Dialog antar agama dan Konflik Timur Tengah
Harus diakui bahwa konflik Timur Tengah sangat berdampak pada relasi antar kelompok manusia, baik itu antar negara, antar budaya dan pemeluk agama. Dialog-Dialog yang selama ini bagaikan membangun gedung yang mulai meninggi dan nampak kokoh dan cantik, tiba-tiba dengan adanya konflik, maka gedung itu hancur-lebur menjadi debu-debu.
Dialog antar agama harus mengakui bahwa kebijakan politik jauh lebih dominan daripada dorongan hati atau niat baik untuk membangun relasi harmonis dan perdamaian. Seringkali karena politik yang bergejolak di mana-mana menjadikan dialog antar agama terasa hambar dan seolah hanya ‘nyanyian fals’ (Kumbaya) yang dipaksakan.
Tapi khususnya pasca 7 Oktober tahun 2023 lalu, sangat terasa dampaknya. Terasa hubungan antar agama, khususnya Muslim-Yahudi justeru menjadi bagian dari “justifikasi” (pembenaran) bagi terjadinya perusakan total (total destruction) dan genosida di Gaza. Melalui dialog rasanya seperti membenarkan apa yang terjadi, yang saya yakin siapapun yang masih berhati manusia akan merasakan kemarahan itu.
Sejujurnya di awal-awal peristiwa itu saya bersama Rabbi Marc Schneier masih melakukan upaya-upaya dialog antar agama. Salah satunya adalah mengadakan pertemuan dengan mahasiswa Muslim (MSA) dan mahasiswa Yahudi (Hilel) di beberapa college dan Universitas di kota New York saat ketegangan antar kedua kelompok itu terjadi. Upaya itu mendapat banyak sambutan, baik positif maupun negatif. Ketika itu banyak media yang meliput, termasuk MSNBC.
Namun dalam perjalanannya hati saya semakin tidak nyaman dengan fakta yang terjadi di lapangan (Gaza). Puluhan ribu warga sipil, termasuk anak-anak dan wanita, dibunuh secara massal dengan bom-bom berat bahka lebih dari bom-bom yang dipakai di perang Dunia II. Saya merasa dialog antar agama tidak bermakna bahkan justru bisa menjadi bamper dan pembungkus bagi para penjahat. Sejak itu saya menghentikan semua kegiatan antar agama saya, khususnya yang melibatkan komunitas Yahudi.
Apakah dengan ini dialog antar agama dikatakan mandeg dan selesai? Saya belum bisa memberikan jawaban. Tapi yang pasti adalah sangat tidak bijak dan tidak sensitif ketika pembantaian tanpa prikemanusiaan terhadap saudara-saudara kita, kemudian kita terus membangun hubungan dengan mereka yang nampak setuju bahkan senang dengan genosida itu. Minimal sensitifitas terhadap situasi dan realita yang terjadi harus terjaga.
Saya tersadarkan bahwa permasalahan yang kita hadapi bukan hanya masalah Palestina-Israel. Bahkan bukan hanya isu-isu global (luar negeri). Tapi juga ada isu-isu domestik sebagai bagian dari bangsa Amerika. Namun demikian, jangan pula karena kepentingan domestik lalu membelakangi saudara-saudara kita yang terdzalimi. Apalagi dengan “magnitude” yang sangat dahsyat dan tidak berprikemanusiaan itu.
Permasalahan kita dan Komunitas lain — termasuk dengan Yahudi — bukan karena perbedaan agama. Islam menghormati hak semua orang untuk memeluk dan taat kepada keyakinan dan agamanya. Permasalahan kita dengan sebagian besar masyarakat Yahudi adalah permasalahan “keadilan” bagi bangsa Palestina yang terjajah. Isu
ini mendasar bagi umat Islam, karena penjajahan itu adalah isu akidah Tauhid: laa ilaaha illallah. Selama Israel menjajah Palestina dan Yahudi dunia mendukungnya selama itu pula kita akan tentang dan lawan.
Hanya saja, posisi kami dan ini adalah posisi Islam, siap berdialog membangun kesepahaman dan kerjasama dengan siapa saja. Asal kerjasama itu terbangun di atas nilai-nilai kebenaran, keadilan dan saling memberikan manfaat (mutual benefit). Jika tidak, saya pribadi tidak ingin lagi ikut dalam paduan suara fals, menyanyikan lagu lama yang membosankan. Itu sikap dan prinsip!
Manhattan, 18 Desember 2024
editor Notonegoro