Penulis M Ainul Yaqin Ahsan – Penggiat Literasi, PRM Kadungrembug, Sukodadi Lamongan
PWMU.CO – Perdebatan teologis dalam sejarah Islam telah melahirkan ragam pemikiran yang memperkaya tradisi keilmuan Islam. Salah satu contoh adalah diskusi antara pengikut faham Asy’ari-Maturidi pada satu sisi dan pengikut Salafi-Wahabi. Kedua kelompok ini merupakan arus besar dunia Islam yang memiliki pandangan berbeda, khususnya berkaitan dengan persoalan akidah dan metode pemahaman teks keagamaan.
Sayangnya, perdebatan akhir-akhir ini cenderung lebih sering hadir pada ruang publik yang kebanyakan masyarakat awam. Sehingga yang tampak hanyalah perbedaan yang berujung pada pertengkaran yang tidak produktif. Padahal seharusnya perdebatan dalam hal ini bermanfaat untuk memperkuat kajian ilmiah oleh orang-orang berilmu dengan menjunjung sikap tulus, jujur, dan rendah hati.
Bahkan jauh lebih penting dan strategis, umat Islam perlu menempatkan perhatian pada isu-isu strategis yang menyangkut keberlangsungan Islam di tengah tantangan global, seperti ateisme, sekularisme, dan penindasan terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia.
Ketegangan Teologis
Secara historis, Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan dua aliran utama dalam teologi Sunni yang mengedepankan pendekatan rasional dalam memahami sifat-sifat Allah, hubungan antara akal dan wahyu, serta qadla dan qadar. Sementara itu, Salafi dan Wahabi berangkat dari pemahaman literal terhadap teks Al-Qur’an dan Hadits, yang menekankan kemurnian tauhid dan pemurnian ibadah dari praktik-praktik yang dianggap bid’ah.
Perbedaan ini sering menjadi pangkal perdebatan tajam, terutama pada aspek metodologis dan teknis ibadah. Namun, dalam masyarakat awam, perdebatan ini lebih sering terinterpretasi sebagai pertentangan tanpa akhir yang menjauhkan dari substansi akidah Islam yang sebenarnya.
Sebuah laporan dari Pew Research Center tahun 2021 menyebutkan bahwa perpecahan internal kalangan Muslim memberikan ruang lebih besar bagi tantangan eksternal dalam menghadapi umat. Meningkatnya Islamofobia dan marginalisasi ekonomi-politik umat Muslim di negara-negara mayoritas non-Muslim mungkin salah satu contoh.
Tantangan Eksternal
Seiring derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, ide-ide yang berpotensi merusak keyakinan umat Islam semakin mudah diakses. Pemahaman ateis (atheism) dan sekularis (sekulerisme), terus menyebar melalui berbagai media dengan dukungan ideologi modernitas yang menggiring agama ke ruang privat. Data dari World Values Survey 2023 menunjukkan peningkatan angka orang yang mengidentifikasi diri sebagai tidak beragama. Bahkan di negara-negara mayoritas Muslim pun (misalnya Turki dan Tunisia) hal tersebut terjadi. Ironisnya, lembaga-lembaga Islam yang karena energinya telah terkuras oleh perdebatan teologis internal semakin tidak peduli.
Selain itu, situasi penindasan terhadap komunitas Muslim semakin memburuk. Penindasan di Gaza oleh tentara zionis Israel menjadi simbol nyata ketidakadilan global. Umat Islam di Xinjiang, Rohingya di Myanmar, hingga minoritas Muslim di India juga menghadapi diskriminasi, kekerasan, bahkan genosida. Sayangnya, negara-negara yang memiliki otoritas keagamaan besar seperti Mesir yang merupakan basis Asy’ari-Maturidi dan Arab Saudi dengan Salafi-Wahabi-nya, justru sering bungkam terhadapisu-isu ini. Negara-negara ini lebih mengutamakan stabilitas politik dan ekonomi domestiknya dengan menerapkan sistem pemerintahan yang otoriter.
Rekonsiliasi dan penyelesaian strategis
Dalam konteks ini, perdebatan antara Asy’ari-Maturidi dan Salafi-Wahabi harus bermakna sebagai ruang kajian ilmiah yang bertujuan memperkuat pondasi intelektual umat. Perdebatan dan pembahasannya tidak perlu menjadi konsumsi konsumsi public, karena hanya akan memperluas jurang perpecahan umat. Sebaliknya, diskusi ini harus diarahkan pada upaya membangun rekonsiliasi untuk menghadapi tantangan yang lebih mendesak.
Rekonsiliasi ini memerlukan pendekatan strategis, yaitu: pertama, pendidikan dan literasi keislaman. Lembaga pendidikan Islam perlu memberikan fokus pada moderasi beragama dan toleransi intelektual. Kajian-kajian teologis perlu secara inklusif tanpa mendikotomikan satu aliran tertentu. Kedua, menguatkan solidaritas umat Islam. Umat Islam perlu mengesampingkan egoisme teologis dan bersatu melawan isu global yang menimpa umat, seperti penindasan di Palestina dan marginalisasi dari dunia Barat.
Tiga, advokasi politik global. Organisasi Islam internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) perlu memaksimalkan perannya sebagai wadah perjuangan umat. Termasuk dalam mendesak rezim-rezim otoriter pada negara-negara Muslim agar lebih peduli dalam isu-isu umat global.
Membumikan solusi
Dalam sebuah artikelnya, Syaikh Abdullah bin Bayyah menekankan bahwa “Fiqh realitas” (fiqh al-waqi’) harus menjadi orientasi utama bagi umat Islam dalam merespons isu-isu yang ada. Artinya, umat Islam harus mampu mengintegrasikan kajian teologis dengan solusi yang membumi. Bukan semata menjadi ajang (mohon maaf) “onani intelektual“. Yaitu sebagai pelarian dari ketidak-mampuan menyelesaikan persoalan.
Dengan demikian, umat Islam tentu menghadapi pada dua pilihan: 1) terus bersikukuh pada perbedaan teologis hingga melupakan tanggung jawab terhadap tantangan yang lebih besar, atau 2) bersama-sama memperkuat rekonsiliasi demi mewujudkan kemajuan umat secara global. Saatnya energi umat beralih pada isu-isu strategis yang lebih mendesak, seperti pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan solidaritas terhadap kaum tertindas. Perdebatan teologis boleh menjadi diskursus di kalangan cendekiawan, tetapi tidak boleh menjadi penghalang dalam menyatukan umat untuk melawan ketidakadilan yang nyata.
Editor Notonegoro