
Oleh Ery Santika A, SST MAg – Mubaligh Muhammadiyah
PWMU.CO – Ramadan, tentunya bukan sekadar bulan ibadah. Ramadan juga menjadi momentum mendidik jiwa secara intensif dalam Islam. Puasa, tarawih, tilawah Al-Qur’an, dan sedekah bukan hanya ritual, tetapi merupakan instrumen pembentuk karakter dan kesadaran spiritual. Dalam perspektif Islam yang berkemajuan, Ramadan menjadi wahana pembentukan manusia paripurna — yaitu manusia yang saleh secara spiritual, sekaligus saleh sosial dengan berkontribusi pada kemajuan peradaban.
Dalam sejarah Islam, generasi terbaik muncul dari individu yang tidak memaknai ibadah sebagai beban. Tetapi menjadikan ibadah sebagai proses transformasi diri. Karena itu, Ramadan bukan sekadar ritual dengan menahan lapar dan dahaga, lebih dari itu adalah upaya pendidikan jiwa yang mengarah pada perubahan sikap, mentalitas, dan cara berpikir.
Ramadan merupakan fondasi pendidikan jiwa untuk melahirkan umat yang berkemajuan. Yaitu dengan menelaah dimensi spiritual, intelektual, dan sosial yang melekat dalam ibadah puasa.
Pendidikan kesadaran spiritual
Puasa Ramadan menuntut kesabaran, keikhlasan, dan kesadaran akan keberadaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Melalui QS Al-Baqarah 183, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.“
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah membentuk ketakwaan. Dalam konteks pendidikan jiwa, bertaqwa berarti melatih kontrol diri dan membangun kesadaran spiritual yang mendalam. Pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, karena itu puasa mengajarkan untuk mengendalikan dorongan nafsu tersebut.
Dari perspektif psikologi, puasa melatih otak untuk menunda kepuasan instan (delayed gratification), yang terbukti mampu meningkatkan daya tahan terhadap godaan jangka pendek demi untuk menjangkau tujuan jangka panjang. Kemampuan menunda kepuasan instan ini sangat relevan, utamanya dalam menjalani kehidupan pada era modern saat ini. Ramadan, dengan seluruh ritmenya, menjadi laboratorium latihan bagi individu untuk mengembangkan kesabaran, kedisiplinan, dan keikhlasan.
Pendidikan intelektual
Ramadan juga memiliki dimensi pendidikan intelektual yang kuat. Sebagai bulan turunnya Al-Qur’an (QS Al-Baqarah 185), Ramadan mengajarkan umat Islam untuk lebih dekat dengan ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW sendiri mencontohkan bagaimana Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi sumber refleksi intelektual dan perubahan sosial.
Sedang dalam perspektif sejarah, umat Islam mencapai puncak kejayaan peradaban ketika ilmu dan spiritualitas berjalan beriringan. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali menjadi teladan bagaimana spiritualitas mereka tidak menghambat intelektualitas. Sebaliknya, justru semakin menguatkannya. Mereka lebih mampu memahami ibadah sebagai cara mempertajam akal, bukan sebagai praktik yang menghambat kemajuan berpikir.
Pada era modern, kita tidak boleh terjebak dalam pemahaman bahwa agama dan ilmu sebagai entitas terpsah. Ramadan seharusnya menghidupkan kembali semangat iqra’—perintah pertama dalam Islam—untuk membaca, memahami, dan merenungkan kehidupan. Jika umat Islam mampu memanfaatkan Ramadan untuk memperkuat nalar kritis dan semangat keilmuan, maka kemajuan akan menjadi konsekuensi alami dari ibadah yang benar.
Pendidikan Sosial
Selain aspek spiritual dan intelektual, Ramadan juga mengajarkan pendidikan sosial secara mendalam. QS Al-Balad 14-16, Allah menekankan pentingnya membantu orang miskin, anak yatim, dan kaum dhuafa.
أَوۡ إِطۡعَٰمٞ فِي يَوۡمٍ ذِي مَسۡغَبَةٍ – يَتِيمًا ذَا مَقۡرَبَةٍ
“Atau memberi makan pada hari kelaparan, (yaitu) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.”
Puasa mengajarkan empati terhadap kaum yang kurang beruntung. Rasa lapar yang dirasakan bukan hanya sebagai ujian fisik, tetapi juga pengingat bahwa ada jutaan orang yang merasakan kelaparan setiap hari. Dari sinilah lahir kesadaran kolektif untuk membangun tatanan sosial yang lebih adil dan inklusif.
Pada negara-negara Muslim, Ramadan menjadi bulan gerakan sosial. Sedekah, zakat, dan berbagi makanan menjadi pemandangan umum. Namun, tantangan yang lebih besar adalah bagaimana semangat ini tidak hanya berhenti di bulan Ramadan, tetapi menjadi pola hidup sepanjang tahun.
Dengan perspektif Islam Berkemajuan, kepedulian sosial bukan hanya tentang memberi, tetapi juga memberdayakan. Model zakat produktif, pendidikan gratis, dan penguatan ekonomi berbasis keadilan adalah implementasi nyata dari pendidikan sosial Ramadan yang harus diperjuangkan oleh umat Islam.
Membangun Peradaban Melalui Ramadan
Konsep Islam berkemajuan sejatinya bukan konsepsi yang baru. Sepanjang sejarah, umat Islam yang maju adalah mereka yang memahami bahwa ibadah bukan sekadar ritual individual, tetapi juga sarana membangun peradaban.
Ramadan harus menjadi momen rekonstruksi diri dan masyarakat. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam rutinitas yang hampa makna, Ramadan tidak sekedar menjadi bulan ibadah tanpa ada perubahan signifikan dalam cara berpikir dan bertindak.
Secara filosofis, Ramadan menjadi momentum tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang harus berujung pada ishlah al-ummah (perbaikan umat). Pendidikan jiwa yang benar akan melahirkan individu yang memiliki visi, integritas, dan komitmen terhadap kemajuan.
Sebagai harapan, Ramadan harus menjadikan negara Muslim sebagai negeri yang sukses, yang mampu menginternalisasi nilai-nilai Ramadan ke dalam sistem sosial dan ekonomi mereka. Harapan berikutnya tidak lain adalah mampu membangun ekonomi Islam, sekaligus mengembangkan sains dan teknologi dengan nilai-nilai Islam.
Ramadan adalah fondasi pendidikan jiwa yang seharusnya menghasilkan umat yang tidak hanya taat beribadah, tetapi juga berkontribusi bagi kemajuan dunia. Jika Ramadan benar-benar dipahami dalam dimensi spiritual, intelektual, dan sosialnya, maka ia akan menjadi lokomotif yang membawa umat Islam menuju peradaban yang lebih maju. Sehingga spiritualitas dan kemajuan bukan dua hal yang bertentangan.
Dalam Islam berkemajuan, ibadah bukan hanya soal hubungan vertikal dengan Allah (habl min Allah), tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tersebut diterjemahkan dalam kehidupan sosial dan intelektual.
Marilah menjadikan Ramadan sebagai titik balik umat Islam dalam menguatkan ketakwaan, memperdalam ilmu, dan memperluas manfaat sosialnya. Ramadan tidak sekadar meyakininya sebagai bulan keberkahan, tetapi juga harus menjadi momentum strategis dalam membangun umat yang lebih maju, kritis, dan solutif dalam menghadapi tantangan zaman.
Editor Notonegoro