Oleh Ery Santika Adirasa, SST, MAg – Da’i Muhammadiyah
PWMU.CO – Menyelami perjalanan peradaban sejarah Islam, masjid menempati posisi strategis bukan hanya sebagai tempat ibadah shalat, tetapi juga sebagai pusat pembinaan umat, penyebaran ilmu, dan penguatan nilai-nilai spiritual.
Pada era modern seperti saat ini, manakala kompleksitas kehidupan memakin menekan, sudah semestinya peran masjid semakin besar pula. Masjid tidak bisa sekadar sebagai tempat ibadah ritual, harus juga menjadi episentrum aktivitas sosial, ekonomi, dan pendidikan umat.
Masjid Muhammadiyah, dalam hal ini, memiliki peluang besar untuk menjadi magnet bagi umat. Tentunya jika terkelola secara tepat, professional dengan kepemimpinan takmir yang visioner dan da’i yang kompeten dalam bidangnya.
Peran takmir masjid
Takmir masjid merupakan motor penggerak utama yang menentukan arah dan aktivitas masjid. Sebagai pengelola, takmir bertanggung jawab memastikan masjid tidak sekedar sebagai tempat shalat, tetapi juga pusat pemberdayaan umat. Dalam konteks Muhammadiyah, pengelolaan masjid harus selaras dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan, yang mengedepankan moderasi, inklusivitas, dan keberlanjutan.
Kepemimpinan takmir yang visioner akan mampu membaca tantangan zaman dan merumuskan strategi yang relevan untuk menjadikan masjid sebagai solusi atas berbagai problematika umat. Misalnya, takmir harus memahami kebutuhan masyarakat sekitar, seperti: pendidikan anak-anak, pemberdayaan ekonomi, atau pendampingan spiritual bagi generasi muda. Tanpa kepemimpinan yang tangguh, masjid hanya akan menjadi simbol fisik yang kehilangan fungsi strategisnya.
Selain itu, takmir juga perlu merancang program-program yang inovatif dan menarik, terutama bagi generasi muda. Tantangan dan sekaligus problematika kemasjidan saat ini adalah ketidakmampuannya dalam menggaet perhatian generasi milenial dan Gen Z. Kendala ini terjadi karena aktivitas masjid yang cenderung monoton dan tidak relevan dengan kebutuhan mereka.
Sebuah masjid yang visioner harus mampu menawarkan aktivitas yang edukatif sekaligus menyenangkan, seperti diskusi interaktif, workshop kreatif, atau kegiatan sosial yang melibatkan pemuda. Dengan cara ini, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tanpa mampu memberikan ruang belajar dan berkarya.
Inilah pentingnya profesionalitas bagi seorang takmir dalam mengelola masjid. Takmir harus memiliki kemampuan manajerial yang baik, seperti perencanaan, pengorganisasian, hingga pengawasan program. Karena itu, takmir harus selalu meningkatkan kemampuannya dengan belajar, mendengarkan masukan dari luar, berpandangan terbuka dan kreatif inovatif.
Terlebih di era digital seperti saat ini, takmir perlu berkemampuan teknologi agar bisa berinteraksi dengan umat melalui media sosial atau platform digital lainnya. Tampaknya masjid yang aktif berselancar melalui dunia maya lebih menarik perhatian generasi muda, karena generasi ini banyak menghabiskan waktu pada ruang digital.
Da’i merupakan pilar dakwah
Keberadaan da’i yang profesional karena kemampuan keilmuannya yang mumpuni menjadi elemen krusial lainnya. Seorang da’i tidak hanya dituntut mahir berbicara, tetapi juga harus memiliki pemahaman mendalam tentang pengetahuan agama, juga memahami berbagai dinamika sosial budaya. Dalam perspektif Muhammadiyah, da’i harus mampu menyampaikan dakwah yang relevan dengan realitas kekinian tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.
Da’i yang profesional insyaallah mampu menghidupkan masjid sebagai pusat dakwah yang sebenarnya. Materi khutbah, kajian, atau ceramah yang disampaikan merupakan hal yang bersifat solutif, inspiratif, dan aplikatif. Misalnya, da’i tidak hanya mampu memberikan bimbingan tentang bagaimana umat dapat menjalani hidup sesuai syariat, tetapi juga berkomunikasi dengan baik. Pesan-pesan da’i dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat.
Seorang da’i profesional juga harus peka terhadap kebutuhan umat. Maraknya isu kesehatan mental, misalnya, da’i harus bisa memberikan bimbingan spiritual tentang solusi Islam melalui pendekatan ruhiyah, seperti dzikir, shalat, dan membaca Al-Qur’an.
Da’i juga perlu menyampaikan pesan-pesan moral yang kontekstual dengan problematika masyarakat, seperti pentingnya menjaga kejujuran dalam dunia kerja atau bahaya korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan. Juga tentang maraknya informasi hoaks, pemahaman agama yang dangkal dan sebagainya.
Karena itu, Muhammadiyah harus terus berupaya meningkatkan kualitas para da’inya melalui pelatihan, pendidikan formal, atau forum-forum diskusi ilmiah lainnya. Bukankah dakwah yang berbasis ilmu dan data akan lebih mudah diterima, terutama oleh generasi muda yang cenderung kritis terhadap informasi yang mereka terima.
Sinergikan takmir dan da’i
Sinergi antara takmir dan da’i menjadi kunci agar masjid bisa menjadi magnet bagi jamaah. Takmir yang profesional pasti lebih memprioritaskan tersedianya fasilitas dan program yang mendukung aktivitas dakwah. Sedang da’i yang kompeten bisa memastikan pesan dakwah tersampaikan dengan baik. Kombinasi ini akan menciptakan masjid yang tidak hanya ramai secara fisik belaka, tetapi juga penuh makna berfaedah bagi umat.
Sebagai contoh, masjid dapat mengadakan program kajian tematik yang membahas isu-isu aktual, seperti ekonomi syariah, parenting Islami, atau etika bermedia sosial. Program ini tidak hanya menarik jamaah untuk datang, tetapi juga memberikan manfaat nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, masjid juga dapat berfungsi sebagai pusat pemberdayaan ekonomi. Sebagai missal, merancang program pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat sekitar. Masjid Muhammadiyah juga harus bisa menjadi pusat kebudayaan Islam yang inklusif. Kegiatan Islami, festival pendidikan, atau forum diskusi lintas generasi dapat mungkin merupakan cara efektif untuk menarik minat jamaah, terutama kalangan muda. Dengan demikian, masjid benar-benar menjadi ruang interaksi sosial yang menyenangkan dan penuh manfaat.
Tantangan dan Harapan
Tantangan utama dalam menjadikan masjid Muhammadiyah sebagai magnet umat biasa takmir dan da’i yang enggan belajar dan sulit diberi masukan. Padahal saat ini sangat membutuhkan pola pikir profesional dalam pengelolaan masjid. Para takmir atau da’i perlu berkesadaran dan berkapasitas yang cukup untuk mengelola masjid secara efektif. Selain juga perlunya edukasi untuk jamaah/umat agar mendukung semangat dalam program-program masjid, baik melalui partisipasi aktif maupun kontribusi finansial.
Akhirnya, Masjid Muhammadiyah harus menjadi cerminan dari nilai-nilai Islam yang berkemajuan: progresif, inklusif, dan relevan dengan zaman. Dengan takmir yang visioner dan da’i yang profesional, masjid akan menjadi magnet bagi umat, bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat solusi atas berbagai problematika kehidupan. Dengan cara inilah masjid Muhammadiyah Insya Allah dapat menjawab tantangan zaman dan menjadi cahaya di tengah kegelapan dunia modern.
Editor Notonegoro