
Oleh Moch Muzaki – Kader Muhammadiyah
PWMU.CO – Perintah puasa terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Perintah tersebut menjadi kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Islam — baik yang terdahulu, sekarang maupun yang akan datang.
Pertanyaannya, mengapa perintah puasa ini wajib bagi umat Islam sepanjang masa? Nilai agung apakah yang terkandung padanya?
Pengertian puasa
Jurnal Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) memberikan pengertian puasa yang secara etimologis berasal dari kata “As-shaum”. Secara harfiah berarti menahan diri dari melakukan suatu tindakan. Dalam ajaran Islam, puasa merupakan kewajiban menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkannya — mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan iringan niat dan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Kata “menahan diri” menjadi spirit dalam menjalankan aktifitas puasa, agar tujuan dari puasa dapat tercapai dan kita memiliki manfaat pasca menjalankan ibadah ini.
Merujuk pada QS Al Baqarah ayat 183, jelas bahwa puasa untuk menjadikan kita sebagai manusia yang “bertaqwa”. Bertaqwa artinya berusaha untuk selalu menjaga ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, taqwa mencakup kesadaran spiritual yang mendalam dalam berkomitmen untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an.
Perintah untuk bertaqwa itu sendiri sangat jelas dalam QS Al Maidah ayat 35 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Saat manusia mampu menahan atau mengendalikan dirinya, ia akan bisa memutuskan dan berkehendak dalam menjalankan perintah kebaikan dan menjauhi larangan dari Allah Swt. Justru yang perlu menjadi renungan kita bersama adalah, “Apa yang perlu kita kendalikan agar puasa bisa membawa kita sebagai manusia bertaqwa?”
Bahaya nafsu tak terkendali
Nafsu adalah dorongan, keinginan, atau kecenderungan hati yang kuat. Nafsu juga dapat berarti sebagai perasaan atau emosi jiwa yang condong kepada sesuatu yang di sukai. Masalahnya, jika nafsu ini tidak mampu terkendalikan dengan baik, maka berpotensi menjadikan suatu keburukan.
Ada tiga dalil yang menjelaskan ketika nafsu tidak mampu terkendalikan dan akibat buruk yang timbul karenanya:
Satu, QS Al-Furqan ayat 43-44 yang artinya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”.
Dua, QS Al-Kahfi ayat 28 yang artinya: “Bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas”.
Tiga, QS An-Nisa’ ayat 135 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Segala kerusakan yang ada di bumi — baik karena pertengkaran, peperangan, pembunuhan, hal-hal keji yang dilakukan — oleh manusia akibat dari tidak mampunya mengendalikan nafsu. Nafsu akan menjadi baik/positif saat mampu dikendalikan dengan baik ke jalan yang benar. Sebaliknya, jika tidak terkendalikan dengan baik, akan menjadi boomerang dan cenderung menimbulkan keburukan atau bencana bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan sosialnya.
Allah memerintahkan untuk berpuasa agar nafsu yang ada di dalam diri dapat terkontrol dengan benar. Dalam sejarah kehidupan manusia, timbulnya kerusakan dan bencana akibat dari kegagalan dalam mengendalikan hawa nafsu. Karena itu, anjuran berpuasa dapat menjadi sarana evaluasi dan pendidikan/pelatihan diri agar memiliki kemampuan dalam pengendalian nafsu.
Mengapa dengan pengendalian nafsu? Karena syaitan selalu menggoda dan menyerang manusia lewat jalan nafsu. Godaan syaitan ini terjadi sepanjang waktu tanpa mengenal detik atau menit, tanpa mengenal tempat hingga akhir hayat manusia. Untuk itulah perintah menahan diri dengan puasa agar menjadikan manusia bertaqwa menjadi kewajiban dan harus melakukannya dengan serius.
Menjaga nafsu dengan puasa
Puasa memiliki orientasi untuk agar manusia memiliki kemampuan/ahli dalam proses pengaturan, menahan diri dari nafsu yang ada di dalam diri agar dapat menjadi manusia yang bertaqwa. Menjadi manusia yang mampu menjalankan segala perintah Allah Swt dan menjauhi segala laranganNya.”
Keberhasilan dalam berpuasa tergantung pada sejauh mana kita memaknai kegiatan puasa itu dan keseriusan dalam menjalaninya.
Ada beberapa hal yang perlu menjadi renungan dari ibadah puasa yang bisa kita petik, antara lain saat:
1. Tidak makan dan minum. Menahan untuk tidak makan dan minum dari terbit fajar (subuh) hingga mentari terbenam (magrib). Padahal makan dan minum yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Mengapa saat puasa harus berhenti?
2. Tubuh menjadi lemas dan malas. Ragam kegiatan atau aktivitas selama puasa pasti menimbulkan rasa lemas dan malas. Pada sisi lain, ajaran Islam sangat melarang untuk hidup dengan bermalas-malasan.
3. Mudah munculnya emosi dan rasa tersinggung. Kondisi lapar-haus dan lemas- malas, tentu sangat mudah memancing perasaan emosi dan tersinggung dengan hal-hal yang tidak sesuai perasaan. Meskipun hanya hal yang sepele.
4. Terlarang untuk melakukan jima’ bagi suami-istri pada siang hari. Hal yang sebenarnya halal dilakukan sebagai pelampiasan nafsu yang dibolehkan, namun mengendalikannya agar tak terjadi pada siang hari. Jika suami-istri yang halal saja harus mengendalikan, maka yang belum menikah sudah pasti harus lebih mampu menahan syahwatnya — baik dalam kondisi puasa maupun tidak puasa.
5. Berbuka puasa. Saat berbuka merupakan saat seseorang yang telah menjalani puasa untuk melakukan ‘balas-dendam’ dengan makan dan minum sepuasnya. Namun, lagi-lagi ajaran Islam mengingatkan agar kita tidak makan dan minum secara berlebih-lebihan atau serakah.
6. Sahur. Rasa mengantuk yang mendera, apalagi yang masih kegiatan sampai larut malam, dan kemudian harus bangun untuk melakukan sahur.
Semua hal di atas harus menjadi renungan sekaligus evaluasi diri. Apakah puasa ini mampu menjadikan kita berhasil atau justru gagal dalam pengendalian nafsu tersebut? Pendidikan dan pelatihan puasa secara rutin dan serius pasti akan menciptakan kompetensi dalam pengendalian diri. Menjalani ibadah puasa pun tidak asal-asalan dan tanpa memahami makna kegiatan setiap harinya.
Karena itu, jika kita serius dalam pelaksanaan kegiatan puasa, maka kompetensi pengendalian nafsu akan kita capai. Semoga kita menjadi manusia yang bertaqwa, yang mampu totalitas dalam menjalankan perintah Allah serta menjahi larangan-Nya. (*)
Editor Notonegoro