
PWMU.CO – Dalam negara yang menganut faham demokrasi, tingkat kepuasan terhadap pemimpin sering kali menjadi acuan keberhasilan. Jika survei menunjukkan angka kepuasan 80% atau bahkan 86% di era sebelumnya, harusnya tidak ada alasan untuk merasa tercekik dan ingin kabur, (bukan)?
Tapi mengapa hashtag “Kabur Aja Dulu” atau #KaburAjaDulu begitu nyaring suaranya? Apakah ini hanya sekadar sentimen pribadi, atau ada sesuatu yang lebih substantif dengan tujuan untuk menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap sistem?
Kredibilitas survei tentang kepuasan
Survei kepuasan memang menunjukkan angka tinggi, tapi ada survei lain yang menyatakan sebaliknya. Yaitu bahwa mayoritas masyarakat justru tidak merasa bahagia dengan kondisi Indonesia. Sebuah studi dari Gallup World Poll menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia menurun dari tahun ke tahun. Bahkan World Happiness Report 2024 melaporkan bahwa Indonesia hanya berada di peringkat 80 dari 143 negara. Jadi, apakah survei kepuasan itu benar-benar menggambarkan realitas?
Selain itu, Bank Dunia juga melaporkan bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Pada 2023 lalu, 9,36% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara, ada 20% orang terkaya yang menikmati lebih dari 45% total pendapatan nasional. Tentu Ini belum termasuk isu sistem hukum yang timpang.
Hukum menjadi salah satu faktor yang membuat orang makin skeptis terhadap negeri ini. Contoh terbaru adalah kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah tapi hanya berakhir dengan hukuman yang bisa dinegosiasikan. Sebut saja kasus korupsi BTS yang mencapai 8,03 triliun rupiah, sementara nenek-nenek yang mencuri kayu dihukum cukup berat. Masyarakat dipaksa percaya bahwa “hukum adalah mata pedang” tetapi mata pedang itu hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Lalu, bagaimana dengan proyek digitalisasi yang digadang-gadang sebagai solusi? Proyek digitalisasi surat tanah senilai 1,3 triliun ternyata justru menambah ketidakpercayaan masyarakat. Aplikasinya hancur, dana menguap dan yang terjadi malah ketidakpastian hukum lebih besar lagi. Bukannya makin maju, justru makin kacau.
Quality of Life: menengok sebelah
Ada yang mengatakan bahwa yang membuat orang ingin kabur bukan hanya soal keadilan, tapi juga quality of life. Ketika warga Indonesia bepergian ke luar negeri dan melihat negara lain, perbandingan pun muncul.
Di Turki yang notabene negara berkembang juga, kualitas infrastruktur lebih tertata. Penataan jalan, transportasi umum, hingga pedestrian yang ramah bagi pejalan kaki menjadi standar yang terasakan langsung. Bandingkan dengan Jakarta, di mana trotoar lebih sering menjadi tempat parkir motor, pedagang kaki lima, atau bahkan jebakan maut karena konstruksi yang setengah hati.
Lalu, bagaimana dengan lapangan pekerjaan? Laporan BPS menunjukkan tingkat pengangguran di Indonesia pada Agustus 2023 masih mencapai 5,32% atau sekitar 7,8 juta orang. Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang justru berubah menjadi ancaman karena lapangan pekerjaan tidak berkembang secepat pertumbuhan penduduk usia produktif.
Nasionalisme atau survivalisme?
Ketika seseorang memutuskan untuk mencari penghidupan ke luar negeri, tuduhan “tidak nasionalis” gampangnya dilontarkan dan ditudingkan. Tapi, siapa sebenarnya yang harus mejadi pertanyaan terkait nasionalismenya? Rakyat yang mencari kehidupan lebih baik atau pejabat yang menggerogoti negara dengan korupsi berjamaah?
Seperti yang pernah John F. Kennedy katakan, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negara.” Namun dalam konteks Indonesia, pertanyaannya seolah harus: “Apa yang sudah pejabat-pejabat lakukan untuk rakyatnya?” Karena kalau jawaban mereka hanyalah janji-janji kosong dan proyek mangkrak, maka jangan salahkan rakyat jika memilih “kabur aja dulu.”
Apakah ada harapan?
Indonesia bukan tempat yang buruk, tapi juga bukan surga. Masih ada potensi untuk memperbaiki, tetapi itu membutuhkan sistem yang lebih adil, kepemimpinan yang lebih transparan, dan rakyat yang kritis.
Jadi, sebelum menyalahkan mereka yang ingin “kabur aja dulu” mungkin kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar sedang menuju negara yang lebih baik, atau justru semakin terperosok dalam gelap?
Editor Notonegoro