Oleh Muhsin MK – Penggiat Sosial
PWMU.CO – Perkembangan Muhammadiyah kian menggurita dan makin ‘menggemaskan’. Berbagai istilah baru hadir untuk sekedar menjelaskan tentang fenomena sosial yang melingkupi Muhammaadiyah saat ini. Ada istilah MuNu (Muhammadiyah NU), KrisMuha (Kristen Muhammadiyah), filantropi, disaster, lansia care, inklusif dan lainnya. Istilah dan juga sebagian akronim tersebut memberikan bukti bahwa Muhamadiyah semakin kaya. Bukan cuma organisasi dan amal usahanya, melainkan juga kaya dalam penggunaan istilah maupun narasi-narasi baru.
Kata dan istilah-istilah tersebut bukan sekedar pemanis ucapan yang hampa tanpa makna. Dalam Muhammadiyah, berbagai istilah itu hidup dalam realitas gerakan dan amal usahanya. Ini menunjukkan, bahwa Muhamadiyah bukan organisasi yang hanya mampu bicara tapi tanpa menghasilkan karya nyata. Setiap istilah yang terpakai itu justru lahir dari dinamika dalam tubuh organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Istilah “MuNu” sebagai singkatan dari kata “Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama)” sudah sangat lama menjadi istilah populer di Muhammadiyah. Hal itu tidak bisa terlepas cukup banyaknya keberadaan orang-orang yang berasal kultul NU yang berada dalam Muhammadiyah. Beberapa mereka justru aktif menjadi pengurus Muhammadiyah, mulai dari level paling bawah (ranting) hingga level paling atas (pusat). Drs H Rosyad Soleh, misalnya, lahir dari keluarga NU yang justru merupakan tokoh dan aktivis yang pernah mendapatkan tempat sebagai unsur Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beliau juga salah satu dari pendiri ortom Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Ada pula Prof Dr Hilman Latif MA, yang merupakan Bendahara PP Muhammadiyah, berasal dari keluarga Persatuan Islam (Persis).
Juga yang sempat memantik keriuhan di Muhammadiyah adalah adanya istilah “KrisMu” sebagai akronim dari kata “Kristen dan Muhammadiyah”. Istilah KrisMu melekat hadir setelah Muhammadiyah sukses mendirikan Perguruan Tinggi Muhammmadiyah (PTM) di Wilayah Indonesia Timur, tepatnya Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampus Muhammadiyah di Indonesia Timur itu konon mayoritas mahasiswanya (70%) non Muhammadiyah atau bahkan nonMuslim, alias Kristen. Jadi istilah Krismu merujuk pada dominannya mahasiswa Kristen yang menempuh pendidikan di PTM.
Ada batas
Istilah-istilah yang terjabarkan tadi menunjukkan bahwa Muhammadiyah relatif sangat inklusif. Inklusifitas atau sikap keterbukaan Muhammadiyah ini benar-benar terasakan oleh masyarakat Indonesia, bahkan di dunia. Setidaknya kini ada empat universitas yang berdiri di Indonesia dengan jumlah mahasiswanya yang justru mayoritas dari kalangan Kristen dan Katolik. Yaitu seperti di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara (Sulut).
Sedangkan inklusifitas Muhammadiyah pada tingkat internasional juga terbuktikan melalui: melalui jalur pendidikan. Universitas Muhammadiyah telah menerima banyak mahasiswa dari berbagai negara tanpa melihat latarbelakang iman atau keagamaannya. Bahkan beberapa lembaga pendidikan tingkat SMA/SMK Muhammadiyah tidak menutup untuk menerima kehadiran pelajar dari manca negara. Beberapa sekolah menengah atau perguruan tinggi yang membuka kelas internasional untuk menerima siswa/mahasiswa dari negara lain.
Selain itu, lembaga pendidikan Muhammadiyah juga berada pada negeri manca. Antara lain adalah Universitas Muhammadiyah Malaysia (UMAM) dan juga Sekolah Muhammadiyah di Australia (Muhammadiyah Australia College).
Selain jalur pendidikan, Muhammadiyah juga melakukan pengembangan melalui jalur olahraga, yaitu Pencak Silat “Putera Muhammadiyah” Tapak Suci. Pencak silat Tapak Suci (TS) merupakan organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah yang sukses mengembangkan sayapnya hingga ke sejumlah negara. Siswa dan anggota TS ada yang berasal dari Mesir, Jerman, Belanda dan lainnya. Dalam pentas internasional, mereka tidak segan untuk mengikuti kompetisi atau kejuaraan dengan membawa nama Muhamadiyah.
Meski demikian, sikap inklusif Muhammadiyah dalam pergerakan dan amal usahanya pun tidak cenderung lebay atau berlebihan. Dalam hal yang bersifat fundamental dan prinsipil, Muhammadiyah tetap bersikap rigit. Muhammadiyah tidak akan melakukan open aperture (buka bukaan). Misalnya, dalam kepemimpinan atau kepengurusan Muhammadiyah. Muhammadiyah menekankan kewajiban atau keharusan untuk pengurus atau pemimpin Muhammadiyah harus beragama Islam, berideologi Muhammadiyah dan berkewarganegaraan Indonesia.
Demikian pula pada kepengurusan dan pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah-nya. Pimpinannya harus seorang Muslim taat, harus berideologi dan tercatat sebagai anggota Muhammadiyah. Sedang mereka yang non Muhammadiyah, dan terlebih nonMuslim (meski) bisa saja bekerja atau menjadi karyawan di AUM, tapi tidak akan mungkin menjadi penentu kebijakan, pengambil Keputusan atau pemimpinnya.
Kepemimpinan Muhammadiyah ke depan pasti akan tetap menjaga karakter inklusivitasnya, tapi Muhammadiyah pasti tidak akan open aperture atau sangat terbuka tanpa batas? Termasuk pada keperngurusan yang mengelola AUM. Segala kebijakan dan kebijaksanaan yang menjadi keputusan harus melalui forum permusyawaratan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Muhammadiyah. Insyaallah selamanya Muhammadiyah tetap menjadi gerakn inklusif, kecuali pada hal-hal yang bersinggungan dengan aqidah dan syariah Islam. Wallahu ‘alam.
Editor Notonegoro