenalan. Meski masih terasa tidak terasa dekat, dan juga hambar. Sikapnya terlihat tidak bersahabat merupakan faktor penyebab ketidak-dekatan itu. Mungkin dirinya merasa sebagai pemilik Amerika, atau juga karena dia orang putih (isu ras). Bisa pula karena merasa paling benar dalam keyakinan (isu agama).
Namun tiga bulan kemudian semua itu berubah. Marc Shcneier diam-diam mengikuti beberapa sepak terjang saya di New York. Khususnya di dunia dialog antar agama dan media. Sehingga suatu ketika sang Rabbi berpengaruh itu menelpon dan menyampaikan keinginannya untuk bertemu. Saya meng”iya”kan. Pada pertemuan itu saya ingatkan kenapa saat bertemu di stasiun TV dia kurang bersahabat? Jawabannya ternyata sebagaimana dugaan, dia merasa saya bukan orang Islam apalagi berkategori Imam. Dalam benaknya Islam itu harus orang Arab. Dia juga mengakui bahwa ketika itu ada kebencian kepada Islam dan pemeluknya.
Singkat cerita kami berdua melakukan introspeksi terhadap pandangan masing-masing. Salah satunya adalah kecenderungan “generalisasi” terhadap komunitas. Kesalahan sebagian seolah mewakili semua pengikut agama. Kamipun sepakat untuk menjalin dialog dengan satu prinsip: “agree to agree, but agree to disagree without being disagreeable”. Maknanya kami sepakat untuk sepakat pada hal-hal yang dapat disepakati, baik secara prinsip keyakinan maupun secara pragmatis (kepentingan). Namun juga kami sepakat untuk tidak sepakat pada hal-hal prinsip yang berbeda, dan pada hal-hal yang menjadi kepentingan komunitas juga berbeda. Semua itu tidak harus menjadikan kami saling memusuhi.
Pada perjalanan selanjutnya dengan Marc Schneier, kami melakukan berbagai inisiatif yang cukup fenomenal. Bahkan pada tataran tertentu cukup menarik perhatian dan rujukan sebagian kalangan. Pertemuan para Imam (tokoh Muslim) dan Rabbi (tokoh Yahudi) pertama kali dilakukan di Amerika Utara. Kami bersama-sama melawan keinginan Uni Eropa untuk melarang pemotongan hewan (ritual slaughtering), yang berdampak pada makanan halal dan konsher. Juga menulis buku bersama “Sons of Abraham: issues that unite and divide Muslims and Jews”. Mantan Presiden Amerika Bill Clinton memberi kata pengantar buku ini. Kini buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam 6 bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia.