Islam di Denmark
Secara konsisten Denmark menurut OECD selalu mendapatkan rangking atas dalam skala global kaitannya dengan dana yang dihabiskan untuk memberi dukungan terhadap keluarga, dukungan untuk dissabilitas, pensiunan, dan buruh. Selain itu, negara ini secara statistik memiliki angka paling rendah dalam ketidakselarasan pendapatan penduduk dan memiliki angka kemiskinan paling rendah di dunia.
Masyarakatnya juga terkenal dengan toleransi yang baik dan sangat egaliter. Bahkan negara tersebut menekankan kesetaraan gender dalam kehidupan rumah tangga.
Pemerintah melalui website resminya juga menekankan kesetaraan gender. Wanita mendapatkan kesempatan cuti 4 minggu sebelum melahirkan dan 14 minggu setelah melahirkan.
Sedangkan seorang ayah mendapatkan jaminan cuti dua minggu setelah istri melahirkan. Kemudian kedua orang tua mendapatkan kesempatan cuti tambahan selama 32 minggu yang dapat dibagi sesuai kesepakatan mereka berdua.
Namun bagaimana pandangan dan kebijakan negara tersebut untuk mereka yang beragama Islam? Untuk memberikan keterangan lebih mendalam mengenai kehidupan Islam di Denmark, saya tidak akan menggunakan pendapat pribadi berdasarkan pandangan yang berasal perjalanan sesaat. Saya akan mencoba menjelaskannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber ilmiah.
Secara demografis Denmark adalah negara paling homogen di dunia. Sebagaimana disebutkan oleh Brian Isabel dalam studinya, Denmark dikenal dengan toleransi dan konsep kedermawanannya untuk rakyat yang menjadikan rakyat Amerika iri, mereka melakukan segala hal dengan benar, sementara di Amerika banyak orang ditembak di tengah jalan oleh polisi.
Tetapi beberapa tahun terakhir isu rasisme mengemuka di negara ini. Menurut Isabel Williams (2022), masyarakat blonde yang homogen dan terkenal dengan kohesi sosialnya tersebut mulai terganggu dengan isu rasisme. Bahkan, kebijakan pemerintah Denmark mengenai imigran merupakan kebijakan paling ketat di Eropa, khususnya terhadap imigran dari negara-negara Muslim. Denmark melihat Islam tidak kompatibel dengan budaya masyarakat tersebut.
Bagaimana mungkin negara yang bangga dengan budaya toleransinya dan selalu menempati posisi teratas sebagai negara paling bahagia di dunia, pada sisi lain sangat tidak toleran dan rasis terhadap mereka yang berbeda, khususnya muslim. Berbagai studi menyebutkan, bahwa isu rasisme terhadap Islam di Denmark bergejolak setelah peristiwa 9/11 di Amerika.
Namun peristiwa 9/11 tidak menjadi faktor tunggal. Sebagaimana disebutkan oleh Rytter dan Pedersen (2015) peristiwa masa lalu di Eropa juga berkontribusi terhadap pandangan masyarakat di negara tersebut mengenai Islam yang dianggap sebagai agama teror dan berbahaya. Misalkan peristiwa ekspansi kerajaan Turki Utsmani atau kerajaan Ottoman. Hingga kini bagi kebanyakan bangsa Eropa termasuk Denmark, ekspansi Turki Ustmani adalah peristiwa ekspansi kekuasaan.
Setelah peristiwa 9/11, pemerintahan baru yang terdiri dari partai Liberal (Venstre), Konservatif (Det Konservative polkepart) dan dukungan partai kanan (Danks Polkeparti) membentuk kementerian baru, yaitu Menteri Integrasi yang bertugas menangani isu imigran dan pengungsi. Selain itu, kontrol terhadap kehidupan keluarga muslim di negara tersebut mulai dilakukan.
Melalui kementerian integrasi ini dan beberapa pemerintah kota kampanye untuk melawan radikalisme. Namun menurut banyak sarjana definisi radikal yang mereka gunakan sangat luas, yang berakibat terhadap pemuda muslim merasa mereka menjadi sasaran yang dikategorikan radikal.
Selain itu, persyaratan pendaftaran untuk mendapatkan suaka dan mengungsi di negara tersebut dibuat sangat ketat. Sebagaimana disebutkan oleh Rytter dan Pedersen (2015), pada era 90an percakapan tentang kemanusiaanselalu didahulukan ketika dikaitkan dengan reunifikasi keluarga. Perlu diketahui, reunifikasi keluarga ini adalah sistem yang diberlakukan bagi pendatang di sebuah negara Eropa untuk membawa keluarganya.
Namun, setelah peristiwa 9/11, ketika membahas reunifikasi keluarga, narasi yang didahulukan adalahnasionalisme. Wacana tentang nasionalisme ini menurut Williams (2014) secara politik memuat isu rasisme. Karena bentuknya berupa kebijakan mempertahankan identitas nasional terhadap identitas luar yang dianggap mengancam, dan lebih banyak diterapkan terhadap budaya Muslim yang dianggap sebuah ancaman.
Bentuk dari penguatan isu nasionalisme ini dapat terlihat pada kebijakan reunifikasi keluarga di Denmark yang bisa disebut sebagai aturan paling ketat di Eropa. Dampaknya adalah jumlah penurun tajam jumlah pengungsi dari 5.221 pada tahun 2001 menjadi 233 pada tahun 2007.
Peristiwa penting lain yang mendorong isu sensitif terhadap Islam terjadi pada tahun 2008. Pada tahun itu, salah satu koran terbesar di negara tersebut (Jyllands-Posten), menerbitkan 12 karikatur nabi Muhammad. Karikatur juga diiringi komentar editor koran tersebut yang meminta muslim untuk menerima hinaan, ejekan, dan olokan terhadap nabi mereka sebagai bagian dari demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Peristiwa ini memicu gejolak di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara muslim. Banyak masyarakat muslim di negara lain melakukan protes terhadap pemerintah Denmark. Puncaknya, terjadi bom bunuh diri di Islamabad, ibu kota Pakistan. Bom bunuh diri dilakukan di depan kedutaan besar Denmark sebagai bentuk perlawanan terhadap karikatur nabi Muhammad.
Pada tahun 2021, pemerintah Denmark di bawah pemerintahan partai sosialis demokrat mengumumkan rencana “Zero asyilum seekers” atau bersih dari pencari suaka. Perdana menteri Metti Frederiksen mengatakan kita perlu hati-hati bahwa banyak orang datang ke negara kita, jika tidak budaya kohesi sosial kita tidak bisa hidup.
Meskipun peristiwa tersebut telah berlalu, dan masyarakat di negeri tersebut sekarang masih menjadi masyarakat bahagia, negaranya maju, bersih dari korupsi, namun isu terhadap imigran khususnya muslim masih sangat sensitif.