PWMU.CO – Di sebuah pulau kecil yang indah dan terpencil, Pulau Kangean, seorang perempuan muda telah mengubah kehidupan para lansia melalui sebuah inisiatif sederhana namun luar biasa. Atun Istiana yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah Arjasa, menjadi penggagas Madrasah Ibu, sebuah ruang belajar mengaji bagi lansia.
Madrasah ini tidak hanya menjadi pusat pembelajaran agama, tetapi juga simbol semangat dan kebersamaan di tengah kerasnya kehidupan masyarakat pedesaan.
Awal Mula Perjalanan
Kisah Madrasah Ibu dimulai pada tahun 2017 di Desa Sawah Sumur, Pulau Kangean. Berawal dari kepedulian Istiana terhadap para lansia yang belum mampu membaca al Quran. Ia mengundang beberapa ibu-ibu untuk belajar mengaji di rumahnya.
“Awalnya hanya beberapa orang saja. Mereka datang dengan rasa malu-malu, karena sebagian besar belum mengenal huruf hijaiyah,” kenang Istiana.
Namun, semangat dan ketulusan Istiana segera menarik perhatian lebih banyak warga. Dari hanya beberapa orang, jumlah peserta Madrasah Ibu terus bertambah hingga mencapai 60 orang. Melihat antusiasme ini, masyarakat Desa Sawah Sumur mengapresiasi dengan menyediakan sebuah surau sebagai tempat resmi kegiatan Madrasah Ibu. Setiap malam, dari pukul 20.00 hingga 23.00 WIB, surau itu menjadi saksi perjuangan para lansia yang belajar membaca Al-Qur’an dengan penuh dedikasi.
Inspirasi dari Perjuangan Lansia
Keberadaan Madrasah Ibu menjadi pelipur lara bagi para lansia yang sebagian besar bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup. Mereka adalah pemecah batu di hutan yang harus menempuh perjalanan panjang setiap harinya. Namun, kelelahan fisik tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar mengaji. Bahkan, Istiana sering kali terharu melihat kegigihan mereka.
“Setiap pagi, saya melihat ibu-ibu lansia ini belajar sendiri di rumah. Mereka ingin memastikan malam harinya bisa membaca Iqro dengan lancar di depan teman-teman mereka,” cerita Istiana.
Salah satu cerita yang paling menginspirasi adalah pengalaman Ibu Sinduk, seorang lansia berusia 65 tahun. Suatu hari, Ibu Sinduk kehilangan buku Iqro-nya di hutan tempat ia bekerja. Bukannya menyerah, ia justru semakin semangat untuk belajar. “Iqro itu hilang, tapi semangat saya tidak boleh ikut hilang,” kata Ibu Sinduk dengan senyum tulus.
Dari Desa Kecil ke Lima Desa Tetangga
Keberhasilan Madrasah Ibu di Desa Sawah Sumur tidak hanya membawa manfaat bagi para peserta, tetapi juga menjadi inspirasi bagi desa-desa di sekitarnya. Lima desa tetangga mulai mengikuti jejak Istiana dengan mendirikan Madrasah Ibu mereka sendiri. Namun, Desa Sawah Sumur tetap menjadi pusat kegiatan dan rujukan utama. Istiana sering diundang untuk memberikan pelatihan dan berbagi pengalaman dalam mengelola madrasah tersebut.
“Kami ingin semua lansia di Pulau Kangean bisa membaca al Quran dengan lancar. Ini adalah cita-cita kami bersama,” ujar Istiana penuh semangat.
Kini, Madrasah Ibu bukan hanya ruang belajar, tetapi juga tempat mempererat tali silaturahmi dan saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari.